Kukar, beritaalternatif.com – Pada medio 1960-an, Desa Gunung Kancil, Kelurahan Lembu, Kecamatan Sambi, Kabupaten Boyolali, Jawa Tengah tercatat sebagai daerah pegunungan yang minus karena tanahnya dipenuhi kerikil sehingga tanaman yang ditanam di sawah pun tak subur.
Desa tersebut dipenuhi penduduk yang berprofesi sebagai petani. Sebagian di antara mereka juga berstatus buruh tani karena tak memiliki tanah untuk digarap. Mereka yang memiliki sawah hanya orang-orang tertentu. Pemilik tanah juga dianggap sebagai orang kaya di desa tersebut. Pamong desa adalah sebagian di antara penduduk desa yang memiliki tanah yang subur. Pamong desa memang diberikan jatah lahan yang cukup luas oleh pemerintah.
Tanah yang tak subur dan lahan yang terbatas membuat sebagian warga Gunung Kancil memutuskan merantau ke daerah lain. Khususnya mereka yang berprofesi sebagai buruh tani. Kehidupan yang tak menjamin kesejahteraan di desa tersebut membuat mereka memilih mengadu nasib ke berbagai daerah di Indonesia.
Barang kali itu juga yang dihadapi Karyo Rejo dan Tukirah. Di desa tersebut, mereka menetap di rumah mungil. Untuk mempertahankan dan membangun beduk rumah tangga keduanya, mereka mengais rezeki melalui profesi buruh tani.
Pernikahan yang dibangun selama bertahun-tahun itu pun “berbuah manis” juga “berbuah getir” dengan kehadiran tujuh orang anak mereka (empat orang perempuan dan tiga orang laki-laki), yang masing-masing diberi nama Suparmi, Winarsih, Sarmin, Sarmi, Jumiem, Jumirin, dan Suratin.
Profesi sebagai buruh tani membuat Karyo dan Tukirah hidup di bawah garis kemiskinan. Saban hari, dapur keduanya kerap kosong dari nasi dan makanan. Sementara anak-anak mereka masih relatif kecil serta membutuhkan asupan makanan. Meski sudah bekerja banting tulang dari pagi hingga sore selama bertahun-tahun, penghasilan Karyo sebagai buruh tani tak kunjung membuat rumah tangganya keluar dari garis kemiskinan.
Demi menghidupi istri dan tujuh orang anaknya, Karyo sesekali menanam ubi kayu. Hasilnya kemudian dimasak dan disuguhkan kepada istri dan anak-anaknya. Hanya sewaktu-waktu mereka bisa memakan nasi. Karenanya, mengonsumsi nasi adalah kemewahan tersendiri di keluarga tersebut.
Mimpi Makan Nasi
Pada awal tahun 1969, Wiro Suwito, kakak dari Tukirah, yang telah merantau ke Kalimantan Timur (Kaltim) sejak era penjajahan Jepang, pulang ke Gunung Kancil. Kepulangan Wiro disambut bak “pahlawan” oleh Karyo dan Tukirah yang telah bertahun-tahun hidup dalam jurang kemiskinan.
Wiro yang telah beberapa tahun membangun rumah tangga di Bumi Etam, namun tak memiliki anak, mengaku tertarik mengajak Sarmin, anak ketiga dari kakaknya, untuk dibesarkan dan disekolahkan di Kaltim. Wiro yang mengaku sudah hidup sejahtera pun mengutarakan hal itu kepada Karyo dan Tukirah. Pasangan suami istri itu pun mengamini permintaan Wiro.
Alasannya, penghasilan Karyo sebagai buruh tani memang tak cukup untuk menopang kehidupan keluarganya. Padahal, anak laki-lakinya yang pertama, Sarmin, acap bermimpi bisa memakan nasi saban hari. Meski Tukirah memiliki orang tua yang relatif mampu secara ekonomi, sehingga kerap menyuplai nasi untuk keluarga tersebut, tetapi diberi makan setiap hari setelah berumah tangga bisa mengakibatkan martabat rumah tangga tersebut jatuh.
