BERITAALTERNATIF.COM – Sebuah pernikahan biasanya tidak terjadi begitu saja secara tiba-tiba. Kedua pasangan telah menyusun perencanaan dan melewati proses persiapannya sejak memutuskan untuk menikah.
Tahapan ini dimulai dari mencari dan menentukan calon pasangan, pelaksanaan akad nikah hingga memasuki keluarga yang baru dibangun. Setiap calon pengantin mengharapkan kehidupan yang sukses bersama pasangannya setelah pernikahan. Pada tahap ini, tak seorang pun menginginkan kelak akan terjadi perceraian.
Tahapan sebelum pernikahan sangat berpengaruh terhadap kelanggengan kehidupan keluarga di masa berikutnya. Seberapa jauh pasangan siap menerima peran di keluarga menentukan kepuasan dan penerimaan terhadap kehidupan perkawinannya.
Sebaliknya, ketidakpuasan terhadap perkawinan dan pasangan, akan menjadi masalah yang bergulir membesar bagaikan bola salju hingga memicu perpisahan.
Pertama, menentukan pasangan. Siapakah yang menentukan pasangan hidup kita? Pada beberapa masyarakat, orang tua atau keluarga menjadi penentu dengan siapa seseorang akan menikah. Model pernikahan berdasarkan perjodohan ini tidak memberi ruang bagi pemuda untuk memilih pasangannya.
Biasanya keluarga yang memiliki pemuda lajang akan mencarikan calon istri untuk putranya. Pada masyarakat tertentu, keluarga mempelai perempuanlah yang akan menentukan jodoh bagi putrinya.
Sejak pertengahan abad ke-20, peran keluarga dan orang tua dalam menentukan pasangan hidup semakin berkurang. Anak muda lebih leluasa mencari dan menentukan sendiri pasangan hidupnya. Proses ini akhirnya menghantarkan pada relasi percintaan antara pemuda dan pemudi. Seseorang hanya akan menikahi pasangan yang dicintai dan meyakini hal ini sebagai dasar keberhasilan keluarganya kelak.
Islam mendukung kebebasan pemudanya dalam memilih pasangan hidup, baik untuk anak laki-laki maupun perempuan. Model penentuan pasangan ini sesuai dengan tuntutan dan perkembangan zaman yang mempertemukan kebebasan pemuda dan persetujuan orang tua.
Banyak riwayat berkaitan dengan hal ini, sebagai contoh dalam kitab Wasail as-Syiah jil.14: 220. Seseorang berkata kepada Imam Shadiq alaihi salam: “Sesungguhnya aku ingin menikahi seorang perempuan, tetapi kedua orang tuaku menghendaki agar aku menikah dengan perempuan lain yang mereka sukai”. Imam as berkata, “Menikahlah dengan perempuan yang engkau sukai”.
Menjadi catatan, dalam riwayat lain dinyatakan persetujuan ayah menjadi syarat sahnya pernikahan anak perempuan yang masih perawan. Namun, persetujuan ayah atau kakek sebagai wali bagi perempuan yang masih gadis harus berdasarkan pertimbangan kemaslahatan calon pengantin.
Kedua, melamar. Salah satu tradisi yang berkaitan dengan pernikahan adalah laki-laki meminang perempuan. Hal ini kemungkinan besar karena secara alamiah laki-laki lebih aktif memperlihatkan kecenderungannya kepada lawan jenis.
Sedangkan perempuan, ketika memiliki kecenderungan tersebut, ia akan bertindak reaktif atau menunggu. Selain faktor alamiah, budaya juga berperan dalam perbedaan perilaku laki-laki dan perempuan ketika tertarik dengan lawan jenis. Karena itu pada beberapa kondisi, perempuan melamar laki-laki dengan cara tidak langsung atau melalui perantara.
