Oleh: Iven Hertiyasa*
Pada tahun 2019, Presiden Joko Widodo (Jokowi) mengumumkan letak ibu kota baru Indonesia. Ibu kota akan dipindah ke dua kabupaten di Kalimantan Timur, yaitu Kabupaten Kutai Kartanegara dan Kabupaten Penajam Paser Utara.
“Ibu kota negara baru paling ideal adalah di sebagian Kabupaten Penajam Paser Utara dan sebagian di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur,” ujar Jokowi di Istana Presiden, Jakarta, Senin (26/8/2019).
Semenjak ditetapkan melalui Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2022 tentang Ibu Kota Negara, masyarakat Kalimantan Timur, khususnya Kecamatan Loa Kulu, yang terletak di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), telah memulai persiapan sedemikian rupa untuk menyambut perpindahan Ibu Kota Negara (IKN) Nusantara ke Kalimantan Timur (Kaltim). Obrolan tentang IKN mewabah tak hanya di ruang-ruang seminar akademik, tapi juga sampai di gardu ronda siskamling. Tak cuma jadi rumpi kalangan elit, tapi juga mereka yang ekonominya masih tergolong sulit. Perpindahan IKN benar-benar menjadi isu publik, domestik, hingga mancanegara.
Akhir bulan Juli kemarin Presiden untuk pertama kalinya berkantor di IKN. Belakangan diketahui bahwa Presiden akan berada di IKN karena ingin memantau langsung persiapan upacara peringatan 17 Agustus nanti. Sejumlah kepala daerah, tokoh masyarakat, dan tak luput Pj Gubernur Kaltim Akmal Malik mengapresiasi komitmen pemerintah mengenai pembangunan kota Nusantara di Bumi Etam. Kepala negara sudah mulai berkantor di sana meskipun infrastruktur di IKN belum sepenuhnya memadai.
Syahdan, mengutip apa kata pak Ardiansyah, Camat Loa Kulu, “Kami berada di persimpangan sejarah. Perpindahan IKN bukan hanya tentang perubahan geografis, tetapi juga transformasi sosial dan ekonomi.”
***
Kampung yang berada di antara perbukitan Kaltim itu bukan desa biasa, melainkan sebuah warisan leluhur suku Dayak Kenyah, tepatnya sub suku Lepoq Jalan. Desa yang menyimpan sejarah panjang tentang perjalanan suku Dayak Kenyah.
Menuju lokasi sekitar 30 km melalui Jalan Lintas Kalimantan Poros Tengah, dan butuh waktu tempuh sekitar satu jam dari pusat keramaian di Tenggarong, Kabupaten Kukar. Dari Samarinda dibutuhkan waktu sekitar dua jam perjalanan darat. Medan yang berliku dan kadang berbatu akan menyambut wisatawan di sepanjang jalan.
Benar-benar memacu adrenalin! Meskipun demikian, bukan berarti pengunjung tidak bisa menikmati perjalanannya. Asalkan tidak tertidur selama perjalanan, kita disuguhkan pemandangan padang rumput yang hijau, pepohonan rindang, pematang sawah serta kebun warga setempat.
Tentu tidak seperti desa wisata di Bali, Lombok, atau Pulau Jawa yang sudah lebih dikenal, Desa Wisata Lung Anai hingga saat ini belum banyak diketahui oleh para wisatawan.
Padahal desa ini merupakan salah satu titik kelahiran komunitas Dayak Kenyah, yaitu sub suku Lepoq Jalan. Suku Dayak Kenyah Lepoq Jalan menurut tetua adat berasal dari satu daerah di Malinau, Kalimantan Utara, tepatnya dari Desa Apo Kayan. Mereka saat ini bermukim di 20 desa di Kaltim. Namun komunitas yang terbesar berada di Lung Anai.
Menurut catatan sejarah, komunitas Dayak Kenyah Lapoq Jalan mulai datang ke Lung Anai pada kisaran tahun 1960-an saat Indonesia sedang gencar-gencarnya mengumandangkan perang dengan Malaysia. Catatan etnografi Naladwipa Institute Samarinda menyebutkan, rombongan yang pertama meninggalkan Apokayan adalah umaq lung tisai sekitar 200 keluarga, kemudian umaq lulau dengan 50 keluarga, umaq sungan 50 keluarga diikuti umaq lain. Pindah pada tahun 1967 dari Apo Kayan sampai ke Lung Anai tahun 1968, sekitar enam bulan di perjalanan.
