Dalam setiap tahapan sejarah, situasi politik merupakan fenomena yang paling menonjol di antara semua fenomena kehidupan sosial dalam masyarakat manusia. Ini karena situasi politik dan hubungan antara penguasa dan rakyat, sifat penguasa dan macam perilakunya, berhubungan langsung dengan keamanan masyarakat dan tingkat kehidupan mereka, keyakinan dan gaya hidup mereka, tingkat kemajuan ilmu dan sastra, serta kondisi psikologis mereka.
Pentingnya situasi politik dan perannya dalam kehidupan masyarakat, akan tampak semakin menonjol manakala masyarakat yang bersangkutan mempunyai peradaban, prinsip-prinsip, dan nilai-nilai politik yang menjadi keyakinan mereka, yang mereka pelihara dan junjung tinggi, serta mereka upayakan agar dapat berjalan dalam pemerintahan dan kekuasaan yang mengatur kehidupan mereka.
Sejarah umat Islam sepanjang enam abad pertama Hijriah—yakni masa pemerintahan Bani Umayyah dan Bani Abbas—dengan berbagai faktor gerakan perlawanan yang timbul di masyarakat serta kegiatan-kegiatan pembaharuannya, mengungkapkan dengan jelas adanya tiga unsur pokok yang memainkan peran, yaitu:
Pertama, kemampuan Islam untuk melakukan pembaharuan yang kreatif, baik di lapangan keilmuan maupun kebudayaan, di lapangan prinsip-prinsip dan kekuatan akidah, atau di lapangan perjuangan politik dan perlindungan terhadap kebebasan manusia dan kehormatannya dalam melawan kezaliman dan kediktatoran.
Kedua, penyimpangan penguasa-penguasa dan munculnya bentrokan sengit antara prinsip-prinsip Islam dengan kekuatan yang berkuasa, khususnya dalam hal cara mereka berinteraksi dengan umat—kecuali di masa yang sangat singkat ketika Umar bin Abdul Aziz, salah seorang khalifah Bani Umayyah, yang berupaya memperbaiki situasi dan kondisi parah yang menimpa umat Islam dan menyebabkan terjadinya tragedi di kalangan mereka. Namun upaya ini menemui kegagalan.
Ketiga, dalam dua masa tersebut (yakni masa Bani Umayyah dan Abbasiyah) terlihat adanya vitalitas umat Islam dan kemampuannya untuk bergerak menentang kekuasaan yang menyimpang dari Islam. Juga kita saksikan peran penting Ahlulbait dalam perlawanan-perlawanan tersebut, yang merupakan unsur pokok dalam sejarah perjuangan. Kita saksikan juga betapa keluarga yang mulia ini menempati poros kepemimpinan dan pengarahan. Konsekuensinya, Ahlulbait Nabi mengalami penindasan, pengejaran, pembunuhan, dan penyiksaan di tangan penguasa Umayyah dan Abbasiyah.
Imam Ja’far bin Muhammad Ash-Shadiq telah hidup dalam masa yang penuh dengan ketiga fenomena di atas, dalam tingkatannya yang paling intensif dan keras. Beliau telah hidup dalam masa kekuasaan Bani Umayyah selama kira-kira 40 tahun, dan menyaksikan kezaliman, terorisme, penindasan, dan kekerasan yang dilakukan oleh penguasa Bani Umayyah terhadap putra-putra umat pada umumnya, dan kaum Alawiyin khususnya, yaitu mereka yang menisbahkan diri kepada Imam Ali dan Fathimah Az-Zahra.
Imam Ja’far Ash-Shadiq dilahirkan pada masa pemerintahan Abdul Malik bin Marwan bin AI-Hakam, kemudian menjalani kehidupannya semasa dengan khalifah AI-Walid bin Abdul Malik, Sulaiman bin Abdul Malik, ‘Umar bin Abdul ‘Aziz, Al-Walid bin Yazid, Yazid bin AI-Walid, Ibrahim bin AI-Walid, dan Marwan Al-Hummar, hingga jatuhnya kekuasaan Bani Umayyah pada tahun 132 H. Setelah itu, beralihlah kekhalifahan kepada Bani Abbas, dan beliau menjalani hidup semasa dengan pemerintahan AbuI Abbas As-Saffah dan sebagian masa pemerintahan Abu Ja’far AI-Manshur, kira-kira sepuluh tahun.
Imam Ash-Shadiq menjalani hidup selama masa-masa tersebut dan menyaksikan sendiri fitnah yang menimpa Ahlulbait dan penderitaan umat, ratapan, dan kegelisahan mereka. Namun beliau tak mungkin bisa melakukan gerakan perlawanan terhadap penguasa karena banyak sebab, di antaranya yang terpenting adalah:
Pertama, beliau berada pada posisi puncak kepemimpinan intelektual dan sosial, dan merupakan tiang penyangga keberadaan Ahlulbait serta tumpuan kaum Muslimin. Karenanya, beliau senantiasa berada dalam pengawasan mata-mata penguasa Bani Umayyah dan Bani Abbas. Gerak-gerik beliau senantiasa mereka ikuti, dan beliau tak punya kesempatan untuk mempersiapkan aksi politik melawan penguasa yang kejam di masa itu.
Kedua, pengalaman sejarah yang pahit yang dialami oleh kepemimpinan Ahlulbait dalam memimpin umat melakukan gerakan pemberontakan melawan penguasa Bani Umayyah, yang dipimpin oleh Imam Ali, putranya Imam Hasan, dan sesudah itu oleh Imam Husain, dan Zaid bin Ali bin Imam Al-Husain.
Pengalaman ini mengungkapkan kenyataan betapa terbelakangnya umat dan jauhnya mereka dari kedudukan luhur yang diharapkan, serta ketidakmampuan mereka dalam melaksanakan metode mulia yang digariskan oleh Ahlulbait dalam upaya mencapai kekuasaan dan khilafah.
Ahlulbait senantiasa menjauhkan diri dari cara-cara pengkhianatan, penipuan, suap-menyuap, dan lain-lain. Sebaliknya, musuh-musuh mereka tak segan-segan melakukan segala macam cara yang mereka anggap bisa menyampaikan mereka pada kekuasaan. Perbedaan yang besar dan nyata dalam konsepsi dan kesadaran antara Ahlulbait dengan mayoritas pengikut mereka, sangat berpengaruh terhadap jalannya perjuangan yang dipimpin oleh Ahlulbait.
Karena sebab-sebab ini, dan juga sebab-sebab lainnya, Imam Shadiq berpaling dari kiprah politik terbuka kepada gerakan perlawanan dengan cara membina intelektualisme, keilmuan, pemikiran, serta perilaku yang mengandung semangat revolusi, dan memelihara agar benih-benih tersebut tumbuh dan berkembang tanpa terlihat oleh mata penguasa, dan pada gilirannya akan melahirkan kekuatan yang kokoh.
Dengan cara ini, beliau lalu mendidik kelompok ulama dan mendidik mayoritas umat yang berada di bawah kekuasaan penguasa yang zalim, serta membangkitkan semangat perlawanan mereka dengan cara menanamkan kesadaran akidah, politik, dan dengan memegang teguh hukum-hukum syariat serta konsep-konsepnya. Beliau kukuhkan bagi mereka konsep-konsep syariat yang bersifat mendasar dan jelas. (*)
Sumber: Disadur dari buku Biografi Imam Ja’far Shadiq-Muhammad Ali via Safinah Online