Search

Pilkada seperti Kukar Harus Diulang, Ini Menurut Effendi Gazali dan Ketua MAKI

Panel 1 sidang perkara PHPU Gubernur, Bupati dan Walikota pada Senin, 13 Januari 2025. (Tangkapan layar channel Youtube Mahkamah Konstitusi RI)

BERITAALTERNATIF.COM – Sengketa Pilkada pada sejumlah daerah memasuki tahap persidangan di Mahkamah Konstitusi (MK).

Salah satunya, sidang perdana MK untuk Pilkada Kutai Kartanegara (Kukar). Sidang yang berlangsung pada Senin (31/1/2025) pukul 13.00 WIB di Gedung MK, Jakarta, menghadirkan permohonan yang disampaikan oleh tim kuasa hukum Dendi-Alif pada sidang pemeriksaan pendahuluan Perselisihan Hasil Pemilihan Umum (PHPU) Pilkada Kukar 2024.

Dalam sidang tersebut, pasangan calon bupati dan calon wakil bupati Kukar nomor urut 3, Dendi Suryadi dan Alif Turiadi (Dendi-Alif) melalui tim kuasa hukumnya, di antaranya meminta MK untuk memerintahkan KPU Kukar menggelar pemungutan suara ulang di semua TPS terkait Pilkada Kukar 2024, juga meminta MK memerintahkan KPU untuk menganulir pasangan calon (paslon) nomor urut 1 Edi Damansyah dan Rendi Solihin.

Advertisements

Pihak pemohon diwakili oleh Pengacara Prof Yafet Y.W Rissy,SH,MSI .,LLM .,PhD dan  dari law firm Ihza & Ihza , serta M.Maulana Bungaran SH.MH Ketua Lembaga Advokasi Hukum Indonesia Raya dan Tim.

Sementara, sidang tersebut dipimpin oleh Ketua MK Suhartoyo didampingi Hakim Konstitusi Daniel Yusmic P Foekh dan M. Guntur Hamzah.

Tanggapan atas Sengketa Pilkada Kukar

Bagaimana putusan MK terhadap Judicial Review mengenai calon kepala daerah yang sudah menjabat akumulatif faktual atau riil satu periode ditambah lebih dari 2 tahun 6 bulan?

Pakar komunikasi politik dari Salemba School, yang sebelumnya merupakan Koordinator Program Pascasarjana Komunikasi Politik Universitas Indonesia, Effendi Gazali menyatakan hal tersebut juga sudah amat jelas, bak basuluah matohari, cetho welo-welo.

“Tidak pernah ada satu pun putusan MK yang menyatakan memperbolehkan calon kepala daerah yang sudah menjabat akumulatif satu periode ditambah lebih dari 2 tahun 6 bulan, maju dalam Pilkada mana pun,” kata Effendi dalam pernyataannya melalui keterangan pers yang diterima Berita Alternatif.

Mengapa? Effendi Gazali menyatakan, sederhana saja! Konstitusi kita dengan segala turunan undang-undangnya hanya memperbolehkan seorang kepala daerah memerintah di suatu daerah selama-lamanya dua kali 5 tahun atau total 10 tahun.

Jika MK mengabulkan mereka yang sudah menjabat akumulatif satu periode ditambah lebih dari 2 tahun 6 bulan maju dalam Pilkada untuk kedua kalinya, maka seorang kepala daerah bisa memerintah di suatu daerah dengan total sekitar lebih dari 12 tahun 6 bulan.

“Atau jangan-jangan bisa sampai 14 tahun. Ini jelas bertentangan dengan prinsip demokrasi, konstitusi, dan semua perundangan yang berlaku,” sambungnya.

Bisa dilihat semua Judicial Review terhadap syarat kepala daerah yang pernah menjabat akumulatif satu periode ditambah lebih dari 2 tahun 6 bulan ini. Apa putusan MK terhadap semua Judicial Review tersebut? Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 (17 November 2009), Putusan MK Nomor 67/PUUXVIII/2020, Putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023 (28 Februari 2023), dan Putusan MK Nomor 129/PUU-XXII/2024 (14 November 2024), semuanya konsisten menolak serta saling mengutip putusan terdahulu satu sama lain.

Menurut Effendi, persoalannya jelas hanya masalah komunikasi publik. Sama seperti terhadap Putusan MA mengenai persyaratan usia calon kepala daerah yang dihitung pada saat pelantikan, MK tidak pernah menyatakan secara langsung bahwa MK menolak putusan MA itu! Tapi seluruh putusan MK mengenai hal tersebut selalu konsisten yaitu menolaknya. Sama persis dengan persyaratan apakah kalau menjabat secara akumulatif satu periode ditambah lebih dari 2 tahun 6 bulan (atau sekitar lebih dari 7 tahun 6 bulan) masih boleh maju lagi dalam pilkada atau tidak boleh.