Orang Kenyah mulai masuk ke Desa Lung Anai pada masa pembabatan hutan di bentang alam Sepaku hingga Jonggon pada 1986. Saat di wilayah baru Lung Anai mereka bertemu warga lokal, Basap (Dayak selain Kenyah). Mereka bicara dan orang-orang Basap memberi mereka lahan bersama. Saat lahan cocok, mereka kemudian kembali ke Long Segar untuk mengajak keluarga dan rombongan besar.
Sebelum pembentukan Desa Lung Anai, areal ini bernama Tanah Merah, sebuah kawasan penumpukan kayu log milik perusahaan ITCI Kartika Utama. Perusahaan kayu era Soeharto. Lung Anai ditetapkan sebagai Desa Budaya pada 2007. Pemerintah memberikan “keistimewaaan” dengan gelar ini. Wakil Bupati turut hadir dalam pemberian gelar itu.
Salah satu penanda desa adalah keberadaan sebuah rumah Lamin, rumah adat Suku Dayak Kenyah. Rumah ini biasa digunakan untuk menyambut tamu dan menjadi pusat seluruh upacara adat. Rumah-rumah kayu yang bercorak khas Dayak, dominan berkelir kuning, bisa dijumpai di sana. Luas Desa Lung Anai ini sekitar 180 hektare dan dihuni oleh hampir 500 penduduk, yang terbagi menjadi empat rukun tetangga. Setiap tahun pada bulan Mei, seluruh penduduk desa beramai-ramai melakukan pesta budaya yang unik dan menarik, yakni ritual adat untuk mensyukuri hasil panen.
Bukan sekadar Tradisi dan Budaya
Problem apa saja yang terjadi di desa, menurut budayawan Emha Ainun Nadjib, tak terlepas dari pengertian siapa yang mendefinisikan desa, bagaimana ia ditempatkan dalam perspektif kota. Posisi desa, dengan demikian, memang diromantisasi. Lewat wacana pembangunan, masyarakat diseragamkan, dari urusan gaya hidup hingga pilihan politik.
Sebetulnya dipertautkan oleh benang merah perubahan dan perkembangan zaman secara budaya yang amat cepat di desa dan kota. Itu dimungkinkan karena pengaruh modernisasi desa di belakang wacana pembangunanisme, yang ternyata berdampak besar terhadap gaya hidup masyarakat setempat, berasyik-masuk tanpa permisi.
Manakala industri selera menerjang masuk ke desa, maka orang bisa membeli kendaraan bukan untuk menunjang mobilitasnya, melainkan buat dipajang di ruang tamu. Masyarakat kemudian cenderung mengonsumsi nilai tanda agar ia merasa lebih dihormati karena dekorasi atau atribut yang dipamerkan, dipajangkan, serta dikenakan.
Bagaimana nasib berladang warga Desa Lung Anai? Kenyah di Lung Anai belum menyerah. Musim tanam tahun ini, mereka kembali menggagas ladang. Ladang keluarga yang diprakarsai gereja. Mereka baru saja merintis lahan yang masih tersisa. Areal yang belum dibongkar sawit, kayu industri atau tambang batu bara mereka olah. Mafhum saja, di bumi Kaltim sangat marak penambangan sumber daya alam. Tak terkecuali di Kecamatan Loa Kulu.
Walaupun sudah mengenal modernitas, warga Desa Lung Anai masih menjaga tradisi mereka. Tak ayal jika tiap tahun banyak digelar upacara adat Dayak Kenyah. Beberapa upacara yang bisa dinikmati adalah upacara yang terkait siklus pangan berikut pesta panen raya masyarakat Lung Anai. Jangan salah, pengunjung juga boleh ikut serta dalam beberapa sesi upacara itu.
Upacara sebelum tanam dan saat pesta panen selalu dilaksanakan setiap tahun. Keriuhan upacara adat makin sering berlangsung di Desa Budaya Lung Anai, terutama terkait siklus pangan. Seperti, alaq tau (upacara mencari hari baik), uman ubeq (upacara panen) dan uman undat (upacara sesudah panen).