Keluarga ini sejatinya memiliki kerbau. Juga rumah. Artinya, kehidupan mereka masih dalam taraf “miskin yang bermartabat”. Namun, kondisi yang serba sulit dan mimpi untuk bisa memakan nasi setiap hari membuat Sarmin acap berpikir untuk meraih mimpinya itu. “Sebagai manusia yang normal, maka harus punya pemikiran untuk mengubah kehidupan,” kata Sarmin kepada beritaalternatif.com baru-baru ini.
Ajakan tersebut diterima dengan lapang oleh Sarmin yang kala itu masih duduk di kelas dua SMP Nasional Gunung Kancil. Sarmin beralasan, merantau menjadi pilihan tepat di tengah kehidupan kedua orang tuanya yang serba kekurangan. Dengan mengadu nasib ke Kaltim, remaja yang masih berusia 14 tahun itu berkeinginan mengangkat martabat keluarganya.
Kedua orang tua Sarmin memang menyetujui keinginan anaknya merantau ke Bumi Mulawarman. Namun, tekad itu ditentang keras oleh guru-gurunya di SMP Nasional Gunung Kancil. Sebab, para gurunya melihat Sarmin masih terlalu belia untuk merantau dan mengadu nasib di tanah rantau nun jauh dari kampung halaman remaja tersebut. Apalagi dengan alasan demi mengubah nasib keluarga.
Namun, melihat tekad Sarmin, guru-gurunya tak dapat menahannya. Kepergian remaja yang bertubuh kurus itu pun dilepas dengan derai air mata oleh guru-gurunya di SMP Nasional Gunung Kancil.
Menentang Badai
Pada Januari 1969, Sarmin dan kakak perempuannya, Suparmi, diboyong ke Kaltim oleh saudara-saudara ibunya, Wiro dan Suharjono. Bersama mereka, ikut pula Sarimah dan Sarwadih. Di pagi buta, mereka meninggalkan Gunung Kancil demi mengadu nasib ke Kaltim.
Keenamnya sampai di Pelabuhan Tanjung Perak Surabaya, Jawa Timur, menjelang Maghrib. Kemudian, pada malam harinya, mereka naik kapal barang. Barang-barang yang dibawa kapal itu melebihi kapasitasnya. Karenanya, di tengah laut lepas pada hari kedua dalam perjalanan, kapal tersebut nyaris karam.
Sarmin dan para penumpang lain kaget, ketakutan, serta berteriak histeris saat melihat air laut masuk ke kapal. Sebagian badannya nyaris terendam air laut. Untungnya, para petugas sigap membuang barang-barang dari kapal tersebut. Akhirnya, kapal barang itu bisa kembali berlayar sehingga mereka sampai di Pelabuhan Samarinda setelah menerjang laut lepas selama tiga hari dari Pelabuhan Tanjung Perak.
Sesampai di Pelabuhan Samarinda, enam orang tersebut hendak menuju Desa Ponoragan, Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kukar. Akses transportasi ke desa itu hanya menggunakan kapal di Sungai Mahakam. Meskipun ada akses darat, kendaraan penumpang belum tersedia.
Sarmin dan kerabatnya pun harus menunggu semalam untuk berlayar ke Loa Kulu. Sebab, saat itu mereka bersandar di Pelabuhan Samarinda pada pukul 09.00 Wita. Sementara setiap hari kapal penumpang berlayar pada pukul 06.00 Wita. Mereka pun “terpaksa” menginap di Kampung Jawa, Samarinda.
Pada hari berikutnya, enam orang kerabat itu berlayar ke Loa Kulu. Mereka sampai di kecamatan tersebut pada pukul 16.00. Artinya, kala itu dibutuhkan waktu sekitar 10 jam untuk berlayar dari Samarinda ke Loa Kulu.
Sarmin berkisah, saat itu air Sungai Mahakam sangat jernih sehingga para penumpang kapal bisa meminumnya secara langsung tanpa penyaringan. Tak ada satu pun menumpang yang membawa air saat berlayar. Setelah makan, mereka bisa meminum air dari sungai tersebut. “Airnya jernih sekali,” kata Sarmin kepada beritaalternatif.com baru-baru ini.
