BERITAALTERNATIF.COM – Jurnalis Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) Andriansyah berbicara tentang pendidikan Kukar di podcast Etam Bekesah, yang kemudian disiarkan di kanal Youtube ATV TALKS.
Dalam kesempatan tersebut, ia menguraikan seputar masalah-masalah yang berkaitan dengan prestasi siswa, jumlah sekolah, serta penyebaran guru-guru di Kukar.
Bagaimana pandangan Anda tentang pendidikan di Kukar?
Kalau pendidikan secara umum sih kelihatannya jalan-jalan saja. Misalnya anak-anak siswa berangkat dari jam 07.30 pagi. Nanti pulang jam 12.00. Guru-guru juga sudah aktif. Jalan saja. Normal-normal saja.
Cuman yang jadi bahan pertanyaan kan kadang-kadang bagaimana tolak ukur pendidikan di Kukar? Kalau menurut saya sudah cukup bagus. Anak Kukar itu sudah ada yang juara sains IPA nasional; ada juara matematika tingkat nasional; ada juara IPS tingkat nasional; ada juara bahasa Inggris tingkat nasional dan provinsi.
Menurut saya, pendidikannya bagus. Saya sudah melihat secara langsung prestasi-prestasinya secara kasat mata. Sampai nasional didapatkan.
Malahan ada pendidikan di Kukar seperti SMK, dia itu punya jurusan otomotif, tapi mobil praktiknya sampai 13 mobil. Saya tidak bermaksud membandingkan sih dengan Samarinda atau Balikpapan, ada enggak jurusan yang sampai 13 mobil untuk praktiknya?
Ini kan hebat di Kukar sampai dia punya workshop sendiri. Punya mobil lapangan sendiri sampai 13. Itu sudah luar biasa. Jadi, pendidikan di Kukar itu prestasinya sudah luar biasa. Sudah cukup bagus.
Akhirnya ada yang jadi bahan pertanyaan lagi, pendidikan di Kukar itu berkualitas atau tidak? Cuman yang jadi masalah kan tolak ukur pendidikan itu kita cuman melihatnya dari indeks pendidikan 10 kabupaten/kota di Kaltim yang berdasarkan BPS.
Di mana posisi Kukar? Kalau tidak salah posisi Kukar di 5 besar. Di antara 10 kabupaten/kota itu, Kukar ada di 5 besar. Kan dia didominasi oleh kota dulu: Kota Samarinda, Kota Balikpapan, Kota Bontang. Nomor 4 itu kalau enggak salah Kabupaten PPU atau Berau gitu.
Itu yang jadi bahan pertanyaan saya. Pendidikan di Kukar sudah cukup bagus. Tapi komposisinya masih nomor 5 di Kaltim.
Apa penyebabnya sehingga pendidikan Kukar berada di posisi ke-5 di Kaltim?
Kalau saya lihat sih kalah di persepsi publik. Jadi, persepsi publik itu dibentuk dengan cara bahwa pendidikan kabupaten itu di bawah kota. Pendidikan di Samarinda, Balikpapan, Bontang itu dipersepsikan pendidikannya bagus-bagus. Jadi, ya kemungkinannya cuman kalah di persepsi publik.
Bisa juga karena modal siswa di kota itu kadang-kadang berbeda. Siswa yang ada di kota itu dianggap lebih kritis. Terus siswa di kabupaten itu dianggap diam. Mungkin kayak gitu. Aspek-aspek itu yang membentuknya.
Saya sih kesimpulannya pada persepsi publiknya yang kalah. Kalau soal prestasinya, pendidikan di Kukar sudah luar biasa. Bahkan prestasinya bisa sampai nasional. Datanya itu ada.
Apakah Tenggarong layak menjadi kota pendidikan?
Kalau layak atau tidak layak Kota Tenggarong itu jadi kota pendidikan, kalau hitungan saya layak. Kita punya market (pasar) yang bisa menarik pelajar dari daerah lain kalau kita jadi kota pendidikan. Kita bisa menarik pelajar dari Kabupaten Mahulu dan Kabupaten Kubar.
Terus, jarak antara Samarinda dengan Tenggarong itu cuman setengah jam. Jadi, hitungan saya, kalau Tenggarong itu dijadikan kota pendidikan, kalau dilihat dari daerah-daerah pendukungnya, sangat layak.
Enggak usaha jauh-jauh. Ada SMK di Kukar itu yang punya mobil untuk praktiknya itu, dia dari Banjarmasin. Berarti kan image Kukar itu sudah bagus. Apalagi Tenggarong sebagai kota pendidikan. Posisinya sangat strategis. Layak kalau Tenggarong dijadikan sebagai kota pendidikan.
Apakah jumlah sekolah di Kukar sudah sebanding dengan jumlah pelajarnya?
Kalau SMPN di Kukar itu ada 102. SMP swastanya ada 43; Kalau SDN ada 438. SD swastanya 70; tingkat SMA-nya, SMAN dan swasta ada 76 di Kukar. Kalau SMK ada 45. Itu sudah memadai. Bahkan lebih dari cukup. Jadi, jumlah sekolah ideal saja. Bahkan sangat ideal.
