Perubahan Kiblat adalah peristiwa perubahan kiblat kaum muslimin dari Masjidil Aqsa ke arah Ka’bah. Peristiwa ini terjadi pada bulan Rajab tahun ke-2 H dan setelah turunnya Surah Al-Baqarah ayat 144:
Sungguh Kami (sering) melihat mukamu menengadah ke langit, maka sungguh Kami akan memalingkan kamu ke kiblat yang kamu sukai. Palingkanlah mukamu ke arah Masjidil Haram. Dan dimana saja kamu berada, palingkanlah mukamu ke arahnya. Dan sesungguhnya orang-orang (Yahudi dan Nasrani) yang diberi Al Kitab (Taurat dan Injil) memang mengetahui, bahwa berpaling ke Masjidil Haram itu adalah benar dari Tuhannya; dan Allah sekali-kali tidak lengah dari apa yang mereka kerjakan.
Berdasarkan perkataan sebagian besar penulis sejarah, perubahan kiblat terjadi di Masjid Dzul Qiblatain di kota Madinah ketika (Nabi dan para sahabat) sedang melaksanakan salat Dhuhur. Bagaimana perubahan lebih dari 160 derajat arah kiblat dalam salat jamaah merupakan permasalahan yang menarik perhatian dalam peristiwa ini.
Ka’bah telah menjadi kiblat semenjak zaman Nabi Adam a.s. Nabi Ibrahim a.s. membangun Ka’bah kembali. Nabi Musa atas perintah Allah demi untuk menyelamatkan Masjid Al-Aqsa dari syirik dan penyimpangan akidah, menjadikan Baitul Maqdis sebagai kiblatnya.
Dalam sebagian riwayat dinyatakan bahwa Baitul Maqdis telah menjadi kiblat secara resmi bagi kaum muslimin sampai dua tahun setelah Hijrah. Pada waktu itu Ka’bah masih berupa tempat untuk menyembah patung dan salat ke arah sana menimbulkan pertanyaan bahwa perbuatan tersebut seolah-olah mengagungkan berhala.
Sebagian mengatakan bahwa Nabi Muhammad Saww sebelum hijrah, jika memungkinkan akan menggabungkan dua kiblat, sebab dengan mengingat letak geografi Mekah dan Baitul Maqdis maka Nabi masih bisa menghadap ke Baitul Maqdis sedemikian rupa sehingga Ka’bah ada di antara beliau dan Baitul Maqdis, dan jika tidak mungkin, maka beliau akan salat ke arah Masjidil Haram.
Setelah hijrah, penyatuan dua kiblat tersebut karena letak geografi tidak mungkin lagi dan dengan demikian kiblat kaum muslimin hanya Baitul Maqdis saja.
Berdasarkan sebagian riwayat yang lain, kaum muslimin diberikan kebebasan untuk memilih ke arah mana salatnya, namun Nabi Muhammad saw salat menghadap ke Baitul Maqdis.
Terdapat pula riwayat-riwayat yang menyatakan bahwa sebelum hijrah, Ka’bah adalah kiblat pertama bagi kaum muslimin. Riwayat ini meniscayakan adanya dua kali periode perubahan kiblat yaitu dari Ka’bah ke Baitul Maqdis dan dari Baitul Maqdis ke Ka’bah. Menunjukkan kebebasan Nabi dan kaum Muslimin untuk memilih di antara dua kiblat. Mereka dalam membela pendapatnya bersandar pada sikap Rasulullah Saww yang tidak memprotes secara terang-terangan terhadap perbuatan Bara bin Ma’rur dalam perjalanan ke Mekah sebelum Hijrah dimana ia salat menghadap ke arah Ka’bah. Sebaliknya, sebagian orang berpendapat bahwa ayat-ayat yang telah disebutkan berkaitan dengan salat-salat sunah yang dikerjakan dalam perjalanan (safar). Namun berdasarkan sebagian riwayat-riwayat historis, Bara’ bin Ma’rur setelah hijrah tetap salat menghadap ke arah kiblat padahal Nabi salat ke arah Baitul Maqdis. Ketika kabar tersebut sampai kepada Nabi Muhammad saw, maka Bara’ dilarang lagi untuk salat menghadap Ka’bah dan ia pun menerima.
Menurut riwayat-riwayat yang ada, Nabi Muhammad Saww sedang salat Dhuhur ke arah Baitul Maqdis dan seperti biasa ada orang-orang yang makmun kepada beliau. Setelah menyelesaikan dua rakaat, malaikat Jibril turun dan menyampaikan surah Al-Baqarah ayat 144 supaya melakukan salat ke arah Ka’bah.
Para mufasir Al-Quran menjelaskan hal-hal berikut sebagai sebab-sebab digantikannya arah kiblat:
Pada tahun-tahun kehadiran Nabi Muhammad Saww di Mekah, Ka’bah adalah tempat untuk menampung berhala-berhala kaum musyrikin. Oleh karena itu, Nabi Muhammad Saww atas perintah Allah Swt. memerintahkan untuk pindah kiblat ke arah Baitul Maqdis untuk sementara waktu.
Dengan demikian, shaf-shaf kaum muslimin akan berbeda dengan kaum Musyrikin.
Dengan terbentuknya pemerintahan Nabi di Madinah, masyarakat muslim cukup kuat dan shaf-shaf mereka menjadi jelas. Oleh karena itu, tidak penting lagi arah kiblat kaum muslimin adalah Baitul Maqdis dan Nabi juga telah lama menginginkan hal tersebut. Nabi juga selalu menunggu-nunggu datangnya wahyu mengenai perpindahan arah kiblat ke Ka’bah di samping bahwa Ka’bah adalah rumah tauhid yang paling tua dan rukun paling asli para Nabi. Demikian juga dengan keluarnya hukum perubahan kiblat, akan menjadi jelas orang-orang muslim dari orang Yahudi yang menghadap ke Baitul Maqdis.
Salah satu hikmah dari perubahan kiblat adalah ujian bagi kaum muslimin karena mereka yang beriman akan langsung menerima perubahan ini tanpa pemrotesan sedikit pun, namun mereka yang tidak memiliki keimanan yang benar dan belum sampai pada tingkatan menerima ajaran Islam, maka mereka sependapat dengan apa yang disampaikan oleh kaum Yahudi, mencari-cari alasan dan sangat susah untuk mengikuti peraturan-peraturan ini.
Perubahan kiblat mengundang reaksi-reaksi dan memiliki pesan-pesan seperti: Sebagian kaum muslimin khawatir akan sia-sianya ibadahnya yang terdahulu dan ibadahnya orang-orang yang telah meninggal. Namun Nabi menjawab kekhawatiran mereka dengan membaca Surat Al-Baqarah ayat 143.
Orang-orang musyrik yang fanatik menyalahkan dan mengecam orang-orang Islam karena telah ada perubahan kiblat.
Sangat banyak orang-orang Hijaz yang memiliki kecintaan khusus kepada Ka’bah dengan adanya perubahan kiblat kaum muslimin ke Ka’bah maka mereka menjadi lebih dekat kepada agama Islam dan salah satu halangan mereka untuk masuk Islam telah hilang.
Orang-orang Yahudi Hijaz tidak suka atas kejadian ini dan mulai membuat propaganda anti kaum muslimin. (nsa)
Sumber: Selengkapnya tentang sejarah perubahan arah kiblat dapat mengunjungi https://id.wikishia.net/view/Perubahan_Kiblat