BERITAALTERNATIF.COM – Perdebatan tentang isu Lesbian, Gay, Biseksual, dan Transgender (LGBT) tengah menghangat di publik Indonesia. Isu ini santer dibicarakan setelah mencuat wacana pemidanaan terhadap komunitas LGBT.
Cendekiawan Muslim Indonesia, Dr. Muhsin Labib mengatakan, ada kelompok yang kontra terhadap LGB. Ada yang menolaknya dengan tetap mengakui haknya sebagai warga negara dan manusia. Ada pula yang mendukungnya.
Terlepas dari pro dan kontra soal itu, kata dia, homoseksualitas telah menjadi fenomena yang tidak bisa diabaikan di Indonesia, dan masyarakat perlu penjelasan yang mudah dan tidak menyimpang dari agama dan norma moral.
Ada dua kata kunci yang lazim digunakan dalam perbincangan seputar seks dewasa ini, yaitu orientasi dan perilaku. Orientasi seks adalah perasaan dan konsep diri, bukan perbuatan. Sedangkan perilaku seks ditafsirkan sebagai tindakan yang dapat dipilih. “Orientasi dan perilaku kadang sama, dan kadang berbeda,” jelas Muhsin sebagai dikutip beritaalternatif.com dari artikelnya yang diterbitkan di muhsinlabib.com pada Kamis (26/5/2022).
Kata dia, ada empat orientasi dan perilaku seksual yang biasa digunakan dalam psikologi dan komunikasi popular, yaitu heteroseks, homoseks biseksu dan aseks. Homoseks adalah istilah umum untuk semua pola hubungan seksual sesama jenis baik antar pria dan antar wanita.
Banyak faktor yang membentuk orientasi homoseks. Orientasi homoseks tidak hanya diakibatkan faktor genetik, namun kadang diakibatkan oleh trauma atau gaya hidup bebas.
Pertama, faktor psikologis, yaitu dendam akibat trauma masa lalu; kedua, faktor sosiologis-kultural, yaitu pola hubungan yang dibentuk oleh gaya hidup bebas. Ketiga, faktor genetik. Perilaku homoseks sering diakibatkan oleh orientasi homoseks yang terbentuk oleh struktur gen.
Perilaku homoseks sering dipengaruhi orientasi homoseksual. Orientasi homoseks juga tidak melulu karena faktor sosial-kultural dan psikologis, namun juga genetik. Tidak sedikit orang dengan orientasi heteroseks berperilaku homoseks atau sebaliknya, karena tuntutan profesi atau ekonomi.
Orientasi Seksual
Muhsin menjelaskan, orientasi seksual adalah pola ketertarikan seksual emosional, romantis, dan/atau seksual terhadap laki-laki, perempuan, keduanya, tak satu pun, atau jenis kelamin lain.
American Psychological Association menyebutkan bahwa istilah ini juga merujuk pada perasaan seseorang terhadap “identitas pribadi dan sosial berdasarkan ketertarikan itu, perilaku pengungkapannya, dan keanggotaan pada komunitas yang sama.
Ada tiga orientasi seksual, yaitu heteroseksual, homoseksual, dan biseksual. Umumnya orang adalah heteroseksual alias tertarik hanya kepada lawan jenis. Namun cukup banyak juga orang yang tertarik hanya pada sesama jenis.
Tapi, usaha-usaha itu terbukti kurang bisa mengubah kecenderungan homoseksual yang dimiliki seseorang. Rodrigo Munoz, Presiden American Psychiatric Association (Asosiasi Psikiater Amerika) tahun 1998 menyimpulkan bahwa ‘tidak ada bukti adanya terapi yang efektif untuk memperbaiki atau mengubah orientasi seksual seseorang’.
Boleh dibilang, lanjut dia, orientasi seksual banyak dipengaruhi faktor biologis. Sebuah penelitian menunjukkan bahwa laki-laki homoseksual memiliki anatomi syaraf di beberapa bagian otak yang lebih mirip anatomi syaraf pada perempuan ketimbang pada laki-laki heteroseksual.
