Oleh: Dina Sulaeman*
Iran-Saudi berbaikan dengan mediasi China. Ini sebuah perkembangan yang sangat besar, dan menarik untuk diamati. China tampil sebagai antitesisnya AS. China menjadi mediator yang mendamaikan. Beda dengan AS malah justru memecah belah negara-negara di kawasan.
Perseteruan Iran dan Saudi akarnya ada di AS, bukan di mazhab Sunni-Syiah. Buktinya, dulu zaman Shah Iran, dua negara ini baik-baik saja dan sama-sama tunduk pada AS.
Setelah Shah Iran tumbang dan berdiri Republik Islam Iran, yang frontal menolak dominasi AS, dan sejak awal menyatakan pembelaan pada Palestina, situasi pun berubah. Saudi disuruh AS memproduksi buku-buku dan mengutus ustad ke seluruh dunia, menyebarluaskan fitnah soal “Syiah”.
Penyebarluasan narasi “Syiah sesat” yang dilakukan ustad-ustad Wahabi ke seluruh dunia, terjadi seiring dengan penyebarluasan paham Wahabi ke seluruh dunia era Perang Dingin.
Kata Pangeran Mohamed Bin Salman, penyebaran Wahabi itu atas permintaan Barat. Dana-dana sangat besar mengalir ke berbagai penjuru dunia, menyebarkan paham Wahabi yang jauh dari Islam rahmatan lil Alamin. Hasilnya, muncul terorisme yang bawa-bawa Islam.
Kata KH. Said Aqil Siradj: “Ajaran Wahabi bukan terorisme, bukan, Wahabi bukan terorisme, tapi pintu masuk. Kalau udah Wahabi ‘ini musyrik, ini bid’ah, ini sesat, ini nggak boleh, ini kafir,’ itu langsung satu langkah lagi, satu step lagi ‘sudah halal darahnya boleh dibunuh’. Jadi benih pintu masuk terorisme adalah Wahabi dan Salafi”.
Balik ke geopolitik. Supaya bisa menguasai Timur Tengah yang kaya migas, AS atau Barat memanfaatkan orang-orang garis keras—”jihadis” yang mudah diprovokasi ini.
Jihadis kadang dipakai AS untuk menjatuhkan rezim yang berani melawannya, misal: “jihad” melawan Qaddafi dan Suriah, tapi di lain waktu AS justru mengaku berperang melawan teroris. Tahun 2001 AS menyerang Afghanistan dengan alasan melawan Taliban dan Al Qaida, lalu seolah memimpin perang melawan teroris di seluruh dunia.
Kita, orang Indonesia juga harus anti terorisme, dan melawan radikalisme dan terorisme, tapi jika perang melawan terornya patuh pada kehendak AS, yang jelas-jelas juga membiayai teroris untuk menggulingkan rezim-rezim yang tidak ia kehendaki, jelas salah kaprah.
Dalam “perang melawan teror” (plus agenda penggulingan rezim), selama ini Saudi memiliki posisi penting sebagai sekutu AS.
AS menjanjikan perlindungan dan senjata kepada monarki Saudi. Saudi pun menjalankan tugasnya, antara lain, memusuhi Iran. Tapi kini, sejak perang Rusia vs NATO dan Ukraina, situasi geopolitik berubah. Saudi melihat AS sama sekali tidak peduli pada sekutu-sekutunya.
Bahkan Nord Stream pun, pipa gas yang sangat vital bagi bangsa-bangsa Eropa, diledakkan. Eropa kini harus beli gas dengan harga mahal dari AS. AS tidak peduli rakyat Eropa semakin kesulitan ekonomi. Nah, siapa yang jamin bahwa AS besok lusa tidak akan merancang kudeta pada bin Salman?
Sementara itu, di saat yang sama, Iran yang diembargo dan difitnah habis-habisan, maju terus dengan sains, teknologi, dan persenjataan yang semakin kuat. Bahkan drone Iran juga dipakai dalam perang Ukraina.
China juga semakin kuat ekonominya, sementara AS semakin kedodoran karena APBN-nya dipakai perang melulu.
Rudal Iran, bisa menjangkau Saudi dan Israel. Iran, Rusia, dan Hizbullah bersama tentara Suriah juga terbukti berhasil mengalahkan ISIS dan Al Qaida di Suriah, padahal teroris-teroris itu didanai besar-besaran oleh Saudi dkk.
Siapa yang jamin AS akan melindungi Saudi jika ada perang? Dalam situasi seperti ini, hitung-hitungan rasional dan logis buat Saudi adalah berbaikan dengan Iran.
Buat Iran, memang dari dulu ingin berbaik-baikan saja dengan semua negara Arab, tapi negara-negara Arab yang menuduh “ekspor revolusi” dan “Syiah sesat” mulu?
Impian Iran sama dengan impian negara muslim lainnya: rakyat bisa ke Mekah dan Madinah dengan aman dan nyaman. Sekarang ini, orang Iran mau umrah dan haji repot banget karena sikap Saudi yang mempersulitnya. Jadi, buat Iran, ada kepentingan besar untuk berbaikan dengan Saudi.
Di tengah kepentingan-kepentingan ini, ada China yang juga sama-sama punya kepentingan, baik ekonomi maupun politik. Karena terus-terusan dimusuhi AS, China kini semakin berani blak-blakan mengecam AS, juga menjalankan peran sebagai “super power diplomasi”, menyaingi AS.
Bedanya, diplomasi China mengedepankan kepentingan bersama: kita untung bersama, happy bersama. Diplomasi “untung bersama” jelas beda dengan diplomasi koersi ala AS: “lo nurut sama gue, kalau tidak, rezim lo gue gulingkan!”
Semoga saja, Saudi bisa terus mempertahankan sikap rasionalnya, memikirkan keuntungan bangsanya. Perang cuma bikin rugi APBN, yang untung perusahaan-perusahaan AS. (*Pengamat Timur Tengah)