Oleh: Haidir*
Pendidikan di Kutai Kartanegara (Kukar) dijalankan mengikuti sistem pendidikan nasional yang ditetapkan oleh Kementerian Pendidikan, dan diberlakukan sama untuk seluruh wilayah di tanah air. Tidak banyak perbedaan antara pelaksanaan pendidikan di Kukar dengan penyelenggaraan pendidikan di daerah lain di Indonesia, kecuali hal-hal yang terkait dengan adaptasi kepada hal yang bersifat kearifan lokal, seperti pengenalan bahasa daerah, pengenalan lingkungan daerah, dan hal lain yang bersifat kedaerahan.
Problem pendidikan di Kukar juga hampir sama dengan problem pendidikan di daerah lain, baik masalah bangunan; masalah adanya kewajiban tambahan bagi siswa untuk membeli seragam yang banyak macamnya, yang kadang disediakan oleh pihak sekolah yang harus dibayar oleh pihak siswa; masalah penghasilan tenaga pengajar di beberapa daerah pelosok yang dianggap tidak cukup; fasilitas pendidikan yang kurang; bangunan yang kurang layak; jarak sekolah dan siswa yang relatif jauh dan fasilitas transportasi yang belum memadai; dana penyelenggaraan pendidikan yang sering kali terlambat direalisasikan oleh pemerintah daerah, provinsi ataupun pusat, menjadi masalah klasik yang menghambat proses pendidikan.
Di masa pandemi Covid-19, penyelenggaraan pendidikan banyak terhambat oleh infrastruktur jaringan internet yang tidak stabil di beberapa daerah, yang belum mampu diselesaikan oleh pemerintah. Keterbatasan fasilitas yang dimiliki oleh siswa untuk mengikuti pendidikan sistem daring karena faktor ekonomi berbanding lurus dengan kenaikan barang-barang elektronik seperti laptop dan handphone (gadget). Transisi kurikulum akibat perubahan kebijakan nasional, tetap menjadi masalah bagi pendidikan di mana perubahan cepat tersebut diikuti oleh perubahan referensi, alat peraga, dan sistem belajar mengajar yang harus diterapkan oleh tenaga pendidik.
Pendidikan di Kukar, sebagaimana telah disampaikan di atas, mengikuti kebijakan nasional. Masalah yang dihadapi oleh Kukar relatif sama dengan masalah pendidikan di wilayah lain. Namun dalam upaya mengadaptasi perkembangan sains dan teknologi, masih jauh dari harapan. Fasilitas penunjang untuk itu belum tersedia secara maksimal. Berbagai praktik yang ditugaskan pengajar kepada siswa masih tidak banyak melibatkan perangkat teknologi modern; tugas-tugas klasik yang puluhan tahun lalu juga masih dijadikan sebagai tugas siswa, mulai bikin pot bunga, sapu lidi, asbak rokok dan tugas-tugas sejenisnya. Sering kali tugas rumah yang diberikan tidak sesuai dengan kapasitas usia anak didik, sehingga yang mengerjakan tugas yang demikian bukan anak didik, tetapi orang tua dari anak didik. Banyak tugas yang diberikan minim kreasi, tidak merangsang kemampuan nalar dan motorik anak didik.
Kukar umumnya masih berkutat pada masalah-masalah klasik. Pemerintah daerah tidak secara tegas mampu mengontrol kebijakan pihak sekolah yang kadang “berbisnis” dengan anak didik, dengan dalih tugas, acara sekolah, pengadaan berbagai jenis seragam, pengadaan buku referensi yang disuplai pihak percetakan yang harus dibeli anak didik, membuat beban yang besar bagi anak didik. Kadang ditemukan anak didik yang tak bisa berinteraksi mengikuti pengajaran secara maksimal hanya karena ia tidak mampu membeli dan memiliki buku paket yang diminta oleh pengajar untuk digunakan dalam proses belajar mengajar di jam sekolah. Dengan model pengajaran memakai buku paket penerbit tertentu, pihak pengajar tidak mempunyai kreativitas dan memahami dan memberikan muatan kepada siswa perihal materi yang ia ajarkan. Satuan acara pengajaran tidak berjalan maksimal dan tenaga pendidik tidak berkembang, memahami setiap mata pelajaran yang ia ajarkan kepada siswa, dan di lain sisi, siswa juga tidak mendapat pengetahuan yang memadai.
Setiap tahun buku-buku paket tersebut disuplai penerbit dengan buku yang katanya baru, padahal jika dicermati, hanya isi dan halamannya saja yang dibolak-balik agar terkesan baru. Anak didik yang memiliki saudara yang akan mengikuti kelas yang sama pada tahun berikutnya diwajibkan membeli lagi buku paket baru, dengan alasan materi di buku tahun sebelumnya sudah tidak sama.
Kemudian, masalah lain, setiap hari ada seragam khusus yang harus dipakai oleh siswa, yang berbeda dari hari lainnya. Acara-acara sekolah mewajibkan iuran dan kontribusi dari siswa, yang menambah beban biaya yang harus ditanggung orang tua siswa. Praktik-praktik demikian tidak secara tegas dapat ditertibkan oleh Diknas, sehingga terus berjalan dari tahun ke tahun.