Hal inilah yang membuat laki-laki homoseksual cenderung memiliki kemampuan spasial atau memahami ruang sebaik perempuan heteroseksual (normal).
“Sebaliknya, perempuan homoseksual juga memiliki anatomi syaraf di beberapa bagian otak yang lebih mirip laki-laki heteroseksual (normal) daripada perempuan heteroseksual,” terangnya.
Agama dan Orientasi Seks
Muhsin menyebutkan bahwa teks agama Islam secara tegas mengecam perilaku homoseksual. Karena itu, upaya mencari justifikasi perilaku homoseks dalam Islam pastilah tertolak.
Dalam sebagian ayat Alquran yang mengetengahkan kisah perilaku kaum Sodom, kata “ta’tuna” (mendatangi, menggauli) digunakan berarti “aktivitas seksual sesama jenis”. “Dan (ingatlah kisah) Luth, ketika ia berkata kepada kaumnya: “Mengapa kamu mengerjakan perbuatan keji itu sedang kamu melihat(nya). Mengapa kamu mendatangi laki-laki untuk (memenuhi) nafsu(mu), bukan mendatangi wanita? Sebenarnya kamu adalah kaum yang tidak dapat mengetahui (akibat perbuatanmu).” (QS. an-Naml: 54-55)
Memang, sambung dia, ayat-ayat yang mengecam perilaku homoseks mungkin tidak bisa ditafsirkan niscaya mengecam orientasi homoseks karena faktor genetik.
Orientasi homoseks yang timbul karena gaya hidup perlu dipandang sebagai persoalan sosial dan psikologis serta kultural, sehingga diperlukan penyadaran. Sedangkan orientasi homoseks karena faktor determinan, seyogyanya tidak diperlakukan sama dengan orientasi homoseks karena gaya hidup dan trauma.
Para agamawan menentang perilaku homoseks karena hubungan sesama jenis mengancam keberlangsungan generasi manusia. Menurut hukum akal sehat, perilaku homoseks tidak bisa diterima. Tuhan menciptakan manusia berpasangan sebagai bagian dari sistem dialektika dan harmoni yang langgeng.
Secara fisikal dan biologis, laki-laki dirancang sebagai “pemberi” dan wanita sebagai “penerima”. Pemberi tidak akan bisa berposisi sebagai pemberi bila tidak ada penerima, dan begitu pula sebaliknya.
Karenanya, hubungan seks sesama pemberi atau sesama penerima adalah paradoks. Kenyataannya, dalam hubungan sejenis, pasangan sejenis berposisi “pemberi” dan “penerima” secara seksual atau emosional.
Benarkah tidak ada solusi hukum selain fatwa haram? Tidakkah perlu dilakukan klasifikasi yang komprehensif terhadap persoalan ini, misalnya antara yang menjadi waria karena faktor internal (bawaan, genetik, hormonal) dan waria karena faktor eksternal (akibat gaya hidup atau trauma pelecehan seksual dan lainnya) agar hukum agama tidak terkesan diskriminatif dan tidak akomodatif? Samakah gay, yang memang ingin berhubungan badan dengan sesama pria, dengan waria yang ingin diperlakukan sebagai wanita oleh pria? Samakah kecenderungan dengan hasrat seksual? Bagaimanakah kedudukan hukum agama terhadap ganti kelamin?
Mencari Fikih Rasional dan Relevan
Mungkin sudah tiba saatnya, kata Muhsin, digagas sebuah fikih rasional dan kontekstual yang tetap mengedepankan ayat-ayat muhkamat dan ijtihad-ijtihad yang digali dari sumber-sumber utama Islam. Yang juga mungkin perlu dilakukan oleh para ulama, terutama yang berada dalam lembaga keulamaan, memperluas area eksplorasi terhadap sumber-sumber alternatif fikih, dengan misalnya, mempertimbangkan pendapat ulama-ulama dari kalangan non-Sunni, seperti Syiah dan Zaidiyah, bahkan dari kalangan modernis. “Perluasan area eksplorasi fikih ini tentu tidak serta-merta mengubah pandangan fikih tradisional (salaf), apalagi yang bersifat prinsipal,” tegasnya.
