Oleh: Ali Zainal Abidin Alaydrus*
Pertanian telah menjadi bagian esensial dari peradaban manusia selama ribuan tahun. Transisi dari gaya hidup nomaden ke masyarakat yang menetap memungkinkan manusia untuk mengelola sumber daya alam secara lebih efektif. Melalui praktik bercocok tanam, manusia dapat memproduksi pangan secara berkelanjutan untuk memenuhi kebutuhan hidup sehari-hari. Pertanian juga memainkan peran penting dalam menopang ekonomi, terutama di negara berkembang seperti Indonesia, di mana sebagian besar penduduknya masih bergantung pada sektor agraris.
Secara historis, perkembangan pertanian berjalan seiring dengan kemajuan teknologi, dari penggunaan alat sederhana hingga adopsi mekanisasi dan teknologi bioteknologi yang canggih. Namun, pertanian modern kini menghadapi berbagai tantangan, seperti perubahan iklim, degradasi lahan, penurunan kualitas tanah, serta peningkatan permintaan pangan akibat pertumbuhan populasi global. Menjawab tantangan tersebut, diperlukan inovasi dan efisiensi dalam sistem produksi pangan yang lebih berkelanjutan dan ramah lingkungan.
Peresmian Ibu Kota Negara (IKN) baru Nusantara di Provinsi Kalimantan Timur membawa peluang sekaligus tantangan besar dalam pemenuhan kebutuhan pangan. Upacara peringatan 17 Agustus yang baru saja dilaksanakan di IKN menandai langkah awal penting dalam pembangunan kota ini. Kehadiran IKN sebagai pusat baru membuat tantangan urbanisasi semakin nyata yang akan berdampak terhadap tekanan pemenuhan kebutuhan pangan. Pembangunan IKN juga akan berpengaruh pada kota-kota penopang di sekitarnya seperti Balikpapan dan Samarinda. Lahan pertanian konvensional akan terdesak oleh kebutuhan infrastruktur, perumahan, dan layanan publik yang berpengaruh terhadap ketahanan pangan.
Di tengah keterbatasan lahan dan kebutuhan untuk menjaga ketahanan pangan di daerah perkotaan, konsep pertanian perkotaan (urban farming) muncul sebagai alternatif yang inovatif. Pertanian perkotaan merujuk pada praktik bercocok tanam, beternak, dan pengolahan pangan di dalam atau di sekitar kota besar. Tidak seperti pertanian konvensional yang memerlukan lahan luas, pertanian urban memanfaatkan ruang-ruang kecil, vertikal, dan bahkan atap bangunan untuk produksi pangan.
Beberapa metode pertanian perkotaan yang diterapkan meliputi hidroponik, aquaponik, vertikultur, serta penanaman dalam pot atau polybag. Model-model pertanian ini memanfaatkan ruang yang sebelumnya tidak digunakan untuk produksi pangan, seperti pekarangan, dinding bangunan, atap, dan lahan-lahan kecil di sekitar rumah atau gedung. Di kota-kota penopang IKN yang padat dan ruang terbatas, pertanian perkotaan dapat berperan penting dalam mengisi kesenjangan yang ditinggalkan oleh pertanian tradisional.
Pengaruh pertanian perkotaan terhadap pembangunan IKN di Kalimantan Timur dapat menjadi sangat signifikan. Keberadaan IKN membuat pertanian perkotaan memiliki potensi untuk diintegrasikan sebagai elemen strategis dalam desain dan infrastruktur kota baru ini. Integrasi pertanian urban dalam perencanaan IKN berpeluang memberikan berbagai manfaat, seperti meningkatkan ketahanan pangan, memperbaiki kualitas lingkungan, serta memulihkan lahan terdegradasi di sekitarnya. Hal ini selaras dengan konsep “forest city” yang diusung IKN, yang mencakup delapan prinsip utama pembangunan yang di antarnya ramah lingkungan, daur ulang, agraris, misi nol karbon, dan efisiensi. Kebijakan yang akan dirancang oleh Otorita IKN ke depan sangat dinantikan, khususnya dalam mendukung pengembangan pertanian perkotaan sebagai bagian dari ekosistem kota yang berkelanjutan.
