Search
Search
Close this search box.

Praktik Asas Praduga Tak Bersalah dalam Kerja-Kerja Jurnalistik

Mantan Ketua Mahkamah Konstitusi Akil Mochtar sedang memberikan keterangan kepada awak media. (Viva)
Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Asas praduga tidak bersalah sama sekali tidak mengurangi kemerdekaan pers untuk mengungkapkan kebenaran dan memberitakan atau menyiarkan fakta secara akurat.

Adanya asas praduga tidak bersalah justru menjaga kemerdekaan pers, sebab dengan adanya asas praduga tidak bersalah dapat dicegah penyalahgunaan pers untuk menyerang kehormatan seseorang secara melawan hukum.

Dengan adanya asas praduga tidak bersalah juga sekaligus membuat pers sadar harus selalu menghormati proses hukum yang berlaku.

Advertisements

Tetapi yang paling penting, dengan adanya asas praduga tidak bersalah membuktikan bahwa pers juga menghormati hak-hak asasi orang lain.

Pengakuan pers terhadap asas praduga tidak bersalah membuat pers tidak boleh melanggar hak-hak asasi lainnya.

Tanpa melanggar hak-hak asasi orang lain dan tanpa mengurangi hak orang untuk membela diri, pers tetap dapat membeberkan fakta atau informasi yang dimilikiya.

Tegasnya asas praduga tidak bersalah tidak mengurangi kemerdekaan pers tetapi malah memperkuat kemerdekaan pers.

Seringkali kasus pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah terjadi karena pers tidak atau kurang memahami teknis jurnalistik dalam kaitannya dengan penerapan asas praduga tidak bersalah.

Kalaupun persnya sudah memahami hal tersebut, seringkali dalam prakteknya pers agak lalai atau ceroboh. Untuk itu ada beberapa cara yang harus dilakukan oleh pers agar terhindari dari pelanggaran asas praduga tidak bersalah.

Pertama, kejelasan narasumber. Banyak sekali persoalan asas praduga tidak bersalah muncul akibat ketidakjelasan dari siapakah sebuah pernyataan berasal, atau narasumber merasa pernyataannya tidaklah sebagaimana yang diberitakan oleh pers.

Untuk menghindari hal ini, para wartawan harus benar-benar menguasai aturan-aturan peliputan universal. Kesalahan terhadap penerapan istilahistilah peliputan, apalagi ketidakmengertian, dapat bermuara kepada adanya tuduhan asas praduga tidak bersalah.

Dalam berita pers, harus tegas, daripada pernyataan yang diberitakan. Apakah itu merupakan pendapat narasumber, ataukah diambil dari sumber lain, atau juga apakah itu pendapat atau analisis dari persnya sendiri.

Kalau ada kutipan-kutipan dari narasumber, harus jelas darimana kutipan-kitupan itu. Ketidakjelasan soal ini dapat menimbulkan tuduhan kepada pers bahwa pers yang bersangkutan telah sengaja menyalahartikan pendapat atau kutipan demi kepentingan pers, dan dalam kaitannya dengan seseorang atau sekelompok orang dapat menyebabkan pers dituduh memanfaatkan pernyataan atau kutipan tersebut untuk memojokkan orang atau sekelompok orang yang dimaksud.

Di sinilah dapat muncul tuduhan pelanggaran asas praduga tak bersalah oleh pers yang memberitakannya.
Untuk menghindari hal itu pers secara ekplisit menyebut mana kutipan yang dari narasumber dan mana yang bukan dari narasumber.

Ada baiknya juga kalau narasumber yang dipakai pers memiliki konflik interest dengan bahan-bahan yang disebarkan pers, perlu disebut mengenai posisi narasumber yang memiliki konflik interest ini.

Dengan begitu walaupun penyebarannya tanggung jawab pers, tetapi publik faham posisi atau profil narasumber yang dipakai.

Ini akan menghasilkan berita yang fair dan menghindari kemungkinan adanya tuduhan pers telah melakukan pelanggaran asas praduga tidak bersalah.

Kedua, kejelasan kutipan. Bagi wartawan, kutipan narasumber sering kali menimbulkan masalah yang dapat berbuntut pada tuduhan pelanggaran asas praduga tidak bersalah.

