Kukar, beritaalternatif.com – Syamsu Arjaman, Warga Desa Sungai Payang, kini masih memperjuangkan haknya karena lahannya diserobot oleh PT MHU.
Sebelumnya, ia bersama rekannya berjuang untuk menuntut hak mereka lewat pemerintah daerah hingga pemerintah pusat. Namun, tuntutan mereka tak kunjung terpenuhi.
Hingga kini pihaknya belum mendapatkan jawaban dari Kementerian Agraria dan Tata Ruang RI terkait tuntutan ganti rugi terhadap lahan sejumlah warga di desa yang terletak di Kecamatan Loa Kulu, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) tersebut.
“Kemudian dari Komnas HAM juga kita belum ada jawaban,” ungkap pria yang karib disapa Tikong itu kepada beritaalternatif.com baru-baru ini.
Sepulang dari Jakarta beberapa bulan lalu, Bupati Kukar Edi Damansyah melalui Asisten I Setkab Kukar Akhmad Taufik Hidayat menanyakan masalah ini kepada warga.
Kemudian, melalui Kabag SDA Setkab Kukar, pihaknya diminta menyerahkan data-data yang didapatkan di Jakarta maupun sejumlah dokumen pendukung lainnya. “Semua itu saya berikan,” jelasnya.
Pertemuan kemudian berlanjut dengan Asisten I. Warga pun mendapatkan jawaban bahwa kewenangan dalam penyelesaian masalah tersebut tak lagi berada di tangan pemerintah daerah.
“Itu semua diambil alih pusat. Tapi saya sendiri kan tidak pernah mau percaya dan tidak pernah mau puas dengan jawaban secara lisan,” katanya.
Tikong meminta Pemkab Kukar memberikan jawaban tertulis atas kasus tersebut. Jawabannya sama. Kewenangan dalam penyelesaian masalah ini berada di tangan pemerintah pusat.
“Oleh karena itu, mudah-mudahan dalam bulan ini kita bisa ke Jakarta lagi untuk menindaklanjuti hal masalah ini,” ucapnya.
Tikong beserta warga lainnya akan membawa berkas tambahan kepada pemerintah pusat untuk menyelesaikan masalah tersebut.
Ia ingin Presiden Jokowi merealisasikan janjinya. Kata Tikong, setiap kali berpidato, Presiden kerap menekan bahwa rakyat harus hidup sejahtera.
Kenyataannya, penggusuran terjadi di berbagai tempat, yang dalihnya kawasan, hutan produksi, Hak Guna Usaha (HGU), dan lainnya.
Dia mengungkapkan, terakhir pihaknya melayangkan gugatan perdata terhadap PT MHU. Hasilnya, lahan warga belum masuk dalam kawasan pertambangan.
Statusnya baru penunjukan. Karena itu, mestinya perusahaan belum bisa melakukan aktivitas penambangan di lahan milik sejumlah warga Sungai Payang tersebut.
Sebelumnya, PT MHU menyebut lahan itu berstatus sebagai kawasan pertambangan. Namun, di pengadilan terbukti bahwa lahan tersebut belum berstatus kawasan.
Lahan warga memang belum masuk dalam kawasan pertambangan. Namun, perusahaan sudah menambang di lahan warga tersebut, bahkan tanaman-tanaman warga telah dihancurkan.
“Sebelum saya gugat, mereka selalu mengatakan itu kawasan. Untuk mengetahui kawasan, makanya saya gugat,” jelasnya.
Sebagai kawasan penunjukan, Tikong mengaku heran kepada pemerintah yang telah memberikan izin pemanfaatan untuk pertambangan kepada perusahaan.
Atas fakta baru yang terungkap di pengadilan tersebut, pihaknya akan melayangkan gugatan baru kepada Bupati, PT MHU, Kementerian ESDM, dan Menteri Kehutanan.
“Karena mereka ini yang memberikan izin. Lahan itu belum ditetapkan sebagai kawasan, kok berani memberikan izin?” sesalnya.
Gugatan akan dilayangkan segera setelah keluar putusan atas gugatan perdatanya di pengadilan.
Tikong mengaku akan mencari keadilan atas lahannya seluas 3,4 hektare yang kini ditambang PT MHU.
Sementara lima orang warga lainnya meminta ganti rugi sesuai perhitungan pemerintah daerah. Secara keseluruhan, luas lahan mereka mencapai 13,5 hektare.
Berdasarkan perhitungan pemerintah daerah yang didasarkan jarak tanam tumbuh, nilai ganti rugi untuk lahan warga mencapai Rp 3,2 miliar.
“Tetapi berdasarkan tanam tumbuh yang riil di lapangan itu Rp 6,4 miliar. Karena jarak tanam warga itu ada yang 2×3 atau 3×4. Jadi banyak. Sementara aturan dari pemerintah, kalau enggak salah 4×6,” jelasnya.
Tikong mengaku belum menetapkan nilai ganti rugi atas lahannya. Ia hanya ingin mencari keadilan sehingga tanam tumbuh warga tidak lagi digusur begitu saja oleh perusahaan.
“Kalau yang saya punya itu tidak menghitung harga. Saya cari keadilan. Jadi, keadilan itu bagaimana mereka mau mengakui kesalahan. Nanti kita baru bicara nilai,” terangnya. (*)
Penulis: Ufqil Mubin