BERITAALTERNATIF.COM – Kasus pernikahan dengan anak di bawah umur dan pernikahan paksa yang diduga melibatkan pimpinan salah satu Pondok Pesantren (Ponpes) di Tenggarong berinisial AA dinilai telah mencoreng wajah pesantren serta agama Islam.
Pasalnya, pelaku yang kini telah ditetapkan sebagai tersangka oleh Polres Kukar tersebut diduga menikahi santriwati tanpa sepengetahuan orang tuanya.
Selain itu, AA kerap menyampaikan ceramah di berbagai tempat di Kukar, sehingga di bagian depan namanya kerap disematkan kata “ustaz”. Karenanya, perbuatan buruknya ini dinilai telah mencoreng agama Islam.
Publik Kukar pun meminta aparat hukum menjatuhkan hukuman mati kepada laki-laki yang kini sedang mendekam di balik jeruji besi tersebut.
Menanggapi permintaan masyarakat tersebut, praktisi hukum dari Kukar La Ode Ali Imran menilai bahwa permintaan publik itu bisa jadi berangkat dari kegeraman mereka karena proses hukum terhadap pelaku tergolong lamban.
“Sampai-sampai memakan waktu dan dilakukan penjemputan. Dan itu pun dicurigai dalam masa pelarian atau DPO. Nah, ditambah dengan soal-soal lainnya, peristiwa pencabulan ini maupun pernikahan dengan perempuan di bawah umur tanpa persetujuan orang tua. Itu memang membuat publik geram dan berasumsi macam-macam,” jelas La Ode kepada beritaalternatif.com saat ditemui di Unikarta pada Senin (18/7/2022).
Sanksi Moral
Kegeraman publik diekspresikan dengan permintaan agar oknum ustaz tersebut dihukum mati. Namun, menurut La Ode, kemarahan masyarakat hanya akan menjadi sanksi moral terhadap pelaku. “Bukan merupakan sanksi hukum,” ucapnya.
Kata dia, penegak hukum tidak bisa menjatuhkan hukuman kepada pelaku di luar ketentuan yang berlaku. Apabila aparat menetapkan hukuman tanpa didasari ketentuan peraturan perundang-undangan di Indonesia, maka aparat hukum juga akan dinilai bermasalah secara hukum.
La Ode menegaskan, hal ini harus disadari oleh publik Kukar. Meskipun konstitusi memberikan kebebasan kepada setiap orang untuk berpendapat, bangsa Indonesia juga hidup di negara yang menganut sistem hukum.
Sistem demokrasi dioperasionalkan dalam bentuk hukum melalui ketentuan Pasal 1 ayat 2 dan ayat 3 Undang-Undang Dasar (UUD) 1945. Ayat 2 menyebutkan bahwa negara ini berbentuk demokrasi, tetapi ayat 3 menegaskan Indonesia berbentuk negara hukum.
“Maka, implementasi dari demokrasi harus melalui hukum. Jadi, tidak bisa suara publik ini dianggap sebagai suatu kebebasan berpendapat untuk menghukum seseorang,” tegasnya.
Dalam dimensi hukum, aparat akan menjatuhkan hukuman kepada seseorang berdasarkan hukum yang berlaku.
Ia menjelaskan, pelaku bisa dijerat dengan Undang-Undang Perkawinan. Dalam undang-undang tersebut dijelaskan bahwa apabila laki-laki ingin menikahi perempuan di bawah umur, maka ia harus mendapatkan izin dari pengadilan, yang diketahui oleh orang tua pihak perempuan. Sementara itu, dalam kasus ini, AA tidak menjalankan mekanisme hukum tersebut.
Kemudian, pelaku bisa dijerat dengan Undang-Undang Perlindungan Anak. Dalam undang-undang ini, pelaku mestinya melindungi santriwati yang berstatus anak di bawah umur tersebut. “Mau salah atau mau benar, dia harus tetap dilindungi,” imbuhnya.
Dalam Undang-Undang Perlindungan Anak, meskipun anak merupakan pelaku kejahatan, ia akan tetap ditempatkan sebagai korban. Karena dalam hukum Indonesia, seorang anak belum memiliki kemampuan melakukan perbuatan hukum.
“Sehingga orang yang sudah dewasa atau sudah cakap hukum harus memberikan perlindungan. Bukan justru memanfaatkan situasi, misalnya kepolosan anak tersebut atau ketidakberdayaan anak tersebut karena dia santriwati,” urainya.
“Sementara yang menggauli ini pimpinan pondok yang memiliki kekuasaan terhadap anak tersebut. Kita bisa asumsikan anak tersebut tidak berdaya karena di bawah pengaruh daripada pelaku,” lanjutnya.
Dia menyarankan kepada publik Kukar agar kasus ini dikembalikan pada aturan yang berlaku, di mana penerapannya dikembalikan kepada hakim di Pengadilan Negeri Tenggarong.