Hal ini terjadi karena banyak sebab, misalnya, ketidakakuratan kutipan. Begitu juga terkadang kutipan diletakkan pada konteks yang tidak tepat atau bahkan di luar konteks.

Keinginan untuk memperindah kutipan pun, pada akhirnya terkadang justru menjebak wartawan memberikan berita yang multi tafsir.

Untuk menghindari kesalahan dalam penyajian kutipan dari sumber sebaiknya diperhatikan, antara lain sebagai berikut. Kutipan jangan diperbagus. Biasanya demi keindahan dan “rasa” banyak wartawan memperindah kutipan dari kutipan yang sebenarnya.

Perbaikan kutipan jika tidak hati-hati justru menghilangkan makna kutipan itu sendiri dan dapat memberikan artinya yang melenceng dari maksud keterangan narasumber sehingga dalam hal-hal tertentu akhirnya dapat mengandung penghakiman.

Nah, penghakiman inilah yang dapat menghantarkan pers menghadapi tuduhan pelanggaran asas praduga tidak bersalah.

Kutiplah sesuai dengan konteks percakapan. Kutipan yang tidak sesuai percakapan membahayakan pers dan narasumber sekaligus.

Sebagai contoh, seorang pemimpin yang sudah tidak lama kembali ke kampung halamannya, suatu saat kembali pulang ke kampung halamannya. Ketika turun dari pesawat, seorang wartawan bertanya kepadanya, “Pak tidak ke panti pijat dulu?”

Menghadapi pertanyaan seperti itu, si pemimpin agak terkejut dan setengah bergurau balik bertanya, “Memang di sini sudah ada panti pijat?”

Dalam berita, wartawan kemudian mengutip pernyataan sang pemimpin dengan tepat, tetapi di luar konteks sebagai berikut, “Begitu menginjakan kakinya di kampung halamannya kembali pemimpin kita tanpa ada malu langsung bertanya, “Memang di sini sudah ada panti pijat?”

Isi kutipan semuanya sama tepat, tetapi konteksnya sangat berlainan, akibatnya memberikan makna dan asosiasi yang sangat berlainan pula. Hal ini dapat membawa pers berhadapan dengan tuduhan pelanggaran asas praduga tidak bersalah.

Di sini pemuatan kutipan harus dilakukan dengan fair. Kutipan harus selalu ditempatkan pada konteksnya. Jika seorang juru bicara Pak Budiman mengatakan dia berbicara untuk dan atas nama Pak Budiman, pers harus menghubungkan pernyataannya dengan Pak Budiman. “Amir, juru bicara Budiman, mengatakan…” dan seterusnya.

Ketiga, kejelasan perimbangan. Salah satu masalah mendasar yang harus diperhatikan pers ialah keharusan adanya perimbangan.

Pemberitaan yang berimbang harus dilakukan benar-benar sama proporsionalnya. Kejelasan perimbangan pertama-tama ditunjukkan dengan adanya konfirmasi atau keterangan langsung dari pihak narasumber yang bersangkutan, dalam hal ini termasuk pihak yang dapat dinilai mewakili kepentingan narasumber tersebut.

Untuk itu pers perlu mengingat hal elementer lagi: kalau seorang narasumber atau pihak yang mewakilinya tidak dapat dihubungi, pers harus mengusahakan meninggalkan pesan kepada pihak terkait narasumber yang dihubungi.

Hal ini bukan saja untuk menghindari pers dari tuduhan pelanggaran asas praduga tidak bersalah tetapi juga untuk membuktikan betapa seriusnya pers telah berupaya menghubungi pihak narasumber yang diperlukan dan telah memberikan kesempatan yang seluas-luasnya.

Jika berita pers sangat negatif tentang narasumber tersebut, pers sebaiknya berupaya menahan berita tersebut dalam waktu yang relatif cukup untuk memberikan kesempatan kepada narasumber guna memberikan keterangannya sampai mendekati kelayakan deadline untuk pers yang bersangkutan (setiap pers mempunyai rentang waktu deadline yang berlainan).

Jika pada saat itu tidak diperoleh juga keterangan dari narasumber, pers dapat mengambil kutipan yang bernada pembelaan dari sumber lainnya.

Upaya serius dari pers ini akan mencengah pers dari kesalahan tuduhan sengaja melakukan pelanggaran asas praduga tidak bersalah.

Untuk perimbangan berita ini, jangan lupa pula pers sewajarnya memberikan kesempatan kepada semua pihak terkait.

Kalau pers mempersiapkan menurunkan berita profil seseorang, sebut saja Ali Widjaya, dan dalam wawancara itu Ali Widjaya mengatakan dia dulu satu kamar dengan Doyano dan pernah ditangkap karena mengisap ganja.

Pers harus segera meminta konfirmasi dari Doyano terhadap keterangan ini. Begitu pula manakala Ali Wijdaya mengatakan, “Bisnis sekarang ini sudah sedemikian ketat dan keras, sehingga saya pun pada akhirnya harus memecat Doyano teman sekamar saya untuk memperkuat bisnis saya”.

Pers berkewajiban mencari keseimbangan dari Doyano apakah memang benar demikian. Pers sebaiknya menghindari mengutamakan kecepatan tanpa memperhatikan keseimbangan dalam berita.

Keempat, kejalasan meliput. Dalam melakukan peliputan, pers harus jelas menempatkan dirinya sebagai wartawan.

Wartawan wajib menyebut identitasnya dan statusnya jika ingin membuat berita kepada narasumber yang memerlukan kejelasan.

Memang dalam investigasi dimungkinkan adanya beberapa terobosan untuk tidak menyebutkan identitas wartawan.

Misal masih dapat ditolerir jika untuk mengetahui bagaimana permainan bengkel mobil, wartawan mendatangi delapan sampai sepuluh bengkel mobil dan menanyakan kerusakan yang sama kepada semua bengkel tersebut guna mengetahui apa saja yang dilakukan oleh bengkel.

Begitu juga masih ditolerir kita berlaku sebagai pengunjung untuk mengetahui pelayanan restoran atau rumah sakit.

Kendati demikian, pers tidak boleh memberikan tipuan yang menyesatkan dengan niat buruk. Kalaupun pers melakukan penyiasatan dalam peliputan, dalam penyajiannya pers harus tetap mengemukakan bagaimana data atau keterangan yang diperoleh pers itu secara terbuka.

Dengan demikian, masyarakat mengetahui dan dapat menilai kredibilitas dan konteks berita yang disajikan.

Ketidakjelasan proses peliputan ini memungkinkan pers terkena tuduhan melakukan pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah.

Maka bagaimana sebuah peliputan berlangsung juga harus dibuka kepada publik pers yang bersangkutan.

Kelima, kejelasan perbaikan. Pers bukanlah lembaga kemalaikatan yang tanpa kesalahan. Betapapun sudah berupaya sekuat tenaga, kemungkinan untuk terjadinya kekeliruan yang dibuat pers tetap besar.

Oleh sebab itu, pers yang baik bukanlah pers yang tidak pernah melakukan kesalahan, tetapi pers yang baik adalah pers yang ketika membuat kesalahan pemberitaan langsung menyadari dan memperbaikinya bahkan bila perlu dengan permintaan maaf.

Kejelasan mengakui adanya kesalahan dapat menghindari pers dari tuduhan melakukan pelanggaran asas praduga tidak bersalah. Pengakuan terhadap kesalahan tidak boleh dilakukan dengan setengah hati.

Demikian pula perbaikan atas kesalahan haruslah mencerminkan kehendak utuk memperbaiki setulusnya. Sepenuh hati.

Pada prinsipnya, perbaikan kesalahan harus dilakukan sama menonjolnya dengan berita yang salah, kecuali para pihak menyetujui bentuk lainnya.

Kejelasan terhadap adanya kesalahan dan kemudian diikuti dengan perbaikan atau permintaan maaf dapat membuat pers terhindar dari tuduhan melakukan asas praduga tidak bersalah.

Sebaliknya “arogansi” pers yang tidak mau mengakui adanya kesalahan secara gamblang atau memberikan pengakuan setengah hati terhadap kesalahan yang dibuatnya serta diikuti dengan perbaikan yang tidak jujur (dengan menggunakan eufinismisme), dapat menjerumuskan pers dituduh melakukan pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah.

Memang banyak yang keliru mengartikan makna asas praduga tidak bersalah dalam menyingkat nama seseorang yang diduga terlibat hal negatif atau dalam proses hukum.

Padahal asas praduga tidak bersalah dalam jurnalistik tidak ada kaitannya dengan penyingkatan nama. Asas praduga tidak bersalah dalam jurnalistik berhubungan dengan pernyataan yang menghakimi dari pers, pada keadaan apa pun, tidak hanya terbatas pada proses hukum saja.

Penyebutan nama lengkap dalam proses hukum, pada tingkat mana pun, sepanjang hal itu merupakan fakta dan tidak ditentukan lain oleh undang-undang atau Kode Etik Jurnalistik, diperbolehkan dan tidak melanggar asas praduga tidak bersalah.

Contohnya jika ada seorang selebritis ditangkap polisi, maka pers bebas menyebut nama dan identitas selebritis itu. Begitu pula jika ada seorang pejabat yang sedang diadili, jika pengadilan itu bersifat terbuka untuk umum, maka pers bebas memberitakan identitas pejabat sebagai tersangka.

Hakim saja sudah menyatakan sidang terbuka untuk umum yang berarti siapa saja dapat datang dan mengetahui apa yang terjadi dalam sidang, termasuk siapa terdakwanya, mengapa wartawan harus melakukan pembiasan dengan tidak menyebut nama identitas yang jelas.

Sebaliknya, walaupun seseorang sedang tidak ditangkap atau tidak diadili atau tidak menjalankan proses hukum apa pun, tetapi wartawan memberitakan dengan memberikan penghakiman, hal ini sudah termasuk melanggar asas praduga tidak bersalah.

Misalnya saja kalimat dalam pers yang berbunyi, “Pejabat itu memang biang kerok korupsi”. Jelas bertentangan dengan asas praduga tidak bersalah dalam jurnalistik.

Begitu juga kata-kata atau kalimat yang superlatif dapat diartikan sebagai pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah. Contohnya kata-kata “serakah,” “kartu mati,” atau “brengsek.”

Semua pemberian kategori “bersalah” pada narasumber tanpa merujuk kepada keputusan pengadilan juga merupakan pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah.

Bagaimana jika memang orang tersebut angkuh, misalnya? Secara jurnalistik, hal itu sebaiknya didiskripsikan saja, tetapi pers sepantasnya tidak mengambil kesimpulan subjektif dengan mengatakan orang tersebut angkuh.

Angkuh menurut ukuran siapa dan kepada siapa serta untuk apa? Seandainya dia merasa untuk kepentingan pembelaan statusnya dia tidak layak menjawab suatu pertanyaan wartawan pers, apakah lantas hal tersebut dapat langsung dikatagorikan angkuh?

Oleh sebab itu, sebaiknya “keangkuhannya” dideskripsikan atau dilukiskan saja sehingga pembaca dapat menilainya dengan jelas.

Pada televisi lebih mudah lagi, ambil saja sudut-sudut pandang (angle) itu dan biarlah penonton yang mengambil kesimpulan.

Asas praduga tidak bersalah dalam bidang pers, penerapannya memiliki sedikit perbedaan dengan bidang hukum. Pada bidang hukum adanya asas praduga tidak bersalah berkaitan dengan posisi atau kedudukan seorang untuk melakukan pembelaan diri.

Dalam hukum asas praduga tidak bersalah, berarti seseorang harus dinyatakan masih bebas selama belum ada keputusan pengadilan yang bersifat tetap yang menyatakan dirinya bersalah.

Pada intinya, penerapan asas praduga tidak bersalah dalam pers, sebagaimana diatur dalam Kode Etik Jurnalistik, bermakna, pers dalam pemberitaannya tidak boleh menghakimi.

Larangan untuk membuat pemberitaan yang menghakimi dalam pers tidak hanya terbatas pada pemberitaan yang sudah menyangkut proses pelaksanaan atau penegakan hukum belaka, tetapi mencakup pada semua pemberitaan.

Dengan demikian dalam pers, penerapan asas praduga tidak bersalah harus dilakukan pada semua pemberitaan.