Ia juga mengaku sangat terkesan dengan Sungai Mahakam yang lebar dan panjang. Dia bahkan menganggap sungai tersebut tak berbeda dengan laut. Selain itu, di pinggirnya dipenuhi pohon-pohon yang membuat tepi Sungai Mahakam terlihat hijau. Hal ini berbeda dengan sekarang di mana bantaran sungai terlebar dan terpanjang di Pulau Kalimantan itu telah dipenuhi rumah-rumah warga.
Buruh Pabrik Tahu
Desa Ponoragan merupakan salah satu desa tertua di Kecamatan Loa Kulu selain Rempanga, Loa Kulu Kota, Loh Sumber, dan Jembayan. Di awal tahun 1970, Ponoragan merupakan desa yang sudah maju—terutama di bidang pertanian—dibandingkan desa-desa lain di Loa Kulu.
Kehidupan sebagian besar masyarakatnya pun tergolong maju dan sejahtera. Apalagi kepala desa pertamanya, Harjo Sumarto, memiliki spirit pengabdian dan etos kerja yang tinggi selama memimpin Ponoragan.
Di masanya, selain bekerja sebagai petani, warga desa tersebut menjadi pekerja di tambang batu bara milik PT TBM. Di sela-sela bekerja di tambang, sebagian di antaranya juga menggarap sawah. Atas keberhasilannya memimpin Ponoragan, juga demi mengenang jasanya, jalan utama di desa tersebut diberi nama Jalan Harjo Sumarto.
Hidup di desa yang sebagian besar penduduknya sejahtera, kondisi ekonomi Wiro dan Suharjono justru tak lebih baik dari saudara-saudaranya di Jawa. Mereka juga hidup dalam kemiskinan. Sarmin yang berkeinginan melanjutkan sekolah tanpa harus bekerja dan memikirkan persoalan ekonomi pun mengurungkan sementara niatnya untuk melanjutkan pendidikan.
Sebagai anak laki-laki pertama dari tujuh bersaudara, Sarmin bertekad melanjutkan pendidikan demi mengangkat harkat dan martabat keluarganya. Sebelum melanjutkan pendidikan di SMP, Sarmin memutuskan bekerja di industri tahu di Ponoragan, Kecamatan Loa Kulu. Dari pekerjaan ini, ia berharap bisa mendapatkan makanan dan tersedia tempat tidur untuk merebahkan badannya di sela-sela bekerja dan sekolah.
“Saya memang dari Jawa meniatkan untuk sekolah. Kalau sudah sampai di Kaltim. Saya ingin sekolah. Jadi, apa pun yang terjadi di sini juga harus sekolah. Walaupun namanya sekolah sambil cari biaya sendiri itu enggak gampang. Sehingga saya akui nilai saya itu boleh dikatakan pas-pasan saja,” ungkapnya.
Pada 1970, ia melanjutkan sekolah di SMP 1 Loa Kulu. SMP 1 Loa Kulu juga merupakan satu-satunya SMP di Loa Kulu. Sementara sekolah setingkat SD di kecamatan tersebut bisa dihitung dengan jari. Kala itu, SMP 1 Loa Kulu belum maju seperti sekarang. Pendidikan pada umumnya di Indonesia juga belum maju dibandingkan saat ini. Di Jawa juga begitu. Mereka yang memiliki minat untuk menempuh pendidikan pun relatif sedikit.
Untuk sampai ke sekolah, Sarmin harus berjalan kaki sejauh 1 kilometer. Ia mengaku berjalan sejauh itu sangat dekat. Apalagi dia pulang dan pergi ke sekolah bersama teman-temannya. Menurutnya, berjalan kaki memiliki dua manfaat. Pertama, bisa sambil berolahraga. Kedua, saat berangkat dan pulang sekolah, Sarmin bisa memanfaatkan waktunya di jalan untuk menghafal pelajaran-pelajaran yang diajarkan guru-gurunya di sekolah. Kebiasaan menghafal juga berdampak positif baginya karena bisa menjawab soal-soal ulangan yang diberikan guru-gurunya di SMP 1 Loa Kulu.
