BERITAALTERNATIF.COM – Meski sudah menjadi terdakwa dalam kasus pemalsuan surat tanah, Anggota DPRD Kukar Khoirul Mashuri tak kunjung diberhentikan sementara atau dinonaktifkan dari jabatannya sebagai wakil rakyat.
Mashuri didakwa melanggar Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) junto Pasal 55 ayat (1) KUHPidana dengan ancaman hukuman maksimal enam tahun penjara.
Pengamat hukum dari Universitas Kutai Kartanegara Tenggarong Mansyur menguraikan empat peraturan perundang-undangan yang mewajibkan bagi pimpinan DPRD Kukar untuk segera mengajukan pemberhentian sementara terhadap Mashuri.
Pertama, Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2019 tentang Perubahan Ketiga Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, Dewan Perwakilan Daerah Kabupaten/Kota.
Dalam Pasal 412 ayat (1) huruf a disebutkan bahwa anggota DPRD kabupaten/kota diberhentikan sementara karena menjadi terdakwa dalam perkara tindak pidana umum yang diancam dengan pidana penjara paling singkat lima tahun.
Kedua, Pasal 390 ayat (1) huruf a Undang-Undang Nomor 27 Tahun 2009 tentang Susunan dan Kedudukan Anggota MPR, DPR, DPD, dan DPRD.
Ketiga, Pasal 110 ayat (1) huruf a Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 2010 tentang Pedoman Penyusunan Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah tentang Tata Tertib Dewan Perwakilan Daerah.
Keempat, Pasal 29 ayat (3) huruf a Peraturan DPRD Kabupaten Kutai Kartanegara Nomor 2 Tahun 2019 tentang Kode Etik Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten Kutai Kartanegara.
“Ini ancaman pasal. Bukan berdasarkan tuntutan jaksa dan tuntutan pengadilan. Ini mesti dipahami dulu. Ini ancaman pasal di dalam undang-undang yang menjerat sehingga anggota DPRD diterdakwakan,” jelasnya kepada beritaalternatif.com pada Kamis (1/9/2022).
“Kalau kita lihat dari pasal-pasal yang saya sebutkan tadi, maka Mashuri harus diberhentikan sementara karena sudah menjadi terdakwa. Sejak kapan orang dianggap sebagai terdakwa? Sejak dibacakan surat dakwaannya oleh jaksa penuntut umum di hadapan majelis hakim dalam sidang terbuka,” lanjutnya.
Setelah jaksa penuntut umum membacakan surat dakwaan di hadapan majelis hakim, sambung Mansyur, mestinya pimpinan DPRD Kukar segera mengajukan penghentian sementara terhadap Mashuri ke Gubernur Kaltim lewat Bupati Kukar.
Dia mengungkapkan, Ketua DPRD Kukar telah mengirim surat ke Pengadilan Negeri Tenggarong untuk meminta klarifikasi terkait status Mashuri.
“Lalu, keluar tanggapan dari majelis hakim bahwa itu tuntutan. Ini kan pandangan yang keliru kalau kita membaca pasal-pasal ini,” tegasnya.
Kata Mansyur, majelis hakim beranggapan bahwa sejumlah peraturan perundangan-undangan tersebut mengatur tentang tuntutan minimal lima tahun.
“Padahal, itu keliru. Kalau kita melihat undang-undang tadi, itu ancaman hukuman. Kalau ancaman hukuman, bukan tuntutan, tetapi ancaman minimum dan maksimum dalam pasal,” urainya.
Ia menyebutkan, Mashuri yang diancam enam tahun penjara berdasarkan Pasal 263 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHPidana) junto Pasal 55 ayat (1) KUHPidana telah memenuhi syarat untuk diberhentikan sementara dari DPRD Kukar.
Karena itu, dia menegaskan, pimpinan DPRD Kukar tidak perlu meminta pandangan dari ahli hukum, praktisi, ataupun pengadilan untuk mengajukan penghentian sementara terhadap Mashuri.
“Enggak perlu lagi ke Badan Kehormatan dan sebagainya, karena Badan Kehormatan ini urusan kode etiknya. Sedangkan ini secara jelas undang-undang telah menyatakan, sehingga tidak perlu lagi ada penafsiran,” jelasnya.
Pengamat atau praktisi hukum mana pun, sambung dia, ketika menafsirkan kata “ancaman” dalam pasal tertentu di peraturan perundang-undangan, maka maknanya adalah ancaman minimum dan maksimum. “Bukan ancaman dalam bentuk tuntutan,” urainya.
Magister hukum dari Fakultas Hukum Universitas Mulawarman Samarinda ini menegaskan, setelah jaksa penuntut umum membacakan surat dakwaan di hadapan majelis hakim, pimpinan DPRD Kukar mestinya mengajukan penghentian sementara terhadap Mashuri.
Pimpinan DPRD Kukar juga tidak perlu menunggu sidang etik dari Badan Kehormatan DPRD Kukar untuk mengajuan penghentian sementara terhadap politisi Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) tersebut.
“Kode etiknya itu hal lain. Harusnya DPRD segera bermohon ke Gubernur lewat Bupati untuk segera memproses penghentian sementara Mashuri,” imbuhnya.
Jika pimpinan DPRD Kukar tidak mengajukan penghentian sementara terhadap Mashuri, maka DPRD Kukar telah melanggar undang-undangan di Republik Indonesia.
“Pelanggaran undang-undang ini adalah sebuah kejahatan kalau mengacu pada negara Indonesia sebagai negara hukum,” terangnya.
Dalam empat peraturan perundang-undang tersebut memang tidak disebutkan ancaman hukuman bagi pimpinan DPRD yang tidak mengajukan penghentian sementara terhadap anggota dewan yang berstatus sebagai terdakwa.
Meski begitu, kata Mansyur, publik bisa melayangkan mosi tidak percaya kepada pimpinan DPRD Kukar karena tak menjalankan peraturan perundang-undangan di Republik Indonesia.
“Mosi tidak percaya ini karena pimpinan DPRD Kukar bahkan telah melanggar peraturan di internal DPRD Kukar yang mereka buat sendiri,” ucapnya.
Apabila pemerintah daerah tetap membayar seluruh hak Mashuri selama menjadi terdakwa, kata Mansyur, maka hal ini berpotensi menjadi temuan.
Pasalnya, peraturan perundang-undangan telah mewajibkan pimpinan DPRD Kukar untuk mengajukan penghentian sementara terhadap Mashuri sejak ia ditetapkan sebagai terdakwa. “Indikasinya ini kerugian negara,” tegasnya. (um)