Astronomi lokal ini, dulu sebelum menganut agama Protestan, komunitas Dayak Kenyah memiliki kebiasaan sebelum menanam padi yang disebut ritual alaq tau (melihat bayangan matahari). Ritual ini dimaksudkan untuk mencari waktu yang tepat untuk menamam padi di ladang. Karena manusia berhubungan dengan alam terutama dalam menanam tanaman seperti padi, maka melihat tanda alam juga penting untuk kesuburan tanaman. Di masyarakat Dayak Lung Anai, alaq tau dianggap paling tepat untuk menghindari gagal panen dan kerusakan tanaman yang lain. Tari-tarian juga dianggap penting dalam proses menamam padi. Sebelum mereka menanam, biasanya didahului dengan datun julut, sebuah tarian yang dilakonkan secara berkelompok. Selain itu, ada tarian perang sebagai simbol semangat agar senantiasa ada di saat bekerja di ladang. Sesaat sebelum menanam padi atau yang sering mereka sebut nugal diawali dengan proses penyembelihan seekor babi sebagai tanda syukur kepada penguasa alam.
Kemudian persiapan uman ubeq, sebuah upacara sebelum panen. Ubeq yaitu saat bulir padi yang ijo mulai menguning. Tamu undangan bahkan wisatawan pun boleh ikut berpartisipasi dalam perayaan tersebut. Kemudian cara untuk mengungkapkan rasa syukurnya saat panen padi, yaitu dengan menggelar uman undat. Pesta panen ini dilakukan setiap tahun setelah lepa (sesudah panen padi) atau sekitar Mei-Juni.
Pesta adat uman undat yang diadakan di Desa Lung Anai, Kecamatan Loa Kulu ini diawali dengan pentas tari. Setelah berbagai macam tari dipentaskan, upacara dilanjutkan dengan ritual penyembelihan babi. Yang disembelih adalah babi terbaik yang diperoleh dari pemburuan beberapa hari sebelumnya. Babi dikorbankan sebagai wujud syukur atas hasil panen yang melimpah.
Babi yang akan disembelih diangkat dan kepalanya dipancakkan pada dua galah bersilang. Penyembelihan dilakukan sambil membaca doa-doa. Dahulu, ada prosesi memercikkan darah babi yang disembelih tersebut ke tanah. Darah babi dipersembahkan kepada para bali (roh) yang dipercaya masyarakat Dayak Kenyah telah berjasa memberikan perlindungan dan kesuburan pada ladang mereka. Dagingnya dimasak untuk disantap bersama.
***
Masyarakat Kenyah terus berjuang agar lumbung pangan di rumah dan lumbung desa tetap terisi. Di Lung Anai, ada lumbung padi dekat balai desa. Sejauh ini masih dipertahankan serta masih berisi. Warga yang mempunyai ladang menyumbang untuk mengisi lumbung desa. Andai dapat 100 kaleng, 10 kaleng dimasukkan lumbung. Beras itu konon mereka gunakan untuk kegiatan bersama. Jadi saat gotong royong tidak beli beras. Warga mengambil dari lumbung.
Kehadiran IKN di bumi Kaltim tentu menjadi kebanggaan tersendiri bagi masyarakat Kukar, tak terkecuali warga Desa Lung Anai. Namun kembali mengutip apa kata Camat Loa Kulu, “Kami berada di persimpangan sejarah. Perpindahan IKN bukan hanya tentang perubahan geografis, tetapi juga transformasi sosial dan ekonomi.” Juga tentang bagaimana kita memandangnya secara utuh. Apakah kehadiran IKN itu sebagai kontradiksi dari lokalitas ataukah justru keberadaannya sebagai simbol kesatuan eksistensi Nusantara. Bahwa gemerlap modernisasi mampu hidup berdampingan dengan local wisdom berikut sosio-kultur tradisional masyarakat setempat. Maka umpama batu akik, eksistensi Desa Lung Anai melengkapi keutuhan itu. Potret kebhinekaan kita. (*Pegiat Literasi Kaltim)