Search
Search
Close this search box.

Perjalanan ke Tehran

Listen to this article

Oleh: Dina Sulaeman*

Ini catatan singkat saya, perjalanan ke Tehran bulan Desember yll. Mungkin banyak yang bertanya-tanya, seperti apa Iran saat ini? Apakah sekacau balau yang digambarkan oleh media internasional (termasuk yang di-copy-paste, seperti biasa, oleh media-media lokal)?

Jawabannya, tentu saja, seperti selama ini sering terjadi, dalam berbagai isu, heboh di media belum tentu mencerminkan realitas. Nanti saya ceritakan.

Advertisements

Cerita pertama, adalah mengenai Tehran Dialogue Forum III (TDF). TDF adalah pertemuan tahunan yang diadakan oleh IPIS (Institute for Political and International Studies), lembaga think tank kebijakan luar negeri yang berafiliasi dengan Kementerian Luar Negeri Iran. Tahun 2023 ini adalah pertemuan ke-3, tapi untuk pertama kalinya saya diundang hadir.

Di TDF, para pemikir (kebanyakan adalah perwakilan dari berbagai lembaga think tank, tahun 2022 ini yang datang dari 36 negara, termasuk beberapa negara Teluk) berkumpul untuk sharing pendapat masing-masing mengenai isu-isu keamanan dunia.

Acara pembukaan TDF diisi oleh talkshow antara Menlu Iran, Amir Hossein Amir-Abdollahian dan beberapa tokoh dari beberapa negara.

***

Suhu Tehran 1 derajat Celcius saat saya tiba. Saya cuma membawa jaket tipis karena keberangkatan saya yang mendadak. Saya pulang dari Aceh, tidak balik ke Bandung, tapi stay di Jakarta karena waktu yang mepet.  Baju-baju di-laundry ekspres untuk dibawa ke Tehran.

Jaket musim dingin sudah dikirim dari Bandung dengan Si Cepat Best (yang menjanjikan 24 jam sampai), ke hotel saya, tapi ternyata sampai detik-detik saya harus berangkat ke bandara jaket itu tidak sampai juga (benar-benar mengecewakan layanan kurir satu ini, sudah bolak-balik nelpon ke CS, mereka cuma bermanis mulut, tapi tidak ada tindakan apa pun).

Walhasil saya berangkat dengan jaket pinjaman yang tipis (lalu di Tehran pinjam jaketnya teman). Untungnya, karena status tamu VIP, saya tidak pakai jalur umum saat turun pesawat, langsung dijemput mobil khusus kementerian luar negeri, jadi hanya beberapa detik saja kena angin dingin. Tapi segitu juga sudah ambruk (mungkin karena kecapean bepergian terus), saya demam di hari pertama (untungnya, saya bawa herbal sapu jagad, besoknya sudah segar lagi).

Saya bertemu dan berkenalan dengan orang-orang dari berbagai negara. Seperti terlihat di video, kaum perempuan yang hadir jauh lebih sedikit dibanding laki-laki dan kami ‘mingle‘ (berbaur), sama sekali tidak ada diskriminasi, antara perempuan dan laki-laki. Di forum diskusi panel pun sama.

Saya awalnya berasa seperti anak ‘hilang’ karena ga ada yang ‘nemenin’. LO dari Kemenlu juga entah ke mana. Tapi akhirnya, saya malah akrab dengan para pemikir dari Eropa timur dan Rusia dan beberapa eks-diplomat Iran yang pernah bertugas di Eropa timur (ada bagian akhir video ini, itu saya semeja sama mereka saat makan malam; saya sendiri yang perempuan). Kami menggosipkan berbagai isu soal Ukraina, Rusia, Turki (terutama om Erdogan). Beberapa hal yang saya duga soal Erdogan terkonfirmasi.

Saya sempat ikut diskusi panel yang membahas perang Rusia dan Ukraina. Menariknya, para panelis tidak semuanya satu kata. Ada satu panelis dari Italia yang anti Rusia banget. Awalnya, hadirin (yang mayoritas pro Rusia) terdiam. Lalu, moderatornya berkata, “Wah, ini adalah pendapat yang berbeda, tapi inilah demokrasi…” dan semua di ruangan pun tertawa.  Lalu, diskusi pro-kontra berlangsung dengan santai.

Kata teman (baru) saya orang Serbia, diskusi di ruangan itu benar-benar menarik karena pendapat yang berbeda bisa diterima dengan santai. “Bahkan di Barat pun, sulit menemukan diskusi seterbuka tadi,” katanya.

Tema umum TDF III ini adalah “Neighborhood Policy of the Islamic Republic of Iran: An Approach to Friendship and Trust, dengan sub tema diskusi keamanan di Teluk Persia, keamanan energi, keamanan di Afghanistan, dan Perang Rusia-Ukraina.

Secara umum, yang saya catat dari TDF ini adalah bahwa Iran meskipun diserang habis-habisan oleh Barat sejak beberapa bulan terakhir dengan memanfaatkan isu “kebebasan perempuan” (jadi posisinya: ada anasir di dalam negeri yang memang berdemo anti-jilbab dan anti pemerintah, tapi di saat yang sama, mereka juga diprovokasi dan dibiayai, bahkan dipersenjatai, oleh Barat.. mirip dengan skenario Suriah), tapi, kehidupan tetap jalan terus.

Urusan demonstran (dan upaya pemberontakan bersenjata di kawasan perbatasan) dihadapi, tapi upaya-upaya diplomatik di berbagai isu (termasuk JCPOA, lalu beberapa pekan terakhir ini sangat banyak konferensi internasional dilaksanakan, membahas berbagai isu) juga terus berlangsung. Menlu Amir Abdullahian, seolah nyaris tidak pernah di Tehran, keliling terus ke berbagai negara. Poros Rusia-China- Iran, dan beberapa negara lain semakin menguat. Beberapa negara Teluk juga terlihat semakin berani ‘mbalelo’. Perwakilan Qatar dan Kuwait juga hadir di TDF 3 dan memberikan pidato dukungan.

