Kukar, beritaalternatif.com – Wacana amandemen Undang-Undang Dasar (UUD) 1945 kembali mencuat di publik Indonesia. Isu yang mencuat, ada sejumlah pihak yang berkeinginan menambah periode dan perpanjangan masa jabatan presiden.
Praktisi politik di Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar), Haidir menjelaskan, Indonesia memiliki pengalaman di mana dua presiden sebelumnya mempunyai masa jabatan lebih dari dua periode.
Di masa Sukarno, presiden pertama Indonesia tersebut didaulat oleh DPR dan MPR sebagai presiden seumur hidup. Kebijakan itu menimbulkan reaksi keras dari berbagai pihak sehingga Sukarno digulingkan dari kekuasaannya.
Kemudian ia digantikan Soeharto yang sejatinya juga “didaulat” sebagai presiden seumur hidup melalui pemilu berkali-kali yang terus dimenangkannya.
“Makanya lahir era reformasi di mana sejumlah pihak berpendapat, masa jabatan presiden tidak boleh lagi seumur hidup, dan dibatasi periodenya,” jelas Haidir pada Kamis (26/8/2021).
Kata dia, keputusan untuk memangkas periode jabatan presiden lahir dari pengalaman-pengalaman yang membuat kekuasaan mengkristal: dari demokrasi menjadi otoriter.
Karena itu, Sukarno dianggap sebagai diktator. Sementara Soeharto dinilai sebagai presiden yang otoriter. Lalu, di era reformasi, jabatan BJ. Habibie, Gus Dur, dan Megawati tak sampai satu periode. Kemudian SBY dan Jokowi menjabat selama dua periode.
“Ketika hari ini ada wacana menambah masa jabatan atau periode presiden, itu kan ada ruang bagi presiden saat ini untuk mencalonkan diri lagi. Tapi kan pilihannya nanti mau atau tidak dia mencalonkan diri lagi,” jelasnya.
Ia menyebutkan, penambahan masa jabatan atau periode presiden sah-sah saja secara hukum jika DPR dan MPR menghendaki untuk melakukan amandemen UUD 1994.
“Walaupun ada like and dislike. Sama halnya ketika amandemen UUD untuk penambahan periodesasi. Tapi pertarungannya nanti ada di DPR-MPR,” jelasnya.
Dari segi manfaat, penambahan masa jabatan atau periode presiden dinilainya sebagai sesuatu yang relatif. Ia mencontohkan Sukarno. Ada pihak yang menganggapnya positif dan juga negatif selama menjabat sebagai presiden.
“Begitu juga dengan Soeharto. Plus dan minus saja. Relatif. Banyak akademisi yang berdebat soal itu akan mengajukan berbagai opsi-opsi dalam pandangannya,” sebut dia.
Secara pribadi, ia berpendapat, periode jabatan yang lebih dari dua periode bagi presiden tak berarti menghentikan proses regenerasi kepemimpinan nasional.
Begitu juga dengan masa jabatan presiden yang panjang. Hal itu tak berarti menghambat presiden menjadi pemimpin yang diktator.
“Perketat di peraturan perundang-undangan yang lain juga menjadi alat untuk menekan diktatornya kekuasaan. Pendeknya periode jabatan bukan berarti tak bisa diktator. Pendeknya masa jabatan enggak ada jaminan juga akan lahir regenerasi yang bagus,” jelasnya.
Yang terpenting, menurut Haidir, pembatasan usia minimal dan maksimal calon presiden. Misalnya minimal 45 tahun dan maksimal 60 tahun. Jika terlalu muda, maka akan berpengaruh terhadap stabilitas psikologisnya.
“Ini berkaitan dengan pengalaman kepemimpinan, mentalitas, dan segala macam seperti integritas diri mulai dari persoalan keagamaannya, mentalitas kepemimpinan, dan mentalitas wawasannya,” kata dia. (ln)