Hakim dapat memutuskan hukuman di luar dakwaan jaksa. Dengan syarat, pertimbangannya terpenuhi. Misalnya, jaksa dan polisi menerapkan Undang-Undang Perlindungan Anak dalam kasus ini, yang ancamannya maksimal 15 tahun penjara.
Namun, setelah dilakukan pemeriksaan perkara hingga tahapan putusan, hakim menemukan bukti-bukti yang cukup kuat yang memungkinkan pelaku mendapatkan hukuman mati, maka hakim bisa menerapkan hukuman tersebut kepada AA.
“Tetapi, pakai aturan apa? Itu dia. Ini akan jadi juresprudensi. Enggak bisa dijatuhi hukuman mati. Yang paling berat hanya hukuman 15 tahun penjara sesuai ketentuan Undang-Undang Perlindungan Anak. Enggak bisa pakai undang-undang lain,” jelasnya.
Dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP), hukuman yang bisa diberikan kepada pelaku terkait kasus tersebut tidak mencapai 15 tahun. Karena itu, hanya Undang-Undang Perlindungan Anak yang dapat diterapkan sehingga AA bisa mendapatkan hukuman berat.
Penerapan undang-undang tersebut juga bisa menempatkan santriwati yang dinikahi AA sebagai korban, meskipun mungkin faktanya terdapat pelanggaran yang dilakukan korban.
La Ode menilai, permintaan hukuman mati terhadap oknum ustaz tersebut akan dianggap tidak sesuai ketentuan oleh majelis hakim yang menyidang kasus ini.
Dalam memutuskan perkara, berdasarkan undang-undang yang berlaku, hakim tidak diperbolehkan mengambil putusan dalam tekanan. “Harus dalam keadaan stabil, kondisi psikologi tidak boleh tertekan, bahkan kegaduhan-kegaduhan yang dilakukan publik tidak boleh mempengaruhinya,” ucap dia.
Hukuman Mati dan Kebiri
Hukuman di atas 15 tahun bisa dijatuhkan kepada AA apabila hakim menerapkan beberapa pasal, di antaranya KUHP dan Undang-Undang Perlindungan Anak.
“Tapi, kalau sampai hukuman mati, saya rasa undang-undang tidak mengatur itu. Itu yang pertama. Yang kedua, hukuman mati itu sebenarnya bertentangan dengan hak asasi manusia, karena kita ini negara yang menganut hak asasi manusia,” ujarnya.
“Konstitusi kita di Pasal 28 itu jelas mengatur hak hidup. Hak hidup itu adalah hak yang paling mendasar yang kemudian bukan diberi oleh negara, presiden, atau manusia, melainkan itu pemberian dari Tuhan. Maka, hanya Tuhan yang punya kewenangan mencabut nyawa seseorang,” sambungnya.
Karena itu, sebagai penyelenggara negara Indonesia, setiap penegak hukum tidak diperbolehkan mencabut nyawa seseorang. Hal ini merupakan prinsip hak asasi manusia, yang kemudian diterapkan pula dalam UUD 1945.
Sehingga, kata La Ode, hukuman mati tidak bisa diterapkan kepada AA. Namun demikian, pelaku dapat dihukum di atas 15 tahun bila hakim menerapkan pasal berlapis.
Terkait permintaan sebagian masyarakat yang mendorong aparat hukum menjatuhkan hukuman kebiri kepada AA, alumni Fakultas Hukum Unikarta ini menilai bahwa permintaan tersebut terlalu berlebihan.
“Karena aspirasi hukuman kebiri itu hanya bagian dari emosi publik. Arus publik yang memunculkan opsi-opsi alternatif untuk memberikan sanksi kepada pelaku. Itu kan bagian dari kemarahan. Kita tidak bisa menghukum orang berdasarkan kemarahan,” katanya.
Peraturan perundang-undangan di Indonesia pun tidak mengenal penjatuhan hukuman terhadap seseorang berdasarkan kemarahan dan kebencian publik.
Hukuman terhadap seseorang, lanjut dia, bermaksud memberikan penderitaan fisik kepada pelaku yang melanggar hukum. Hal ini bertujuan memberikan penyadaran kepadanya.
“Makanya kita menghukum seseorang itu dengan manusiawi. Pancasila juga mengajarkan kita harus manusiawi, yang dasarnya kemanusiaan yang adil dan beradab,” katanya.
Di luar negeri, ucap La Ode, terdapat kasus di mana keluarga korban memaafkan pelaku pembunuhan. Hal itu mestinya menyentuh hati nurani publik Indonesia. “Sekejam-kejamnya pelaku masih mendapatkan maaf,” ujarnya.
Pemberian maaf diharapkan dapat menyadarkan pelaku. Namun, hal ini tidak berarti hukuman tidak lagi diberlakukan kepada pelaku. “Hukum harus tetap dijalankan,” katanya.
Hukuman pidana penjara terhadap pelaku kejahatan, sambung dia, bertujuan memberikan efek jera, yang berarti tidak menyakiti pelaku. Hal yang paling mendasar dalam pemberian hukuman ini yakni memberikan penyadaran kepada pelaku.
Karena itu, pelaku kejahatan dimasukkan ke dalam Lembaga Pemasyarakatan (LP). LP bertujuan membentuk pelaku agar ia memiliki kesadaran sehingga bisa kembali menjadi bagian dari masyarakat.
“Saya tidak bermaksud membela pelaku. Saya tekankan bahwa kita harus berimbang dalam melihat kasus ini. Apa yang menjadi peristiwa hukumannya, perbuatan kejahatannya, harus dihukum dengan ketentuan yang berlaku,” jelasnya.
“Jangan sampai diringan-ringankan ataupun jangan sampai diberat-beratkan. Dia harus didudukkan pada kasus yang tepat,” lanjutnya.
La Ode menilai publik hanya melihat sisi buruk AA, namun tidak melihat sisi baik yang dilakukan oknum ustaz tersebut. Padahal, kata dia, pelaku telah banyak berkiprah di masyarakat, apalagi selama ini pelaku memimpin pesantren serta berstatus sebagai ulama.
“Pasti banyak juga jasa-jasa dia yang baik-baik. Artinya, ini kan berimbang saja kalau kita lihat di wilayah opini. Maka menghukum dia tidak bisa berdasarkan emosional, tapi harus dasarnya hukum,” ujarnya.
Aparat Harus Obyektif
Sebagai negara hukum, ia menyarankan publik menyerahkan kasus ini pada mekanisme hukum yang berlaku di Indonesia. Apalagi kasus tersebut telah ditangani oleh aparat hukum dari kepolisian hingga kejaksaan.
“Mudah-mudahan aparat kita tidak masuk angin. Aparat penegak hukum kita harus bertindak obyektif. Mulai dari kepolisian, kejaksaan, sampai pada putusan nanti di pengadilan harus obyektif,” tegasnya.
“Maksud saya obyektif itu, perkaranya, peristiwa hukumnya, tindakan kejahatannya didudukkan pada hukum yang tepat. Tidak kemudian menggunakan hukum yang tidak tepat. Jangan sampai juga aparat penegak hukum kita tergiring opini publik. Enggak boleh kayak gitu,” sambungnya.
Aparat hukum, saran dia, harus menggunakan mekanisme hukum dalam memproses kasus ini. Aparat hukum juga tidak boleh merasa tertekan dengan desakan dan opini publik.
“Cuman wajar saja ketika ada peristiwa seperti ini publik ikut bersuara. Tetapi, opini publik itu bukan merupakan suatu rujukan atau suatu yang harus dipegang teguh. Karena dalam hukum, kita harus dasarkan pada ketentuan yang berlaku. Kalau tidak berdasarkan ketentuan yang berlaku, penegak hukumnya yang salah,” jelasnya.
Hukuman yang Tepat
La Ode menilai bahwa tuntutan 15 tahun penjara sesuai Undang-Undang Perlindungan Anak terhadap AA sudah tepat. Hukuman 15 tahun penjara kepada pelaku pun dinilainya sudah sangat berat.
“Menjalani hukuman itu jangankan 15 tahun, 1 tahun saja kita berada di LP itu sudah cukup menderita. Bagaimana kita bebas ke mana-mana, kemudian banyak memiliki keterbatasan di situ, apalagi dengan waktu yang cukup panjang,” katanya.
“Saya rasa, 11 atau 12 tahun itu sudah cukup tepat untuk pelaku. Itu pun sudah cukup berat. Karena kan undang-undang itu hanya bicara maksimal. Memungkinkan saja tidak diterapkan maksimal atau di bawah itu. Karena ketentuan undang-undang itu hanya minimal atau maksimal. Artinya, kalau maksimal, boleh turun, tapi enggak boleh naik. Kalau dia minimal, boleh naik, tapi enggak boleh turun,” lanjutnya.
Dari berbagai kasus serupa, kata La Ode, jaksa akan menuntut hukuman maksimal. Namun, jaksa akan menyertakan alasan-alasan pemberat.
Tetapi, putusannya akan tetap dikembalikan kepada majelis hakim. Dalam perjalanannya, majelis bisa menjatuhkan hukuman maksimal kepada pelaku. Hal ini telah diatur dalam undang-undang.
“Bahkan dia memutus di luar daripada ketentuan itu, boleh saja. Hakim itu kan diberikan kewenangan menemukan hukum atau disebut jureprudensi. Boleh saja keluar dari dakwaan jaksa. Tapi, tetap memperhatikan fakta-fakta persidangan. Enggak boleh juga hakim memutuskan dengan emosional gara-gara tergiring opini publik,” pungkasnya. (*)