Terkait dengan perkembangan teknologi saat ini, perkembangan dunia internet, perangkat gadget dan sejenisnya, secara prinsip adalah fasilitas yang bertujuan untuk mem-backup perubahan dan perkembangan hidup manusia. Bagi banyak pihak, teknologi yang demikian sering dimaknai sebagai masalah dan menjadi penghambat bagi pendidikan keluarga, institusi sosial dan bahkan institusi pendidikan formal. Dilihat dari kasuistik, keluhan seperti itu memang memiliki banyak bukti. Namun kembali pada prinsip dasarnya, bahwa teknologi informasi demikian adalah fasilitas, yang jika dikelola secara baik dan digunakan secara tepat, maka akan memberikan manfaat, bukan menjadi penghambat bagi manusia. Ambil saja contoh, ketika musim pandemi Covid-19 melanda dunia, maka orang berupaya mencari alternatif untuk tetap berhubungan secara aman, melaksanakan pekerjaan secara tepat, melaksanakan proses belajar mengajar tanpa dihantui rasa waswas tertular virus.
Internet dan perangkat gadget, komputer dan sejenisnya menjadi solusi dari problem pandemi Covid-19. Penggunaan media teknologi seperti itu sebenarnya sudah dilakukan banyak pihak jauh sebelum merebaknya pandemi. Pendidikan di ruang publik, media pemberitaan, komunikasi di dunia maya dan kebutuhan lainnya memang digiring ke arah memaksimalkan jaringan internet dan perangkat keras yang menjadi alat koneksinya. Menteri Pendidikan Nadiem Makarim sudah bicara visi yang seperti itu dengan mengelaborasi antara sistem pendidikan konvensional dengan sistem teknologi informasi (IT).
Pada gilirannya, akan ada masa di mana bangunan fisik hanya menjadi tanda bagi keberadaan sebuah lembaga pendidikan, sementara kelas-kelas belajar mereka berada di dunia maya, yang dapat diakses dan diikuti anak didik sambil rekreasi, sambil membantu keluarga dan tidak meninggalkan aktivitas lainnya yang terkait kebutuhan diri mereka masing-masing.
Perangkat teknologi digital, hardwere IT akan didesain ke arah support terhadap kebutuhan kerja kantor, kebutuhan pendidikan, dan kebutuhan manusia lainnya. Rumah-rumah makan secara fisik hanya menyiapkan posisi dapur, tanpa perlu ruang makan, karena diganti oleh ruang keluarga dan rumah tangga. Penyelenggaraan pendidikan mulai mendaftar sampai lulus bahkan ijazah bisa diterima melalui dunia maya. Regulasi akan diadaptasi kepada pola baru tersebut, dan sistem akan melepaskan ketergantungan kepada benda-benda alam seperti kertas, pena dan perangkat sejenisnya.
Jika dipola secara tepat, sistem kehidupan yang demikian akan banyak mengurangi kerusakan lingkungan. Barang-barang yang saat ini dianggap mahal dan mewah seperti komputer, gadget akan menjadi standar kebutuhan dasar, murah dan terjangkau semua lapisan masyarakat. Formalitas yang selama ini dilakukan secara fisik dan hanya dilakukan di tempat tertentu, akan dapat dilakukan di mana saja melalui media maya.
Hal-hal di atas jika dibicarakan saat ini, bagi sebagian orang akan terasa asing dan mustahil untuk terjadi. Namun di beberapa negara maju, pola hidup demikian sudah mulai berjalan, dan cepat atau lambat akan sampai kepada kita di sini.
Orang mungkin akan bertanya, apakah kita siap? Tak penting untuk menjawab pertanyaan itu, karena keadaan demikian bukan pilihan, tapi keharusan. Oleh sebab itu, bagi Kukar, melakukan lompatan-lompatan kebijakan yang harus mendahului keadaan adalah solusi untuk bisa cepat beradaptasi dengan sistem pola kehidupan dunia yang maju dan berkembang pesat di atas pijakan teknologi informasi dan internet, termasuk menyiapkan masa depan penyelenggaraan pendidikan.
Beberapa negara, termasuk Indonesia, belum familier dengan teknologi 5G (Five G) dan baru mulai merambah ke penggunaan teknologi itu, tapi China bahkan sudah menyiapkan pengembangan teknologi lebih tinggi 6G (Six G) di mana aktivitas fisik tidak lagi menjadi dasar dalam penggunaan teknologi tersebut. Semua pola hidup akan semakin cepat, dan yang lambat akan tertinggal jauh, dan di bawah kendali mereka yang menguasai teknologi.
Bukankah hal yang demikian sudah terjadi saat ini dan bahkan sebelum ini, di mana kita hanya menjadi pengekor, menjadi konsumen dari produsen penguasa teknologi dunia? Artinya ketika hal ini kita tarik ke tema pendidikan dan masa depan pendidikan Kukar, maka semuanya kembali kepada frame berpikir kita untuk menentukan bagaimana warna masa depan pendidikan Kukar. Hukum alamiah itu akan mengikat siapa saja dan di mana pun mereka berada, karena konstalasi hidup itu adalah kompetitif, akan ada yang kalah (tertinggal, termarginal, terbelakang) dan ada yang menang (menguasai, menentukan, menjadi poros penentu nasib orang lain). (*Politisi Partai Kebangkitan Bangsa Kabupaten Kutai Kartanegara)