Oleh: Syafiq A. Mughni*
Sudah saatnya kita menggunakan pendekatan baru yang dilandasi kesadaran bahwa memang ada perbedaan pemikiran antara Islam Syiah dan Sunni dalam beberapa hal.
Ketika Nabi Muhammad SAW masih hidup, tidak ada mazhab atau aliran dalam Islam. Perbedaan pendapat jelas ada, tetapi lekas diatasi karena Nabi menjadi tempat pengembalian semua persoalan. Ketika Nabi telah mengambil keputusan, semua sahabat patuh pada putusannya. Semasa hidup Nabi, tidak ada Ahlussunnah, Syiah, Mu’tazilah, atau lainnya.
Jadi, kapan Syiah mulai ada? Jawabnya bisa beragam, tergantung pada apa yang dimaksud dengan Syiah itu. Sejarah menunjukkan bahwa aliran Syiah itu terbentuk melalui proses yang panjang.
Rumusan pemikiran Syiah itu berkembang sebagai respons terhadap tantangan yang dihadapi dari masa ke masa. Bermula dari pemikiran yang sangat sederhana (simple) berkembang menjadi pemikiran yang rumit (sophisticated).
Ketika Nabi Muhammad SAW wafat (632 M), yang dimaksud Syiah—tepatnya bibit-bibit Syiah—adalah sebagian sahabat Nabi yang cenderung pada Ali bin Abi Thalib. Mereka berpendapat Ali lebih layak menggantikan posisi Nabi sebagai pemimpin umat semata-mata dengan alasan kedekatannya kepada Nabi sebagai sepupu dan menantu.
Pada saat itu belum ada argumentasi teologis untuk mendukung kelayakannya sebagai pengganti Nabi. Dua puluh lima tahun kemudian, sekitar 657 M, persoalannya menjadi semakin berkembang ketika terjadi perang saudara antara Ali dan Muawiyah.
Sejak saat itu muncullah argumentasi teologis untuk meligitimasi sikap masing-masing. Ayat-ayat Alquran mulai digunakan untuk menilai siapa yang salah dan siapa yang benar dalam perang saudara itu. Jika salah, apakah berarti mereka sudah keluar dari Islam ataukah sekadar mereka berbuat dosa?
Di tengah-tengah konflik senjata itu, muncul kelompok Khawarij, sebagai contoh, yang menyatakan bahwa baik pendukung Muawiyah maupun Ali sama-sama kafir dan karena itu harus diperangi.
Pada tahap ini, Syiah hanyalah kelompok yang loyal kepada Ali baik karena kualitas kepemimpinannya maupun karena alasan-alasan agama. Tetapi argumentasi keagamaan untuk mendukung Ali masih sangat simpel, ialah keyakinan bahwa Ali berada pada pihak yang benar.
Tiga abad kemudian, sekitar abad ke-10 M, perpecahan politik di kalangan umat Islam semakin rumit. Kerumitan itu diperparah dengan lahirnya kelompok-kelompok politik baru maupun pemikiran agama.
Sebagian dari kelompok-kelompok itu menyerang posisi politik Syiah dengan cara mementahkan argumen bagi superioritas Ali atas sahabat lainnya. Pada masa inilah ayat-ayat Alquran dan Hadis Nabi mulai digunakan oleh kaum Syiah untuk menyatakan hak Ali atas imamah (kepemimpinan).
Pemikiran Syiah tentang imamah menjadi semakin berkembang. Sarjana-sarjana Syiah mulai menyeleksi Hadis dan hasilnya dihimpun dalam kitab, misalnya al-Kafi, karya al-Kulayni (wafat 941).
Mereka juga mulai menyusun kitab-kitab akidah yang menyatakan bahwa imamah adalah salah satu rukun iman. Keyakinan itu berlanjut pada teori bahwa Nabi sesungguhnya telah menunjuk Ali sebagai penggantinya melalui wasiat.
Menurut Syiah, wasiat itu harus dibuktikan dengan nas (perkataan eksplisit) bukan dengan isyarat. Argumen itu disusun untuk menggugurkan pendapat bahwa Abu Bakr, khalifah pertama, juga telah diberi wasiat ketika ditunjuk menggantikan Nabi yang sedang sakit untuk menjadi imam shalat. Kitab-kitab fikih versi Syiah pun mulai lahir.
Jadi, pada abad ke-10, Syiah telah menjadi firqah (aliran keagamaan) yang lengkap. Syiah tidak hanya punya pemimpin dan umat, tetapi juga punya koleksi Hadis, punya kitab fikih, dan punya kitab akidah sendiri.
Pada saat itulah, muncul fenomena baru, yakni mereka yabg di luar Syiah disebut Sunni. Maka, ulama di luar Syiah disebut ulama Sunni. Akidah di luar Syiah disebut akidah Sunni. Koleksi Hadis di luar Syiah disebut kitab Hadis Sunni. Fikih yang dikembangkan di luar tradisi Syiah disebut fikih Sunni.
Saat itulah terjadi polarisasi Syiah-Sunni, ada Islam Syiah dan Sunni. Tetapi, perlu dicatat bahwa perbedaan fundamental (pokok) hanya terletak dalam persoalan imamah. Sedangkan perbedaan lainnya bersifat instrumental. Sebagai contoh, kecaman Syiah terhadap sebagian sahabat Nabi itu hanya konsekuensi dari keyakinannya atas imamah Ali. Sebab, dalam logika Syiah, argumen untuk imamah Ali tidak akan bisa tegak tanpa kecaman terhadap sebagian sahabat yang tidak pro-Ali.
Dalam sejarah, hubungan antara Syiah dan Sunni tidak hanya diwarnai dengan perdebatan, ketegangan, dan konflik. Ada juga saling pengertian dan kerja sama. Bahkan Syiah telah memberikan jasanya tersendiri.
Persoalannya bisakah kita mengambil pelajaran dari masa lalu tanpa terperangkap di dalamnya? Banyak ulama Syiah dan Sunni saling berguru. Ulama-ulama Syiah telah menyelamatkan tradisi falsafah dari kepunahan di abad-abad pertengahan. Kemenangan Revolusi Islam Iran 1979 telah membangkitkan moral dan harga diri umat Islam di hadapan kecongkakan Barat.
Sudah saatnya kita menggunakan pendekatan baru yang dilandasi kesadaran bahwa memang ada perbedaan pemikiran antara Syiah dan Sunni dalam beberapa hal. Tetapi mustahilkah kita membangun kekuatan di atas perbedaan itu untuk melawan ketidakadilan politik dan eksploitasi ekonomi yang menjadi sumber konflik di dunia sekarang ini? (*Cendekiawan Muslim Indonesia/Tokoh Muhammadiyah)