Berkaitan dengan tradisi ini, secara eksplisit Islam tidak mengharuskan adanya prosesi lamaran. Serta tidak pula melarang perempuan untuk melakukan pinangan. Bahkan, berdasarkan riwayat dan referensi sejarah pernikahan Rasulullah salallahu alaihi wa alihi dimulai dengan pinangan Sayidah Khadijah.
Sebagian pencatat sejarah berpendapat pinangan tersebut dilakukan tanpa perantara dan sebagiannya menyatakan dengan perantara perempuan lain. Dengan demikian, dalam perspektif agama, pinangan yang dilakukan oleh perempuan tidak dianggap melanggar kebiasaan.
Ketiga, akad nikah. Keabsahan hubungan suami istri memiliki tiga aspek yaitu: agama, adat atau tradisi dan undang-undang yang berlaku. Hampir pada semua masyarakat, agama dan tradisi dengan segala formalitasnya memiliki kontribusi dalam sebuah perkawinan. Tanpa dua aspek ini, perkawinan akan kehilangan makna dan pengakuan keberadaannya.
Pada masyarakat modern, selain agama dan tradisi, undang-undang yang berlaku juga turut memberi andil terhadap urusan perkawinan. Selain pelaksanaan akad secara syar’i, perkawinan harus tercatat pada lembaga pemerintah terkait (KUA) yang mengeluarkan buku nikah bagi pasangan.
Dokumen ini berfungsi sebagai legalitas formal perkawinan, bukan penentu keabsahan secara syariat. Karena itu, pada beberapa kasus kadang perkawinan dilakukan tanpa pencatatan ke lembaga pemerintahan. Misalnya, perkawinan pasangan yang belum mencapai batas usia minimal berdasarkan UU Perkawinan. Namun, ketika pasangan mencapai batasan usia yang ditentukan, akan dicatatkan ke lembaga terkait.
Perlukah ada jarak waktu antara pelaksanaan akad nikah dan resepsi perkawinan? Di Indonesia, akad nikah biasanya dilangsungkan bersamaan dengan resepsi perkawinan untuk kemudian pasangan hidup bersama dalam keluarga barunya.
Dalam hal ini, proses akad nikah yang dimaksud adalah adanya tenggang waktu antara akad dengan pelaksanaan resepsi pernikahan. Dalam referensi Islam tidak ditemukan anjuran untuk memisahkan jarak antara pelaksanaan akad dan resepsi. Namun, kondisi hari ini agaknya rentang waktu antara akad dan resepsi memiliki tempat tersendiri sebagai problem solving.
Masalah ekonomi masyarakat muslim di negara-negara berkembang menyulitkan pemuda untuk membiayai resepsi dan menyediakan fasilitas kehidupan baru. Sedangkan untuk melaksanakan akad nikah tidak membutuhkan pengeluaran keuangan yang sangat banyak.
Prosesi akad nikah telah memberikan keabsahan kepada pasangan baik secara syariat, tradisi maupun hukum positif. Dengan itu, dapat menjadi solusi atas masalah menemukan pasangan yang layak dan tekanan lainnya pada pemuda. Pada masa ini, mereka juga dapat mengumpulkan biaya pelaksanaan resepsi dan menyediakan kebutuhan untuk hidup bersama.
Tenggang waktu ini menjawab batasan syar’i, tradisi dan undang-undang atas hubungan pemuda dan pemudi yang belum menikah untuk saling mengenal. Masa akad ini dapat dimanfaatkan bagi pasangan untuk mengetahui personalitas pasangan berkaitan dengan akhlak dan karakter masing-masing.
Meskipun keputusan untuk berpisah pada masa ini menjadi risiko yang tidak diharapkan kedua pihak. Namun, tidak lebih buruk jika dibandingkan dengan perpisahan setelah menjalani kehidupan berkeluarga dan memiliki anak. Perpisahan pada masa ini juga tidak lebih menyakitkan bagi kedua pasangan. (*)
Sumber: Safinah Online