Pergerakan diplomasi Iran menunjukkan bahwa memang pergeseran geopolitik tengah terjadi. Bahasan soal ini akan saya tulis di artikel khusus.

***

Pertanyaan terbesar saat datang ke Tehran (saya juga pergi ke beberapa kota lainnya) adalah: seberapa aman Iran? Bukankah di sana kabarnya ada demo besar-besaran anti-pemerintah?

Selain ke Tehran, saya juga pergi ke beberapa kota yang lain. Yang saya saksikan, situasi aman-aman saja. Perempuan lalu-lalang seperti biasa (terakhir saya ke Iran tahun 2017). Cuma bedanya, kali ini, ada perempuan-perempuan tidak berjilbab yang lalu-lalang. Dulu, tidak ada yang demikian. Kalau dulu, banyak yang pakai jilbab jambul (pakai pashmina/kerudung, tapi rambutnya tetap terlihat sebagian), tapi tidak ada yang benar-benar buka jilbab.

Tapi, secara umum, di jalanan, di tempat-tempat publik, di pasar, bahkan di hotel (yang cenderung lebih privat; apalagi di hotel elite), jumlah perempuan yang tidak berjilbab dibanding yang tetap berjilbab (meski jilbab jambul), ya jauh lebih banyak yang berjilbab.

Artinya, meski sudah bebas (dalam arti, penegakan aturan berjilbab tidak ketat lagi.. tapi dulu pun emang ga ketat, yang jilbab jambul sangat banyak di jalanan dan tempat-tempat publik), kebanyakan kaum perempuan di sana ya tetap memilih pakai jilbab.

Saat saya naik pesawat antar-kota, pramugarinya berkata, “Selamat datang di kota xxx… kami menganjurkan Anda untuk tetap menjaga syariat Islam dalam berpakaian… dst.”

Tapi, saya lihat, sepesawat itu, ada 3 orang perempuan yang benar-benar buka jilbab sedangkan yang lain tetap berjilbab, baik yang rapi maupun yang berjambul.

Sejak dulu pun situasi di Iran sebenarnya santai saja. Perempuan bebas lalu lalang di tempat publik. Saya juga sempat kuliah setahun di Tehran University, dan kami sekelas ya berbaur saja laki-laki dan perempuan. Mahasiswi perempuan malah jauh lebih judes dan cerewet saat berdebat dengan dosen laki-laki dan sesama mahasiswa.

Di foto, Anda lihat, posisi duduk saya berbaur di tengah kaum laki-laki. Kameramen di acara ini, sebagian besar malah perempuan, dengan membawa kamera-kamera besar. Saya sempat memotret mereka, tapi hasilnya gelap. Saya saat itu sedang kurang fit jadi males banget berfoto-foto. Untung ada foto-foto dari kantor berita ISNA ini.

Lalu, demo-demo yang diberitakan itu bagaimana? Pertama, ya, pernah ada demo-demo, tapi jumlahnya tidak signifikan, ini sama saja dengan demo-demo di negara lain. Di banyak negara, ada saja aksi demo kan. Tapi, bedanya, aksi demo di Iran ini di-blow up sedemikian masif oleh media Barat, pasukan siber dikerahkan secara aktif, sehingga jadi trending topic berminggu-minggu. Seleb-seleb medsos yang aktif memprovokasi publik Iran agar turun ke jalan menolak jilbab dan anti-pemerintah, adalah mereka yang tinggal di AS dan dibiayai oleh AS (misalnya, Masih Alinejad).

Kultur Iran itu emang tukang demo. Ini diakui juga oleh lembaga think tank AS, Brookings. Jadi, mereka tu emang gampang diajak turun ke jalan. Nah, setelah warga yang anti-pemerintah berdemo (dan rusuh, merusak infrastruktur, bahkan membunuh aparat keamanan), warga yang pro-pemerintah juga turun ke jalan, jumlahnya jauh lebih masif (tapi kan ga di-blow up sama media Barat dan media lokal tukang copy-paste).

Ini beda kultur dengan di Indonesia. Misalnya, ada demo anti-Jokowi. Nah yang pro-Jokowi kan banyak (mungkin jauh lebih banyak), tapi mereka ga demo turun ke jalan untuk menunjukkan dukungan pada Jokowi, paling ngomel di medsos doang.

Lalu, di kawasan perbatasan (provinsi Kurdistan Iran, yang berbatasan dengan Kurdistan Irak), gerakan separatisme bersenjata diaktifkan, suplai senjata masuk. Aksi-aksi teror terjadi, dilakukan oleh anggota MEK. MEK (Mujahidin el Khalq) adalah organisasi teroris yang beranggotakan orang-orang Iran yang memanfaatkan kawasan Irak sebagai basis aksi teror, tapi para pimpinannya berlindung (dan dibiayai) di negara-negara Barat. AS awalnya juga memasukkan MEK dalam list organisasi teroris, tapi kemudian menghapus dari list dan mendukungnya.

Militer Iran sudah mengerahkan pasukan dan tank-tanknya ke perbatasan dan melakukan serangan-serangan ke markas-markas teroris MEK di Kurdistan-Irak. Tapi pemerintah Irak tidak menganggapnya sebagai serangan terhadap negara Irak (jadi, secara resmi Iran dan Irak tidak berperang).

Demikian sedikit cerita oleh-oleh dari Iran. (*Pengamat Timur Tengah)

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements

BERITA ALTERNATIF

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA