BERITAALTERNATIF.COM – Perdana Menteri (PM) Inggris Boris Johnson secara resmi mengumumkan pengunduran dirinya sebagai PM Inggris, dan menekankan bahwa ia akan terus melakukan tugasnya sebagai perdana menteri “sampai pemimpin baru terpilih.”
Johnson dalam sebuah pernyataan di depan kediamannya di “10 Downing Street”, mengaku telah berjuang sangat keras dalam beberapa hari terakhir untuk melanjutkan kepemimpinannya.
“Karena saya merasa bahwa itu adalah tugas saya untuk terus sebagai perdana menteri,” katanya sebagaimana dilansir dari arrahmahnews.com pada Jumat (8/7/2022).
Ia telah menunjuk pemerintahan baru sambil terus menjalankan tugas perdana menteri sampai pemimpin baru terpilih.
“Saya bangga dengan pencapaian pemerintah, dimulai dengan Brexit, menjalin hubungan di benua Eropa, undang-undang yang disetujui di Parlemen, dan tentang penanganan pandemi corona, vaksin dan keluar dari proses lockdown. Sikap kami terhadap perang di Ukraina, akan terus mendukung Ukraina dan perjuangannya untuk kebebasan,” katanya.
Johnson juga mengatakan bahwa pihaknya telah mendorong program besar investasi dan rekonstruksi. “Itu bisa dilaksanakan karena antusiasme dan aktivitas masyarakat Inggris. Kita harus melanjutkan pekerjaan kita untuk mendorong pelaksanaan proyek,” sebutnya.
“Proses pemilihan pemimpin baru itu harus dimulai sekarang dan jadwal akan diumumkan minggu depan. Mulai sekarang hingga penunjukan perdana menteri baru, pemerintah akan melanjutkan pekerjaannya dan saya akan terus melayani negara ini,” ujarnya.
Kronologi Pengunduran Diri
Dilansir dari CNBC Indonesia, pengunduran diri Boris Johnson ini terjadi seiring keputusannya resign dari jabatan pemimpin Partai Konservatif Britania Raya. Ia mengatakan ini sudah menjadi keinginan partainya.
“Jelas sekarang keinginan Partai Konservatif parlementer bahwa harus ada pemimpin baru partai dan oleh karena itu, perdana menteri baru,” katanya sebagaimana disiarkan langsung oleh BBC, Kamis (7/7/2022) sore waktu setempat.
Sebagaimana diketahui, Johnson terpilih menjadi PM karena ia adalah pemimpin partai yang memenangkan kursi terbanyak dalam pemilihan umum. Inilah yang kemudian membuatnya ditunjuk sebagai PM oleh Ratu.
Namun apa yang terjadi? Mengapa ia mundur? Hal ini terjadi setelah skandal terbaru yang mencoreng nama pemerintahan Johnson. Skandal itu melibatkan seorang anggota parlemennya yang merupakan sekutunya di Parti Konservativ Britania Raya Chris Pincher.
Ia sebelumnya ditunjuk Johnson untuk menjabat posisi penting Deputy Chief Whip. Dalam website-nya diketahui posisi ini mengatur kontribusi partai untuk bisnis parlemen.
Pincher sejak minggu lalu sudah diskors. Dia diselidiki oleh badan pengawas parlemen terkait tuduhan pelecehan seksual setelah meraba-raba dua pria yang dalam keadaan mabuk.
Kejadian itu berlangsung 29 Juni saat ia menghadiri acara di sebuah The Conservative Friends of Cyprus, organisasi relawan Partai Kondervatif Britania Raya. Laporan pelecehan itu diketahui seorang anggota parlemen yang kemudian melaporkannya ke Chris Heaton-Harris, sekretaris parlemen.
Pincher akhirnya memutuskan mundur dari jabatannya. Ia mengaku tengah mabuk kala kejadian itu terjadi.
Skandal ini kemudian beralih ke Johnson. Menurut Express, mengutip juru bicara kantor sekaligus tempat tinggal PM Inggris, Downing Street, ia telah di-briefing sejumlah komplain terkait perilaku Pincher di 2019, ketika hendak memilihnya di 2022.
