Oleh: Amir Hossein Ebrahimi*
Dengan berlanjutnya konflik di wilayah utara dan semakin besarnya cakupan kerusakan ekonomi, nampaknya rezim Zionis terjebak dalam perangkap yang semakin sulit untuk dilepaskan.
Konflik perbatasan dengan Hizbullah Lebanon di utara Palestina yang diduduki telah berubah menjadi mimpi buruk bagi perekonomian rezim Zionis. Sementara rezim ini masih menghadapi dampak ekonomi dari perang Gaza, pembukaan front utara telah memberikan pukulan fatal terhadap infrastruktur ekonomi, dan apa yang oleh media berbahasa Ibrani disebut sebagai keruntuhan ekonomi kini semakin mendekati kenyataan.
Wilayah pendudukan Palestina bagian utara, yang dahulu dikenal sebagai pusat perekonomian rezim Zionis, kini menjadi wilayah yang sepi. Evakuasi pemukim secara luas, penutupan pabrik dan pusat produksi, serta pelarian investor telah mengubah wajah kawasan ini sepenuhnya. Bank Sentral rezim Zionis, yang berusaha mengurangi memburuknya situasi dengan menyajikan statistik yang menjanjikan, kini secara resmi berbicara tentang krisis ekonomi yang belum pernah terjadi sebelumnya.
Industri teknologi tinggi, yang selama ini dikenal sebagai simbol kesuksesan ekonomi rezim Zionis, kini berada di ambang kehancuran. Pemanggilan pasukan cadangan secara luas, yang sebagian besar dipekerjakan di industri-industri ini, praktis telah menyebabkan penutupan banyak perusahaan teknologi.
Pakar ekonomi memperingatkan bahwa diperlukan waktu bertahun-tahun untuk mengompensasi kerusakan tersebut, bahkan jika konflik segera berhenti. Situasi di sektor pertanian dan pariwisata di wilayah utara juga lebih buruk. Pariwisata dan pertanian yang dulu menjadi sumber pendapatan utama warga kawasan ini kini lumpuh total.
Para petani yang terpaksa meninggalkan ladangnya tidak hanya kehilangan hasil panen tahun ini, namun juga khawatir akan masa depan yang tidak menentu. Hotel dan pusat wisata yang dulu menampung wisatawan asing kini telah menjadi tempat penampungan bagi para pengungsi internal dan benar-benar keluar dari siklus keuntungan.
Sementara itu, perpecahan politik dalam kabinet perang Netanyahu semakin hari semakin dalam. Benny Gantz dan anggota kabinet lainnya, yang berusaha menyembunyikan perbedaan demi menjaga kohesi, kini secara terbuka berbicara tentang bencana ekonomi dan menganggap Netanyahu bertanggung jawab langsung atas situasi ini. Protes jalanan, yang kali ini berpusat pada tuntutan ekonomi, menunjukkan bahwa masyarakat Zionis tidak mampu lagi menanggung akibat dari perang yang menguras tenaga ini.
Dengan berlanjutnya konflik di wilayah utara dan semakin besarnya cakupan kerusakan ekonomi, tampaknya rezim Zionis terjebak dalam perangkap yang semakin sulit untuk dilepaskan. Di satu sisi, rezim tersebut tidak dapat meningkatkan konflik, karena mereka tahu bahwa respons Hizbullah dapat memberikan pukulan terakhir terhadap perekonomian mereka yang sedang goyah, dan di sisi lain, mundur dan mengakui kekalahan dapat menyebabkan runtuhnya kabinet dan perubahan politik yang lebih luas.
Situasi rumit ini, yang merupakan akibat dari kesalahan perhitungan para pemimpin Zionis, kini telah mencapai titik di mana bahkan para pendukung rezim ini di negara barat pun khawatir akan masa depannya. Kelanjutan proses ini tidak hanya dapat menyebabkan keruntuhan ekonomi, namun juga perubahan mendasar dalam struktur politik dan sosial rezim ini.
Apa yang terjadi dalam perekonomian rezim Zionis saat ini lebih dari sekadar krisis ekonomi biasa. Rezim yang dulu mengklaim sebagai tiang perekonomian kawasan, kini menghadapi tantangan yang sangat dalam dan mendasar.
Runtuhnya struktur ekonomi yang telah terbentuk secara bertahap selama beberapa dekade, seiring dengan semakin intensifnya perpecahan politik dan sosial, menunjukkan bahwa rezim ini sedang menghadapi krisis multidimensi.
Pengalaman sejarah menunjukkan bahwa perekonomian adalah kelemahan rezim Zionis. Berbeda dengan kekuatan militer yang diperkuat oleh dukungan Barat yang tak tergoyahkan, perekonomian rezim ini sangatlah rentan. Konflik yang sedang berlangsung di wilayah utara membuat kerentanan ini semakin terlihat. Pelarian investor, penutupan usaha, dan meluasnya pengangguran hanyalah tanda-tanda eksternal dari krisis yang lebih parah.
Hal yang perlu direnungkan di sini adalah bahwa meskipun konflik segera berhenti, akan sangat sulit, bahkan tidak mungkin untuk kembali ke situasi sebelum perang. Hilangnya kepercayaan investor asing, kerusakan serius pada infrastruktur ekonomi, dan yang paling penting, perpecahan mendalam dalam masyarakat Zionis, merupakan warisan yang tidak akan hilang bahkan setelah perang berakhir.
Dalam situasi seperti ini, rezim Zionis menghadapi teka-teki yang rumit. Negara ini tidak dapat mengakhiri konflik karena hal ini berarti menerima kekalahan dan semakin melemahkan posisi keamanan politiknya, dan negara tersebut juga tidak mampu melanjutkan status quo, karena konflik yang terus berlanjut dapat menyebabkan keruntuhan ekonomi secara total.
Situasi rumit ini, yang merupakan akibat dari kebijakan dan kesalahan perhitungan yang salah selama bertahun-tahun, kini telah mencapai titik di mana bahkan sekutu terdekat rezim ini, termasuk Amerika Serikat dan negara-negara anggota Uni Eropa, khawatir akan masa depan rezim ini.
Perkembangan dalam beberapa bulan terakhir menunjukkan bahwa persamaan keamanan versus kemakmuran, yang telah menjadi dasar pengambilan kebijakan rezim ini selama bertahun-tahun, telah kehilangan efektivitasnya dan masyarakat Zionis harus mempersiapkan diri menghadapi perubahan mendasar dalam waktu dekat. (*Pakar Permasalahan Regional)
Sumber: Mehrnews.com