BERITAALTERNATIF.COM – Peraturan Gubernur (Pergub) Kaltim Nomor 49 Tahun 2020 tentang Tata Cara Pemberian, Penyaluran dan Pertanggunjawaban Belanja Bantuan Keuangan Pemerintah Daerah membawa efek tersendiri bagi masyarakat Kaltim.
Pasal 5 ayat 4 Pergub tersebut mensyaratkan pokok pikiran dari Anggota DPRD Kaltim minimal Rp 2,5 miliar per paket kegiatan. Hal ini disampaikan oleh Anggota DPRD Kaltim dari Dapil Kukar, Salehuddin.
“Harusnya ada beberapa bantuan yang sudah jalan, tapi karena ada Pergub itu, sudah masuk di APBD, tapi tidak bisa dilaksanakan,” ungkapnya kepada beritaalternatif.com pada Rabu (19/10/2022) sore.
Ia mengaku telah memperjuangkan anggaran tersebut untuk masyarakat Kukar pada APBD Kaltim tahun 2022. Namun, anggarannya tidak mencapai Rp 2,5 miliar dalam satu kegiatan.
Sementara itu, Pemerintah Kabupaten Kukar tidak bisa menjalankan aspirasi tersebut karena berpedoman pada Pergub Nomor 49 Tahun 2020.
“Ini jadi masalah bagi kita di DPRD Kaltim sekarang saat memperjuangkan aspirasi masyarakat,” katanya.
Pergub Nomor 49 Tahun 2020 memang pernah mengundang kontroversi bahkan penolakan dari DPRD Kaltim. Saat aturan tersebut digulirkan oleh Pemprov Kaltim, salah satu penolakan datang dari Ketua DPRD Kaltim kala itu, Makmur HAPK.
Menurut dia, keberadaan Pergub tersebut telah membawa problem tersendiri bagi wakil rakyat dalam memperjuangkan aspirasi masyarakat Bumi Mulawarman.
“Saya kira dicabut saja. Nanti tergantung secara teknis di tingkat pelaksanaan menginformasikan kepada Gubernur, ” ujarnya dalam Rapat Paripurna DPRD Kaltim pada 9 Agustus 2022.
Penolakan terhadap Pergub ini juga datang dari Anggota DPRD Kaltim M. Udin, Sarkowi V. Zahry, Martinus, serta Wakil Ketua DPRD Kaltim Seno Aji.
Wakil Ketua DPRD Kaltim Seno Aji menyampaikan kekecewaan dan keberatan terhadap penentuan nominal yang disebutkan di dalam Pergub Kaltim tersebut.
Menurutnya, usulan yang merupakan aspirasi masyarakat tidak dapat dibatasi dengan nilai bantuan yang hanya ditetapkan sebesar Rp 2,5 miliar. Mengingat kebutuhan masyarakat di kabupaten/kota berbeda-beda.
“Kalau dari legislatif memang keberatan, karena namanya Pokir anggota dewan, ya menerima aspirasi dari masyarakat dan tidak bisa dibatasi. Masing-masing daerah berbeda, ada yang perlu Rp 50 juta, Rp 100 juta, ada yang sampai Rp 2 miliar,” ucapnya. (adv/um)