Pada berita apa pun, pers harus tetap menghormati asas praduga tidak bersalah. Dalam kaitan inilah dalam bidang pers, arti asas praduga tidak bersalah telah bergeser dari sekedar menyatakan seseorang bersalah atau tidak bersalah dalam suatu proses pelaksanaan atau penegakan hukum, menjadi suatu kaedah larangan terhadap penghakiman semua pemberitaan yang kebenarannya belum terbukti, baik menurut prosedur hukum maupun dari hasil pengecekan pers sendiri.

Makna asas praduga tidak bersalah dalam pers yang tidak boleh menghakimi dalam semua kasus pemberitaan, membawa konsekuensi, pers yang menyatakan seseorang bersalah sebelum ada keputusan pengadilan yang tetap, dari sudut pers sendiri sudah jelas merupakan suatu pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah.

Walaupun pengadilan sudah menyatakan seseorang bersalah secara hukum, pers tetap tidak diberi hak untuk menyatakan orang itu bersalah atau tidak bersalah. Kewenangan pers dalam hal ini hanyalah terbatas pada penyampaian fakta atau kenyataan bahwa “menurut pengadilan” orang tersebut bersalah, namun stempel kesalahannya sendiri bukanlah dari pers. Dalam kaitan inilah makna asas praduga tidak bersalah harus difahami di bidang pers.

Pers tidaklah memiliki kewenangan untuk menyatakan seseorang bersalah atau tidak bersalah. Pers juga tidak memiliki kewenangan untuk memberikan cap, stigma, label dan stempel yang belum terbukti secara hukum kepada siapa pun dan dalam berita apa pun.

Pemakaian kata-kata superlatif yang menunjukkan stikma, cap, stempel atau label keburukan orang, dalam pers dapat menjadikan pers dapat dituduh melakukan pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah.

Penyebutan seseorang “tolol, gila, tukang tilep, sang pembohong, pembual, berhati srigala, bejad” dan sebagainya merupakan pemakaian kata-kata yang dapat dituduh menjadi penyebab pers melakukan pelanggaran terhadap asas praduga tidak bersalah.

Pelanggaran semacam ini tidak perlu dikaitkan apakah terjadi sebelum atau sesudah ada proses hukum.

Kendati demikian, dalam pers penerapan asas praduga tidak bersalah sama sekali tidak mengurangi pers untuk mengemukakan fakta.

Selama ada faktanya, pada prinsipnya pers tetap boleh mengemukakan fakta, kecuali yang jelas-jelas dinyatakan dilarang dalam Kode Etik Jurnalistik.

Apakah fakta yang terjadi masih dalam proses hukum atau tidak, hal tersebut tidak menjadi bahan pembeda bagi pers dalam menerapkan asas praduga tidak bersalah.

Kalau pengadilan bersifat terbuka untuk umum, artinya siapa pun boleh mengetahui apa yang sebenarnya terjadi dalam proses peradilan itu: bagaimana majelis hakim memimpin sidang, bagaimana sikap jaksa dan pembela, termasuk siapa terdakwanya, rakyat atau publik boleh mengetahuinya.

Dalam hal ini, pers merupakan “mata dan telinga” masyarakat yang tidak sempat datang ke pengadilan. Dengan demikian, pers bebas mewartakan siapa terdakwanya lengkap dengan identitasnya, termasuk fotonya.

Sepanjang tidak ditentukan lain, tiada larangan bagi pers untuk mengemukakan identitas terdakwa yang diadili.

Pemberitaan yang mencantumkan identitas lengkap seseorang yang sedang diadili dalam pengadilan yang bersifat terbuka untuk umum sama sekali tidak melanggar asas praduga tidak bersalah.

Begitu pula kalau orang yang menjadi tersangka masih diproses di kepolisian atau kejaksaan, pers boleh memberitakan dengan menyebut identitas mereka, termasuk menyebut nama dan fotonya sekalipun.

Adapun yang tidak diperbolehkan, jika pers selain mengemukakan fakta juga memberikan penghakiman terhadap tersangka yang diberitakan bersalah atau tidak bersalah. (*)

Sumber: Dewan Pers

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA