BERITAALTERNATIF.COM – Penerbitan Peraturan Komisi Pemilihan Umum (PKPU) Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pilkada disebut menutup peluang Edi Damansyah untuk kembali mencalonkan diri sebagai calon bupati di Pilkada Kukar.
Pengamat hukum tata negara dari Universitas Mulawarman Samarinda Warkhatun Najidah menegaskan bahwa Edi telah menjabat selama dua periode sebagai bupati Kukar.
Diketahui, Edi dikukuhkan sebagai Pelaksana Tugas (Plt) Bupati Kukar pada 9 April 2018 oleh gubernur Kaltim kala itu, Awang Faroek Ishak. Edi pun menjabat sebagai Plt Bupati Kukar selama 10 bulan 3 hari.
Kemudian, pada 14 Februari 2019 hingga 25 Februari 2021, Edi menjabat sebagai bupati definitif. Saat itu, ia mengemban tugas sebagai bupati Kukar selama 2 tahun 9 hari.
Dengan demikian, Bupati Edi telah menjalankan tugas sebagai bupati, baik sebagai penjabat sementara maupun definitif, selama 2 tahun 10 bulan dan 11 hari atau lebih dari setengah periode.
Najidah menegaskan bahwa PKPU Nomor 8 Tahun 2024 tentang Pilkada selaras dengan amar Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 yang kemudian dikuatkan kembali dalam Putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020.
“Makna kata ‘menjabat’ dimaksud telah jelas dan tidak perlu dimaknai lain selain makna dimaksud dalam putusan tersebut. Sehingga, kata ‘menjabat’ adalah masa jabatan yang dihitung satu periode yaitu masa jabatan yang telah dijalani setengah atau lebih dari satu masa jabatan kepala daerah,” jelasnya dalam rilisnya yang diterima media ini pada Kamis (4/7/2024).
Ia membenarkan bahwa Undang-Undang Pemerintahan Daerah memang membedakan antara Plt, Pjs, dan Pj kepala daerah. Namun, frasa dalam UU Pilkada dan PKPU tersebut memfokuskan pada frasa “menjabat”.
“Pemaknaan ini sudah clear. Hanya merujuk pada ‘pejabat’ tanpa dibedakan pejabat sementara atau definitif,” terangnya.
Najidah menyarankan KPU tidak hanya bersandar pada UU Pilkada, tetapi juga mesti mendasarkan pandangan pada Pasal 1 angka 3 UU Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan.
Pasal tersebut berbunyi, “Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan adalah unsur yang melaksanakan Fungsi Pemerintahan, baik di lingkungan pemerintah maupun penyelenggara negara lainnya.”
Dia menerangkan, pejabat dikatakan pejabat atau disebut menjabat adalah pada saat ia mulai menjalankan fungsi pemerintahan. “Titik tekan pemaknaan adalah pada kata ‘unsur yang melaksanakan fungsi,’” tegasnya.
Ia menegaskan bahwa Plt, Pjs, maupun Pj menjalankan fungsi sebagai kepala daerah. Fungsi-fungsi dalam jabatan tersebut hanya berbeda dalam kewenangannya.
“Tetapi, klir dia itu pejabat yang menjabat. Jadi, Plt itu apakah jabatan? Ya jabatan,” katanya.
Plt kepala daerah, jelas dia, memang dikukuhkan. Hal ini berbeda dengan kepala daerah definitif. Keduanya memiliki proses berbeda dalam tahapan pelaksanaan prosesi pelimpahan jebatan sebagai kepala daerah.
“Tujuannya apa sih saat dikukuhkan? Dia kan diangkat. Disahkan. Pelantikan terus apa? Pelantikan itu biasanya ada serah terima jabatan. Ada pejabat A dan pejabat B yang menyerahkan. Kenapa dia dikukuhkan? Karena dia sendiri. Intinya, apakah saat itu dia menjabat atau tidak? Dia menjabat,” terangnya.
UU Pilkada, sambung Najidah, telah mengatur sedemikian rupa terkait syarat pencalonan yang tidak dimaksudkan untuk meniadakah hak dipilih seseorang sebagai hak konstitusional.
Kata dia, keberadaan UU tersebut bertujuan menghindarkan kepemimpinan lokal yang bertumpu pada satu orang atau golongan dalam waktu yang lama.
“Hal ini hendaklah juga menjadi perhatian bagi partai politik untuk memperhatikan regenerasi kepemimpinan di parpol,” imbuhnya. (*)
Penulis dan Editor: Ufqil Mubin