Malahan ada beberapa sekolah yang kekurangan jumlah murid. Ada yang satu sekolah itu kekurangan 20 siswa; ada yang kekurangan 15 siswa; ada juga yang kekurangan 10 siswa. Itu kan surplus sekolah. Defisit siswa.
Yang dikhawatirkan justru ketika ada anak yang tidak sekolah. Padahal kita sudah defisit sekolah. Jadi, kalau untuk kategori masyarakat lokal, wajib menyekolahkan anaknya. Jangan sampai putus sekolah.
Apakah penyebaran guru-guru yang berstatus ASN di kecamatan-kecamatan itu sudah merata?
Kalau PNS belum merata. Kalau tenaga pendidiknya itu sudah merata dan tertutupi dengan pegawai honorer sekolah dan juga pegawai honorer daerah. Itu sudah terpenuhi.
Guru-guru yang berstatus PNS itu diharapkan mengabdi di sekolah-sekolah yang kekurangan PNS. Misalnya ada SMP di Loa Kulu itu PNS-nya hanya kepala sekolahnya. Guru-gurunya honorer semua. Ada juga di Anggana itu PNS cuman kepala sekolahnya saja. Guru-gurunya honorer semua. Yang seperti itu banyak. Kita ada datanya.
Kita kan kasihan dengan kondisi seperti itu. Karena diharapkan gini, ketika pegawai itu merata, pendidikan semakin bagus. Kalau pegawai negeri, dia bisa fokus karena gaji dan tunjangannya tinggi.
Tapi kalau honorer, bisa jadi enggak fokus. Misalnya di Sungai Payang. Kalau semuanya honorer, dengan honor Rp 700 ribu, khawatir tidak memacu dia untuk semangat berprestasi. Karena memang honornya sangat rendah, antara Rp 500 ribu sampai Rp 700 ribu.
Jadi, guru-guru berstatus PNS itu sudah cukup. Cuman belum merata. Ini kan nanti bisa dipenuhi dengan guru-guru PPPK. Nanti akan tertutupi dengan itu. Mudah-mudahan saja nanti kekurangan guru ASN itu tertutupi dengan guru PPPK ini.
PNS dan PPPK itu kan mendapatkan gaji yang sama, TPP yang sama, nanti semangat kerja dan semangat mengajarnya itu diperkirakan akan sama dengan PNS. Mereka diharapkan fokus mengajar saja. Jadi, tinggal konsen mengajar, pembenahan internal, dan konsen inovasi. Mudah-mudahan bisa berjalan sesuai harapan.
Apakah keberadaan PPPK akan memenuhi kebutuhan guru yang berstatus ASN di Kukar?
Insyaallah memenuhi. Misalnya Sungai Payang kekurangan guru matematika, silakan daftar. Atau Anggana kekurangan guru ini dua orang, silakan daftar. Jadi, selama proses seleksi itu diikuti, nanti akan terpenuhi secara bertahap. Ini sudah seleksi gelombang satu dan dua untuk guru. Pemerintah ini kan buka terus seleksi untuk guru PPPK.
Selama ini kan kita tahunya PNS kita overload. Tapi di satu sisi, Kukar itu tidak pernah seleksi penerimaan PNS. Itu sudah beberapa tahun terakhir. Tapi, di sisi lain, guru itu pensiun terus. Dari 250 PNS yang pensiun setiap tahun, itu didominasi oleh guru.
Jadi, ketika kita menyebut PNS itu overload, data validnya seperti apa? Pegawai kita 250 sampai 300 itu pensiun terus. Kita juga masih dibayang-bayangi overload pegawai, tapi kita juga kekurangan guru. Yang mana data validnya?
Ada yang bilang pegawai kita banyak. Itu kan persepsi saja. Kukar kan sebelum-sebelumnya dibilang seperti itu. Pegawai kita banyak. Tapi kan di satu sisi pensiun sampai 300 orang per tahun. Penerimaan belum tentu 300.
Berarti penyebaran guru-gurunya yang tidak merata?
Seperti yang saya bilang tadi, tenaga pegawai sudah cukup. Karena tertutupi oleh guru-guru honorer tadi. Misalnya, ada yang berasumsi guru yang berstatus PNS itu adanya di daerah perkotaan saja. Cuman kan di kota juga masih menerima guru PPPK. Buktinya ada di Maluhu menerima guru PPPK karena kekurangan guru.
Itu tadi. Pegawai Kukar itu 250 sampai 300 orang pensiun. Cuman yang dominasi itu guru. Jadi, kita mau bilang kekurangan, kita masih berhadapan dengan persepsi kita kekurangan pegawai.
Apa masukan Anda terkait masalah guru di Kukar?
Saya tidak punya hak untuk memberikan rekomendasi kepada pemerintah. Saya sendiri tidak berasal dari lembaga tertentu. Tapi kalau untuk sekadar pendapat, saya kira tinggal pengawasan dan pembinaan saja untuk guru-guru di Kukar karena kita khawatir ada guru yang siap di sini, nanti tahu-tahunya mengundurkan diri.
Rata-rata pegawai kita itu tidak tahan karena kondisi geografis yang terlalu jauh. Ujung-ujungnya di lembaga pendidikan yang ada di Hulu sana tetap di-handle oleh guru-guru honorer sekolah. Kan kasihan. (*)