Sarmin mengakui terdapat satu kelebihan menempuh pendidikan di Kaltim dibandingkan di Jawa. Pada tahun 1970, ia sudah menggunakan buku untuk mencatat berbagai mata pelajaran. Sementara di Jawa, dia belum dibekali dengan buku. Catatan setiap mata pelajaran masih menggunakan sabak—sebuah batu hitam yang bila dipakai untuk menulis, maka catatan di permukaannya dapat dihapus. Metode belajarnya, guru meminta pelajar mencatat pelajaran di sabak. Kemudian menghafalkannya. Setelah dihafal, catatan tersebut kemudian dihapus.
Karena itu, saat menempuh pendidikan di Jawa, Sarmin tak memiliki satu pun catatan. Bila ulangan tiba, modalnya hanya kemampuan mengingat berbagai mata pelajaran yang telah diajarkan guru-guru serta dihafal saat berada di kelas. Keadaan yang terbatas ini membuat guru mewajibkan setiap murid menghafal pelajaran. Jika murid tak bisa menghafal pelajaran, maka guru akan memukulnya, sehingga setiap pelajar berusaha keras menguasai mata pelajaran. “Makanya orang dulu kalau sekolah prestasinya juga lumayan,” ucap Sarmin.
Setahun Kumpulkan Uang
Lulus dari SMP 1 Loa Kulu, Sarmin berniat melanjutkan pendidikan ke jenjang Sekolah Menengah Atas (SMA). Saat itu, SMA 1 Tenggarong merupakan satu-satunya sekolah setingkat SMA. Ia memang sangat berkeinginan mengenyam pendidikan lanjutan di sekolah tersebut. Namun, lagi-lagi dia menghadapi masalah finansial. Apalagi untuk sekolah di SMA 1 Tenggarong juga membutuhkan sepeda. Sebab, jaraknya dari Ponoragan sekitar 12 kilometer. Dia pun memutuskan menunda untuk melanjutkan pendidikan selama setahun.
Ia memutar otak demi mendapatkan uang untuk membayar SPP dan membeli sepeda. Sarmin pun bekerja sebagai buruh dalam proyek pengaspalan jalan dari Loa Janan ke Tenggarong. Dari pekerjaan itu, setiap hari ia dibayar Rp 400. Dalam sepekan, ia mendapatkan upah Rp 2.800. Artinya, setiap bulan dia mengantongi Rp 12 ribu. Selama enam bulan bekerja, Sarmin sudah bisa membeli sepeda Simking. Saat itu, sepeda tersebut dijual di pasar dengan harga Rp 20 ribu per unit. Uang yang dikumpulkannya lebih dari cukup untuk membeli sepeda tersebut.
Selain membeli sepeda, ia juga memakai uang dari hasil “memeras keringatnya” itu untuk membeli beberapa ekor ayam. Ternak tersebut dipelihara oleh kerabatnya. Hasilnya dibagi dua. Kelak, Sarmin menggunakan uang dari hasil peternakan itu untuk membayar SPP di SMA 1 Tenggarong, yang dibayar setiap bulan Rp 90.
Meski sudah memiliki sepeda, ia tak langsung bisa masuk sekolah. Sebab saat itu sudah memasuki pertengahan semester. Sarmin pun memutuskan untuk kembali bekerja sebagai buruh dalam proyek perbaikan jalan tersebut. Setahun berlalu, pada tahun 1974 ia masuk SMA 1 Tenggarong.
Sarmin harus merogoh kocek pribadi untuk membiayai pendidikannya. Dua tahun belajar di SMA 1 Tenggarong, ia tak mendapatkan beasiswa. Naik ke kelas tiga, barulah ia menerima beasiswa sebagai pelajar berprestasi yang tak mampu secara ekonomi.
Saat menempuh pendidikan di SMA 1 Tenggarong, Sarmin melewatinya dengan kerja keras. Jarak sekolah dari tempat tinggalnya di Ponoragan yang mencapai 12 kilometer membuat ia harus bangun pagi-pagi. Pada pukul 06.30 Wita, ia sudah mengayuh sepeda bersama teman-temannya. Dia harus sampai ke sekolah sebelum bel berbunyi pada pukul 08.00 Wita.