Pembangunan IKN memberikan peluang unik untuk mengintegrasikan pertanian urban dalam desain awal kota. Ini dapat dimulai dengan perencanaan ruang hijau yang tidak hanya berfungsi sebagai taman atau ruang rekreasi, tetapi juga sebagai lahan produktif untuk menanam sayuran, buah-buahan, dan tanaman lainnya. Selain itu, penggunaan teknologi pertanian modern seperti hidroponik dan vertikultur dapat meningkatkan hasil panen dengan efisiensi ruang yang tinggi. Penggunaan teknologi ini juga sejalan dengan visi IKN sebagai kota pintar dan berkelanjutan. Lebih jauh, pertanian urban dapat membantu mengurangi jejak karbon IKN. Menghasilkan pangan dekat dengan titik konsumsi mengurangi kebutuhan transportasi untuk distribusi pangan, yang pada gilirannya mengurangi emisi gas rumah kaca. Langkah ini sesuai dengan target Indonesia untuk mencapai netralitas karbon pada tahun 2060.
Upaya merealisasikan potensi menjadi tantangan tersendiri. Diperlukan kebijakan yang mendukung serta komitmen dari pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya. Pemerintah dapat memperkenalkan insentif pajak bagi individu atau komunitas urban farming. Sebagai contoh, di beberapa kota di Amerika Serikat, seperti Washington D.C., properti yang digunakan untuk pertanian urban dapat memperoleh pengurangan pajak properti hingga 90 persen. Hal ini bertujuan untul memotivasi lebih banyak masyakarat untuk terlibat dalam dalam pertanian perkotaan. Selain itu, bantuan yang bisa diberikan bisa berupa subsidi atau bantuan teknis untuk infrastruktur pertanian, seperti sistem irigasi hidroponik, pupuk organik, dan bibit tanaman. Bantuan berupa pendidikan dan pelatihan tentang teknik pertanian urban juga perlu diperluas di kalangan masyarakat. Program-program pelatihan di tingkat komunitas atau sekolah dapat mendorong partisipasi luas dalam praktik ini, serta meningkatkan keterampilan yang diperlukan untuk keberhasilan jangka panjang. Pemerintah daerah juga dapat menginisiasi proyek percontohan untuk mempromosikan keberhasilan pertanian urban, yang kemudian dapat direplikasi di daerah lain.
Tantangan lainnya yang perlu dihadapi yaitu biaya. Biaya produksi di awal untuk pertanian perkotaan relatif tinggi karena melibatkan teknologi modern. Namun, tantangan ini dapat diatasi dengan pendekatan yang tepat. Kolaborasi antara pemerintah, sektor swasta, akademisi, dan masyarakat sangat penting untuk menciptakan ekosistem yang mendukung. Sektor swasta dapat berinvestasi dalam teknologi pertanian urban, sementara akademisi dapat melakukan penelitian untuk mengoptimalkan teknik pertanian urban yang paling sesuai dengan kondisi lokal Kaltim dan IKN.
Pertanian urban menawarkan solusi pragmatis dan berkelanjutan bagi Kaltim dan IKN dalam menghadapi tantangan ketahanan pangan. Melalui integrasi yang cerdas dan dukungan kebijakan yang tepat, pertanian urban dapat menjadi tulang punggung ketahanan pangan di wilayah tersebut. Selain mendukung kebutuhan pangan lokal, inisiatif ini juga berkontribusi pada pencapaian tujuan pembangunan berkelanjutan (SDGs). Khususnya dalam mengentaskan kemiskinan (SDG 1), mengakhiri kelaparan (SDG 2), mendorong keberlanjutan kota (SDG 11), dan mengatasi perubahan iklim (SDG 13).
Dengan demikian, pertanian urban dapat menciptakan lingkungan kota yang lebih hijau dan sehat, selaras dengan Visi Indonesia Emas 2045 yang bertujuan menjadikan Indonesia sebagai “Negara Nusantara yang Berdaulat, Maju, dan Berkelanjutan”. (*Dosen Prodi Agroekoteknologi Universitas Mulawarman Samarinda)