Kukar, beritaalternatif.com – Eksponen gerakan Reformasi 1998 di Kutai Kartanegara (Kukar), Haidir, merespons pro dan kontra poster yang memuat gambar Presiden Jokowi yang disertai kalimat Jokowi: The King Of Lip Service, yang dimuat akun Twitter Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI).
Haidir mengatakan, sejatinya kritik dapat disampaikan dalam bentuk apa pun, bisa di media sosial (medsos) maupun penyampaian langsung pernyataan sikap kepada pemerintah melalui demonstrasi maupun aksi teatrikal. Penyampaian kritik merupakan bagian dari peran dan fungsi mahasiswa.
Kata dia, medsos mempunyai jangkauan yang lebih luas dalam penyampaian kritik dibandingkan cara-cara konvensional yang ditempuh mahasiswa di era Orde Lama maupun Orde Baru.
Sebelumnya, mahasiswa harus menyampaikan kritik sambil berharap ada media massa yang menulis dan memberitakannya. Jika diberitakan, maka kritik tersebut akan diketahui secara luas oleh publik.
Sementara di era ini, penyampaian kritik di medsos dapat dikonsumsi secara luas oleh masyarakat tanpa disertai pemberitaan dari media massa.
“Tapi yang paling penting adalah, apakah kritik sudah mewakili keresahan masyarakat? Kedua, hendaknya mahasiswa, terutama dengan model poster yang singkat seperti itu, pada akhirnya di momentum tertentu harus menjelaskan apa sih persoalannya,” kata Haidir kepada beritaalternatif.com, Rabu (30/6/2021).
Apabila mahasiswa tak menjabarkan secara detail poin-poin kritik mereka, maka poster tersebut tak lebih dari ejekan, hinaan, atau upaya menyebarkan kebencian.
Sebaliknya, bila mahasiswa memiliki data serta sumber yang jelas di balik poster tersebut, maka hal itu akan lebih bermakna. Namun, jika tak disertai penjelasan, sebagian orang akan menilainya sebagai upaya menaikkan popularitas pribadi dan lembaga.
“Jadi, kesannya menggambarkan keberanian saja. Tidak lebih dari itu. Tapi kalau ada fakta dan datanya, itu akan lebih obyektif. Orang-orang bisa menilai benar dan salah apa yang menjadi kritik mahasiswa,” ujarnya.
Ketua Umum HMI Cabang Tenggarong periode 1997-1998 ini menjelaskan, penjabaran problem dan kelemahan kebijakan Presiden Jokowi bisa menjadi dasar bagi pemerintah pusat menanggapi kritikan mahasiswa.
Selain itu, kritik yang dilontarkan perlu disertai pununjukan kelemahan kinerja sektor-sektor di kementerian maupun lembaga serta koordinasi dengan pemerintah daerah yang kurang maksimal dalam penanganan masalah negara.
“Misalnya yang sedang aktual juga soal penanganan Covid-19. Di mana kelemahannya? Kan ada problem yang terjadi dalam kebijakan atau aktualisasi dari kebijakan pemerintah. Itu baru terlihat obyektif,” jelasnya.
“Kalau tidak begitu, kritiknya tidak bisa dinilai. Paling tidak mahasiswa tidak bisa menerima manfaat langsung ataupun tidak langsung. Masyarakat juga kan berharap ada gambaran yang jelas terhadap kritik yang disampaikan di poster media sosial itu,” lanjutnya.
Penjelasan detail di balik kritik yang dilontarkan lewat poster menjadi tanggung jawab mahasiswa. Setidaknya, mahasiswa dapat menyampaikannya dalam bentuk rekomendasi hasil kajian.
Pasalnya, hal ini dinantikan masyarakat agar dapat dinilai kebenaran atau kesalahannya. Haidir mengingatkan, bila poster itu tanpa disertai penjelasan detail, hal itu justru akan menjatuhkan citra mahasiswa.
Meskipun tanpa bobot yang memadai dan tak berkualitas, kritik itu akan jauh lebih baik dibandingkan dalam bentuk poster tanpa penjelasan detail. Pembuatan dan penyebaran poster itu bisa saja dicitrakan dan disamakan dengan stiker di motor atau stiker obat.
“Kalaupun sampai sekarang tidak ada penjelasan, insyaallah sampai periode ini mungkin aman. Tapi ketika berganti pemerintahan atau ditujukan kepada pihak-pihak tertentu, tanpa penjelasan yang berarti, kemudian dilakukan pada rezim yang berbeda, mungkin akan berbeda hasil yang didapatkan mahasiswa. Bisa saja itu bermuara pada aspek hukum,” katanya.
Dia menyarankan mahasiswa lebih banyak mengkaji dan memahami problem-problem masyarakat. Kemudian mendiskusikan dan mencari solusi terhadap masalah yang dihadapi masyarakat. Jika mahasiswa ikut terlibat dalam penyelesaian masalah publik, maka mereka akan mendapatkan apresiasi.
Namun, kritik tanpa dasar dan solusi hanya akan mencitrakan mahasiswa mengalami kemunduran intelektual. Apalagi tanpa disertai kepekaan sosial, tanpa pemahaman terhadap situasi politik, dan tak disertai bekal pengetahuan, maka citra mahasiswa akan dinilai buruk.
“Mahasiswa harus lebih berpikir untuk mencoba menyuarkan problematika masyarakat daripada membuat kegaduhan. Mahasiswa harus lebih mengutamakan tersalurkannya aspirasi masyarakat daripada membangun popularitas saja,” ucapnya.
“Karena popularitas itu konsekuensi logis saja ketika mahasiswa membuat sebuah kritikan kepada pemerintah. Jadi, tidak perlu berorientasi pada popularitas. Saya tidak menuduh. Kalaupun ada pemikiran untuk membangun popularitas, maka carilah popularitas yang kira-kira bermanfaat bagi banyak orang. Bukan hanya bermanfaat bagi diri sendiri,” pungkas Haidir. (ln)