Pengayaan wawasan fikih bisa dilakukan melalui mekanisme dialog yang komprehensif yang dihadiri oleh seluruh pakar fikih semua mazhab.
Bagaimanapun, sambung dia, ide demikian tidak akan terealisasi dan harapan akan terbitnya sebuah fikih yang adil akan kandas apabila fanatisme sektarian dan kecurigaan terhadap mazhab lain masih belum lenyap. Karenanya, langkah pertama yang harus diambil adalah membangun rasa saling percaya antar ulama mazhab Islam.
“Sambil menunggu terwujudnya ide pembentukan fikih yang rasional dan relevan, kita bisa menyoroti masalah ini dari beberapa aspek,” ujarnya.
Secara teologis, pengubahan kelamin, tidak dianggap sebagai tindakan mengubah ciptaan Tuhan, karena apa pun yang terjadi dalam proses kemakhlukan di dunia ini, berada dalam koridor sistem penciptaan-Nya. Karena itulah, mengubah bentuk rambut, dengan memotongnya, tidak serta-merta dianggap sebagai tindakan mengubah ciptaan Allah.
Secara yurisprudensial, mengubah kelamin, bisa dianalisis sebagai sebuah tindakan yang tidak haram selama mengikuti kaidah-kaidah hukum syariat, seperti menempuh cara yang haram, menggunakan media dan alat yang haram, bertujuan untuk melakukan sesuatu yang haram, dan sejumlah kondisi dan persyaratan normatif yang telah disepakati.
“Apakah mengubah kelamin, tetap dianggap haram bila dilakukan seraya memperhatikan poin-poin penting di atas?” tanyanya.
Dia meyakini bahwa agama Tuhan yang lestari dan abadi ini tidak hanya melarang seseorang melakukan hubungan seksual sejenis bagi orang yang memang merasa memiliki jiwa ‘perempuan’ yang terbungkus dalam batang raga ‘pria’. Bagaimana nasib sekelompok manusia yang tidak mendapat rezeki keserasian jiwa dan raga? Apakah orang-orang yang mengalami ‘musibah genetik’ ini harus bersabar untuk tidak memenuhi hasrat biologis seumur hidup, karena anggapan umum bahwa agama hanya punya satu vonis hukum yang final, haram?
Memang perkawinan antar sesama jenis dilarang oleh semua agama. Namun mengubah kelamin demi menghindari hubungan sesama jenis tidak semestinya diharamkan pula. Betapa banyak waria, yang memang secara genetik dan psikologis perempuan, ingin diperlakukan sebagai perempuan, bukan sebagai pria? Bila hubungan sesama jenis diharamkan dan ganti kelamin juga diharamkan, maka apakah agama tidak lagi berlaku bagi kelompok ini?
Mungkin, tulis Muhsin, dalam rangka eksplorasi hukum yang akomodatif itu, perlu dikaji tipologi waria, gay dan lesbian secara seksama.
Misalnya waria, pria fisikal yang secara genetik dan psikologis perempuan juga wanita fisikal yang secara genetik dan psikologis pria, dibedakan secara hukum dengan pria yang menjadi waria karena gaya hidup atau trauma, juga tidak sama secara hukum dengan gay, yaitu pria yang memang ingin berhubungan dengan pria, serta tidak diperlakukan sama dengan lesbian murni yang memang hanya ingin berhubungan dengan wanita.
Ini perlu dilakukan oleh para fakih demi mempertegas hukum Islam yang hanya menerima pola hubungan heteroseksual. Artinya, dengan tetapkan mempertahankan keharaman kontak kelamin sejenis, mempertimbangkan kehalalan ganti kelamin dengan memperhatikan aspek genetik, hormonal dan psikologis dalam sebuah bingkai fikih, misalnya, kaidah hukum darurat.
“Tentu, ini hanya sebuah hipotesa yang belum bisa dianggap sebagai solusi hukum apalagi fatwa. Yang jelas, hukum Islam pasti mampu mengatasi problema serumit apa pun, karena Islam adalah solusi,” pungkasnya. (*)