Sarmin dan pelajar lain di SMA 1 Tenggarong belajar di sekolah hingga pukul 14.00 Wita. Setiap hari, setelah mengayuh sepeda dari Tenggarong, ia sampai di rumahnya pada pukul 15.30 Wita.
Saat duduk di SMA, ia menetap bersama seorang pemilik pabrik pembuatan tahu di RT 1 Ponoragan. Tempatnya tak jauh dari Kantor Desa Ponoragan saat ini. Sarmin masih mengingat dengan baik kala ia harus bekerja siang dan malam saat memasuki hari raya. Di hari-hari besar keagamaan permintaan tahu meningkat drastis. Dia bertugas sebagai penggiling kedelai dan pencetak tahu. Setiap hari ia harus menggiling kedelai sebanyak 100 kg.
Penggilingan kedelai menggunakan giling manual. Sarmin menggiling sambil berdiri. Saat menggiling bahan dasar tahu tersebut, tubuhnya yang kecil membuat setang giling kadang-kadang “menyenggol” jidat Sarmin.
Giling tersebut berbentuk batu besar yang beratnya sekitar 50 kg. Untuk mendapatkan hasil penggilingan, giling itu harus diputar. Memutar batu besar memang bukan pekerjaan yang mudah. Sarmin sesekali merasakan sangat lelah setelah menggiling kedelai.
Beralih Profesi
Sarmin bekerja di pabrik tahu selama tiga tahun. Dari SMP kelas dua hingga SMA kelas satu. Saat duduk di kelas dua SMA, ia memutuskan beralih profesi. Dia bekerja di Balai Benih yang berlokasi di Desa Rempanga, Kecamatan Loa Kulu. Saban hari, sepulang dari sekolah, ia langsung bekerja di Balai Benih. Hal ini dilakukannya demi mendapatkan uang untuk membiayai pendidikannya.
Ia memiliki beberapa tugas saat bekerja di Balai Benih. Salah satunya mengolah tanah dengan cara dicangkul. Belakangan, setelah lahan mencapai 3 hektare, Sarmin diberikan kepercayaan untuk mengolah lahan menggunakan hand traktor. Dia memanfaatkan dengan baik kesempatan tersebut untuk belajar mengolah tanah menggunakan mesin.
“Belajarnya bukan hanya masalah mesin. Saya sering tanya dengan pimpinannya kenapa tanah harus diolah,” ungkap Sarmin.
Sementara di desa, pengolahan tanah masih dilakukan secara tradisional. Para petani juga belum menggunakan pupuk, tak ada pemberantasan hama, dan bibit padi yang digunakan berumur sekitar delapan bulan. Ini pula yang mendorong Sarmin untuk mempelajari berbagai hal baru dalam bidang pertanian.
Sembari bekerja, Sarmin juga bertanya hal-hal yang berkenaan dengan pertanian modern kepada pimpinan Balai Benih tersebut. Setelah memahami sebagian ilmu pertanian modern, dia berusaha mengaplikasikannya di desa. Namun, untuk memperkenalkan pertanian yang disertai bantuan teknologi dan obat-obatan kepada para petani di desa diakui Sarmin tak semudah membalikkan telapak tangan.
Seiring berjalannya waktu, ia memperkenalkan secara perlahan padi unggul yang hanya berumur sekitar tiga setengah bulan. Perbedaannya dengan varian padi daerah yang ditanam para petani kala itu salah satunya dari tinggi batang. Tinggi padi unggul hanya sekitar selutut orang dewasa. Sementara padi daerah tingginya sekitar 1,5 meter. Perbedaan lain, dari segi hasil setelah padi dipanen, kuantitasnya jauh lebih banyak padi unggul daripada padi varian daerah.
Pulang ke Jawa
Sarmin lulus dari SMA 1 Tenggarong pada tahun 1976. Tiga tahun kemudian ia pulang sendiri ke Jawa setelah sepuluh tahun menetap di Kaltim. Sebelum pulang ke Gunung Kancil, ia telah menanam padi varian daerah di lahan seluas 1,5 hektare. Ia pulang ke Jawa saat padi tersebut berumur sekitar tujuh bulan. Artinya, jika ia berada di kampung halamannya selama sebulan, saat kembali ke Kaltim padi itu sudah bisa dipanen.
