BERITAALTERNATIF.COM – Contoh lain dari kondisi kehidupan kami yang bisa saya sebutkan kepada Anda adalah tentang alas lantai rumah. Rumah kami dilapisi permadani seperti yang biasa ada di rumah-rumah di Iran pada umumnya. Tetapi saya melihat bahwa permadani ini adalah sesuatu yang berlebihan, sehingga saya menjualnya. Saya hanya menyisakan dua permadani di ruang tamu istri saya. Saya berkata dalam hati, “Saya kira permadani ini cukup sebagai perlengkapan istri.”
Ketika saya memutuskan untuk menjual permadani, saya merahasiakannya dari keluarga istri. Saudara-saudara dan paman-pamannya adalah para pedagang permadani dan saya tahu bahwa mereka akan melarang saya melakukannya. Saya memanggil salah seorang saudara saya—dan dia sekarang ada di Masyhad—dan mengatakan kepadanya, “Ambillah sejumlah permadani ini dan juallah, lalu belikan untuk kami beberapa helai karpet!” Karpet (bisath) di Iran adalah hamparan yang ukurannya kecil dan harganya murah. Ia berkata, “Baiklah.” Ia pergi dan kembali dengan membawa karpet-karpet itu.
Sebagiannya dia hamparkan di tiga kamar dan masih tersisa banyak. Mungkin yang kami hamparkan di semua kamar tidak lebih dari sembilan helai karpet, dan tersisa 14 atau 15 karpet lagi. Saya berkata kepada salah seorang murid saya yaitu Syahid Kamiyab, “Duduklah di mobil Haji Saffariyan (dan dia adalah orang yang menjual karpet dan membeli permadani untuk kami) dan bagikan karpet-karpet ini kepada siswa-siswa kami. Berilah setiap siswa satu atau dua helai karpet sesuai kebutuhannya.” Ia melakukannya dan beberapa karpet ini mungkin masih ditemukan di rumah-rumah sebagian saudara-saudara kita ini.
Kemudian istri saya melihat apa yang telah saya lakukan. Ia hanya bertanya, “Mengapa engkau sisakan dua permadani di kamar saya?” Saya berkata, “Dua permadani ini adalah untuk mengganti perlengkapan yang engkau bawa.” Ia berkata, “Tidak, jual juga ini!”
Saya menelepon saudara saya yang tadi dan dia menjualkan dua permadani itu. Kemudian kami melengkapi ruang tamu istri saya dengan dua lembar karpet. Menurut kami saat itu, karpet lebih baik daripada permadani. Kemudian istri saya menghadiahkan dua karpet yang tersisa, sehingga sampai hari ini, di rumah kami hanya ada sembilan karpet yang disebutkan tadi. Di rumah tidak ada permadani sama sekali kecuali satu helai permadani yang akan saya ceritakan kisahnya di bagian akhir nanti.
Setelah kami menjual permadani, paman, bibi dan saudara-saudara istri saya datang dan melihat apa yang telah saya lakukan. Maka, mereka terkejut dan menyalahkan saya atas tindakan itu. Mereka berkata, “Permadani itu awet sedangkan karpet akan cepat rusak. Ini bukanlah perbuatan zuhud. Sebaliknya, itu justru adalah pemborosan.”
Saya katakan kepada mereka, “Pertama, tidak punya keyakinan bahwa kesederhanaan terbatas pada menjual permadani untuk diganti dengan karpet. Selanjutnya, hal itu karena ada orang yang menganggap saya sebagai panutan, sehingga saya lebih memilih menggunakan karpet (bisath atau mukit).”
Kemudian salah seorang dari mereka berkata, “Ada permadani yang lebih murah daripada karpet. Mengapa Anda tidak membeli permadani yang seperti itu?” Saya berkata, “Apakah ada permadani yang seperti itu?” Mereka berkata, “Ya, ada permadani yang oleh pedagang permadani disebut aqra’, yaitu permadani yang wolnya telah hilang di beberapa bagian dan tinggal benangnya. Jika Anda ingin bersikap kanaah, belilah permadani yang seperti itu.” Saya pergi dan membeli dua permadani aqra’ itu. Keduanya masih ada sampai hari ini. Inilah kekecualian yang saya katakan tadi. Dan, kedua permadani ini terhampar di perpustakaan saya.
Rumah yang saya tinggali saat ini memiliki dua lantai: satu lantai untuk keluarga sedangkan di lantai atas ada ruang kerja saya dan satu kamar untuk istirahat saya. Ada satu ruangan lagi untuk perpustakaan, sedangkan kedua permadani itu terhampar di ruangan ini. Keduanya memiliki nilai sejarah.
Ada satu kejadian yang lucu. Selama saya menjadi presiden, saya tinggal di rumah sederhana di belakang gedung Dewan Syura. Kedua permadani itu terhampar di dalam rumah. Lalu salah seorang teman saya datang ke rumah dan melihat kedua permadani itu. Ia bertanya kepada anak-anak, “Mengapa kalian memasang permadani ini terbalik?” Anak-anak tertawa dan berkata, “Ini bukan terbalik. Memang inilah bagian atasnya.” Ia berpikir bahwa permadani itu terbalik karena banyak wolnya yang telah hilang dan yang tersisa tinggal benangnya.
Tadi saya katakan bahwa ada hal-hal di dalam rumah kami yang tidak baik untuk saya ceritakan. Saya tidak senang untuk menyebutkannya. Saya ulangi, bahwa keutamaan dalam itu kembali kepada anugerah Allah Swt. Anugerah ini meliputi kami dalam semua situasi sulit yang saya hadapi seperti pemenjaraan, penyiksaan, pengasingan, dan percobaan pembunuhan. Saya tidak melihat tanda-tanda keputusasaan pada wajahnya. Sebaliknya, saya terinspirasi oleh tekad dan keinginannya yang membantu saya untuk terus melanjutkan perjalanan ini.
Bahkan ibu saya–semoga Allah mengasihaninya–dengan kesabaran, pengertian yang mendalam dan ketegarannya tidak sampai pada tingkat ketegaran dan ketangguhan seperti ini. Ibu saya adalah seorang pemberani yang selalu mendorong saya untuk terus maju dalam berjihad. Ia bahkan berkata kepada saya setelah saya keluar dari penjara yang pertama, “Ibu bangga padamu, Nak! Ibu selalu memohon kepada Allah agar memberimu kesuksesan di jalan ini.”
Tetapi ketika pemenjaraan dan penahanan terhadap saya berulang dia mulai berbicara kepada saya dengan hampir mencela saya tentang berakhirnya masa muda saya di dalam penjara dan pusat penahanan. Adapun istri saya tidak seperti itu. Tidak tampak pada dirinya kelemahan, keletihan, atau kebosanan. (*)
Sumber: Memoar Imam Ali Khamenei, Catatan di Balik Penjara