Namun publik kemudian menyayangkan kenapa ia tetap dipilih Johnson. Menurut catatan media The Guardian, Pincher juga telah memiliki sejumlah kasus dan tuntutan sejak 2017.
Hal ini pun membuat Johnson meminta maaf pada Selasa lalu. Ia mengakui kesalahannya.
“Saya meminta maaf kepada semua orang yang sangat terpengaruh olehnya,” kata Johnson dalam sebuah tayangan televisi, Selasa, melansir Reuters.
“Saya hanya ingin memperjelas bahwa tidak ada tempat di pemerintahan ini bagi siapa pun yang merupakan pemangsa atau yang menyalahgunakan posisi kekuasaan mereka,” tulis The Guardian.
Menteri Resign Massal
Beberapa saat setelah itu sejumlah menteri mengajukan resign dari pemerintahannya. Ini diawali Rishi Sunak yang menempati posisi menteri keuangan dan Sajid Javid yang menempati posisi menteri kesehatan.
Keduanya membidik kemampuan sang PM untuk menjalankan pemerintahan yang mematuhi standar. Ini terungkap dalam surat pengunduran diri mereka.
“Dengan sangat menyesal saya harus memberi tahu Anda bahwa saya tidak bisa lagi, dengan hati nurani yang baik, terus melayani di pemerintahan ini,” kata Javid dalam surat kepada Johnson.
“Masyarakat sudah sepatutnya mengharapkan pemerintahan berjalan dengan baik, kompeten dan serius… Saya menyadari ini mungkin pekerjaan menteri terakhir saya, tapi saya percaya standar ini layak diperjuangkan dan itulah sebabnya saya mengundurkan diri,” kata Sunak.
Bukan hanya menteri, di hari yang sama Alex Chalk yang menduduki posisi Jaksa Agung juga mundur dari pemerintahannya. Ia pun menyebut bahwa kemampuan pemerintah Inggris telah rusak.
“Kemampuan Nomor 10 (merujuk Downing Street) untuk menegakkan standar keterbukaan yang diharapkan dari pemerintah Inggris telah rusak,” tulisnya di surat pengunduran diri yang dibagikan di Twitter.
Ini kemudian merembet ke sejumlah menterinya yang lain. Termasuk Menteri Anak dan Keluarga Will Quince dan Menteri Lingkungan Jo Churchill, yang mengajukan pengunduran diri pada Rabu lalu.
Hingga Kamis kemarin, sebelum Johnson memutuskan pengunduran diri, terdapat 53 menteri dan pejabat pemerintahannya mundur. Beberapa menteri menyebut “kurangnya transparansi dan keterbukaan menjadi penyebabnya”.
“Penanganan Anda (Johnson) terhadap penunjukan yang Anda tahu memiliki riwayat tuduhan pelecehan seksual, terlalu berlebihan,” tulisnya Menteri Junior untuk Pengetahuan, Penelitian dan Inovasi, George Freeman, menteri ke-50 yang resign hari itu di surat pengunduran diri.
“Ini sangat merusak kepercayaan publik dan rasa hormat terhadap pemerintah, demokrasi dan hukum, serta tradisi panjang partai besar ini sebagai partai standar bagi karakter, perilaku, integritas dan tugas untuk pekerjaan dan negara sebelum kepentingan pribadi partisan,” tambahnya merujuk nilai-nilai Partai Konservatif Britania Raya di mana Johnson berkuasa.
Hal ini bukan skandal pertama di pemerintahan Johnson. Ia sendiri bahkan terjebak kasus “partygate” di mana dirinya terkait pesta-pesta yang berlangsung kala pemerintah memberlakukan kebijakan lockdown di awal pandemi Covid-19 menyerang negara itu pada tahun 2020.
Sejumlah skandal lain juga muncul sebelumnya. Termasuk pelecehan seksual oleh seorang mantan menteri ke anak-anak hingga video porno. (*)