Beberapa hari setelah berada di kampung halamannya, Sarmin mengajak ayahnya merantau ke Kalimantan. Ajakan itu ditolak mentah-mentah oleh ayahnya. Penyebabnya, sebelum itu Sarmin mengisahkan pengalamannya selama sepuluh tahun di Kaltim. Kedua orang tuanya menangis saat mendengarkan kisah perjalanan hidup dan pendidikan Sarmin yang dibiayainya sendiri tanpa bantuan kedua orang saudara ibunya yang telah membawanya ke Kaltim.
“Waktu di Kaltim saya hanya kirim surat. Kirim surat itu seminggu baru sampai. Itu paling cepat. Saya enggak pernah cerita kalau saya di Ponoragan itu sengsara. Setelah di sana, baru saya ceritakan semuanya. Akhirnya enggak boleh ke sini lagi,” ungkapnya.
Ayahnya luluh setelah mendengarkan sisi positif merantau ke Kaltim. Di Jawa, tanah untuk bertani terbatas. Sementara di Kaltim, tanah untuk dijadikan lahan pertanian tersedia dalam jumlah yang sangat luas. Perbedaan lain, sawah di kampungnya dipenuhi batu kecil. Sedangkan di Bumi Etam, nyaris tak ada satu pun batu di sawah.
Keinginan Sarmin untuk kembali ke Kaltim juga didorong keadaan kampung halamannya yang tak mengalami perubahan berarti. Di sisi lain, dia melihat berbagai peluang di Kaltim, salah satunya di sektor pertanian.
Sarmin juga berjanji, jika ayahnya tak betah di Kaltim, maka ia akan mengizinkannya untuk kembali ke Jawa. Setelah empat hari Sarmin mengutarakan keinginannya membawa ayahnya ke Kaltim, barulah laki-laki beranak tujuh tersebut menyetujui permintaan anaknya. Mereka pun berangkat ke Kaltim bersama adik perempuan Sarmin yang bernama Jumiem.
Kejutan untuk Sang Ayah
Sesampai di Kaltim, Sarmin dan ayahnya melewati sawah yang ditanaminya padi sebelum pulang ke Jawa. Ayahnya bertanya kepada Sarmin, “Ini padinya siapa, Min”. Sarmin kemudian menjawab, “Punya orang, Pak”. Hal itu dilakukannya demi memberikan kejutan kepada ayahnya yang baru saja menginjakkan kaki di Kaltim.
Setelah tiga hari ayahnya berada di Ponoragan, Sarmin mengajaknya ke sawah yang ditanaminya padi tersebut. Kala padi seluas 1,5 hektare itu dipanen, barulah Sarmin menceritakan kenyataan yang sebenarnya bahwa padi tersebut miliknya. Ayahnya sangat terkejut. Sebab, padi seluas itu cukup banyak bagi keluarga yang masih hidup di bawah garis kemiskinan tersebut.
Kemudian, Sarmin juga menceritakan bahwa tanah yang tengah digarapnya akan dijual oleh pemiliknya dengan harga Rp 150 ribu. Saat itu, tanah dengan harga tersebut relatif mahal. Namun, ayahnya mengaku tak dapat menjangkaunya tanpa bantuan Sarmin. Anak ketiga dari tujuh bersaudara itu pun memutuskan menggunakan semua hasil penjualan padi yang baru dipanennya untuk membeli tanah tersebut. Meski begitu, uangnya tak sampai Rp 150 ribu. Ayahnya memutuskan untuk menjual kerbaunya di Jawa sehingga mereka pun dapat membeli sawah tersebut.
Setelah setahun bekerja dan bertani di Ponoragan, Karyo pun kembali membeli tanah seharga Rp 135 ribu. Bertahun-tahun kemudian, taraf hidup mereka kian meningkat.
Kelak, Sarmin menempuh pendidikan tinggi serta menjadi kepala desa di Ponoragan. “Sekarang memang ada yang bilang hidup saya ini enak. Kalau dilihat memang enak. Tapi prosesnya enggak enak,” ucapnya. (ln)