“MK tidak pernah menyatakan menolak PKPU (Peraturan KPU) yang mengatur hal tersebut. Namun kalau dilakukan, ya artinya bertentangan dengan Putusan MK. Harusnya sesederhana itu. Tidak perlu ada pakar atau beberapa media yang berusaha memelintir kesana-kemari baik secara sengaja atau karena ketidaktahuan,” jelasnya.

Menurutnya, dapat dilihat juga pada Putusan MK yang terakhir, yaitu Putusan Nomor 129/PUU-XXII/2024 (14 November 2024). Bagaimana mungkin ada pakar atau beberapa media yang bisa menyatakan justru putusan MK itu memperbolehkan calon yang sudah menjabat akumulatif satu periode ditambah lebih dari 2 tahun 6 bulan maju kembali? Perhatikan dengan seksama pertimbangan MK ini halaman 67:

Oleh karena itu, berkaitan dengan persoalan inkonstitusionalitas yang didalilkan para Pemohon, Mahkamah tidak menemukan relevansi untuk memaknai Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 khususnya mengenai cara penghitungan “2 (dua) kali masa jabatan” dengan menggunakan cara penghitungan yang diatur dalam Pasal 162 ayat (1) dan ayat (2) UU 10/2016. Mahkamah telah pernah melakukan pengujian konstitusionalitas atas norma Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 dan mengeluarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 67/PUU-XVIII/2020, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 14 Desember 2020 dan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XXI/2023, yang diucapkan dalam sidang pleno terbuka untuk umum pada tanggal 28 Februari 2023.

Seharusnya pertimbangan hukum Putusan Mahkamah Konstitusi tersebut dijadikan acuan untuk ditindaklanjuti oleh lembaga yang berwenang untuk mengatur mengenai cara penghitungan atau menentukan mulai menjabat, khususnya bagi pejabat gubernur, bupati atau walikota yang telah melaksanakan tugas dan wewenang dalam jabatan tersebut. Hal ini didasarkan pada alasan: a) Pertimbangan hukum putusan Mahkamah adalah bagian yang tidak terpisahkan dari amar putusan; dan b) Putusan Mahkamah Konstitusi berkekuatan serta berlaku sebagai undang-undang karena objek pengujiannya adalah undang-undang.

[3.13] Menimbang bahwa melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XXI/2023, Mahkamah dalam pengujian konstitusionalitas Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 menyatakan, “… kata ‘menjabat’ adalah masa jabatan yang dihitung satu periode, yaitu masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari masa jabatan kepala daerah. Oleh karena itu, melalui putusan a quo Mahkamah perlu menegaskan bahwa yang dimaksudkan dengan masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih adalah sama dan tidak membedakan ‘masa jabatan yang telah dijalani’ tersebut, baik yang menjabat secara definitif maupun penjabat sementara, …” (vide Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 2/PUU-XXI/2023 paragraf [3.13.3]).

Senada, Ketua MAKI (Masyarakat Anti Korupsi Indonesia) Boyamin Saiman juga menyatakan bahwa bagian yang dimulai dengan kata “Seharusnya…”  merupakan petunjuk bagi semua lembaga, termasuk KPU, untuk mematuhi dan menjalankan Putusan MK.

“Bahkan di bawahnya MK dengan amat tegas menambahkan tidak membedakan baik masa jabatan secara definitif maupun sebagai penjabat sementara. Lha apa lagi yang belum jelas?” tegas Boyamin.

Ia menambahkan pada Putusan MK termutakhir itu, MK juga menyatakan: “… tanpa Mahkamah bermaksud menilai kasus konkret yang dipersoalkan para Pemohon, pendirian Mahkamah dimaksud sudah cukup jelas bagi semua pihak, khususnya lembaga yang mempunyai kewenangan menyusun peraturan pelaksana dari UU 10/2016 bahwa masa jabatan yang dimaksud dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 merujuk pada masa jabatan yang telah dijalani secara nyata (riil atau faktual) dan bukan masa jabatan yang dihitung berdasarkan waktu pelantikan.

Apa artinya? Boyamin menyimpulkan: MK tidak mau membahas kasus konkret satu-persatu, semuanya diperlakukan secara sama. Semua Putusan MK konsisten. Masa jabatan dihitung riil atau faktual, yaitu masa jabatan definitif dan sebagai penjabat sementara (jadi akumulatif).

“Marilah kita semua tidak terjebak pada tindakan koruptif di mana penguasa cenderung memanjang-manjangkan masa jabatan dengan memelintir Putusan MK dan berupaya memelintir beberapa media,”tegasnya. *

Editor: Nsa

 

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
Advertisements
INDEKS BERITA