Search
Search
Close this search box.

Siti Jaitun: Profesi Guru adalah Panggilan Hati

Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Lima bulan setelah menyelesaikan pendidikan strata satu di Fakultas Keguruan dan Ilmu Pendidikan Universitas Mataram pada Februari 2000, Siti Jaitun menjadi guru sukarela di SMP 9 Mataram.

Dia menimba pengalaman sebagai guru di sekolah tersebut selama dua tahun. Pada tahun 2002, ia memutuskan berhenti dari sekolah itu. Setahun sebelumnya, Jaitun juga menjadi guru kontrak di SMA Laboratorium IKIP Mataram.

Lalu, ia mengikuti tes sebagai guru bantu pada tahun 2002. Setahun kemudian, Jaitun menerima SK dari pemerintah pusat. Pada 1 Juni 2003, dia mengajar di SMA Negeri 1 Belo. Hingga kini, ia telah menghabiskan waktu 19 tahun untuk berkhidmat di sekolah tersebut.

Advertisements

“Saya juga dulu pernah mengajar di SMA Karya Ikhlas. Waktu itu saya ngajar matematika. Padahal saya jurusan biologi. Tapi, saya ngajar di situ hanya satu tahun,” ungkapnya kepada beritaalternatif.com Rabu (5/10/2022).

Jika dihitung mundur, Jaitun telah menghabiskan waktu selama 22 tahun untuk mendidik generasi bangsa ini. Apabila dilihat dari rentang waktu tersebut, tak berlebihan bila ia disebut sebagai guru yang sangat konsisten dalam mendidik para pelajar di Kabupaten Bima, Nusa Tenggara Barat.

Kepada media ini, Jaitun mengaku sangat menikmati profesi tersebut. Pasalnya, ia mengawalinya dengan ketertarikan dan kecintaan pada dunia pendidikan. Semua ini berawal dari berbagai teladan yang diberikan para gurunya saat mengenyam pendidikan di SD, SMP, dan SMA.

“Sehingga saya tertarik menjadi guru. Waktu SD, saya senang sekali melihat guru saya yang dengan tekun mendidik siswa dan siswinya. Saya lalu berpikir, ‘mungkin suatu saat saya akan seperti ini’. Jadi, saya terpanggil untuk menjadi pendidik dari hati,” jelasnya.

Dia menyebutkan bahwa setiap profesi menyimpan ragam tantangan. Begitu juga guru. Kata Jaitun, guru memiliki berbagai tantangan saat mendidik para peserta didik, khususnya siswa-siswa yang tergolong malas.

Namun, ia mengaku memiliki kiat untuk menyelesaikan masalah ini. Salah satunya, melakukan pendekatan secara intensif kepada siswa-siswa “unik” tersebut.

Lewat pendekatan ini, Jaitun mengaku mendapatkan beragam alasan di balik kemalasan siswa saat mengikuti pelajaran di sekolah. Dari situ, ia mengetahui bahwa setiap siswa memiliki permasalahan yang berbeda-beda.

Secara umum, kata dia, siswa-siswa bermasalah di sekolah disebabkan pendidikan yang minim dari orang tua mereka yang kerap meninggalkan anak-anak mereka karena bertani di luar wilayah Kabupaten Bima. “Jadi, di rumah itu tidak ada yang menuntun mereka,” terangnya.

Siswa yang memiliki kekurangan dari segi akademik, menurut Jaitun, bukanlah tantangan bagi guru. Karena sejatinya, guru memang bertugas menuntun para siswa agar dapat memahami setiap pelajaran di sekolah.

“Yang penting mereka memahami sebagian mata pelajaran di sekolah. Jadi, enggak harus semuanya dikuasai,” katanya.

Guru Bertugas untuk Mendidik

Jaitun menjelaskan bahwa guru tidak hanya bertugas mengajar dan mentransfer ilmu pengetahuan. Bila hanya bertugas memindahkan ilmu kepada murid, maka setiap orang bisa menjadi guru.

Jika hanya mentransfer ilmu, bermodal membaca dan menonton di YouTube, setiap orang bisa menjadi guru di sekolah. “Tetapi yang lebih utama adalah mendidik dan menuntun siswa,” ucapnya.

Kata dia, Ki Hajar Dewantara tidak hanya memberikan pelajaran kepada para siswanya, tetapi juga menuntun mereka agar berkembang sesuai potensi yang dimiliki para peserta didik.

“Kalau memang dia senang di bidang olahraga, kita tuntun dia bagaimana mengembangkan bakatnya. Jadi, yang paling utama itu adalah bagaimana kita mendidik dan menuntun para siswa itu sesuai dengan bakat yang dia punya,” urainya.

Jaitun menjelaskan bahwa tantangan mendidik para siswa di era kiwari jauh lebih rumit dibandingkan sebelum munculnya telepon pintar (smart phone) dan dunia digital.

Ia yang telah melewati masa-masa pengabdian sebagai guru sebelum smart phone muncul di Indonesia merasakan perubahan peserta didik di sekolahnya saat ini.

“Sekarang semua siswa punya smart phone. Jadi, di mana-mana mereka bisa mengakses apa pun yang mereka inginkan,” ujarnya.

Sebelum smart phone beredar luas di masyarakat Indonesia, Jaitun mengaku hanya mendapatkan tantangan dalam mendidik para siswa yang kurang dalam menerima pendidikan dari orang tua mereka.

Di era ini, sambung dia, saat siswa diberikan kebebasan membawa smart phone ke sekolah untuk memudahkan mereka mengakses berbagai referensi, para siswa justru menggunakannya untuk menonton YouTube serta mengakses media sosial.

“Akhirnya di SMA Negeri 1 Belo kami memutuskan supaya anak-anak tidak membawa handphone. Tapi, yang namanya anak-anak, masih ada saja yang bawa handphone. Kadang disembunyikan di kaos kaki atau ditaruh di jok motor,” ungkapnya.

“Pada saat jam istirahat, mereka membawanya ke kelas. Gurunya lengah sedikit saja mereka sudah membuka situs-situs yang dilarang,” sambungnya.

Cara Mendidik Siswa

Jaitun membagikan kiat agar bisa mendidik para siswa dengan berbagai latar belakang dan potensi yang berbeda-beda. Ia mencontohkan dalam satu kelas terdapat 32 orang siswa. Dengan begitu, guru akan menghadapi 32 karakter siswa yang beragam.

Saat memasuki tahun ajaran baru, Jaitun mengaku akan terlebih dahulu membaca karakter setiap siswa. Caranya, ia memberikan sejumlah pertanyaan kepada para peserta didiknya. Pertanyaan-pertanyaan tersebut disebarkan kepada setiap siswa dalam bentuk kuisioner.

Cara lain, dia meminta setiap peserta didik menulis sendiri di atas lembaran kertas terkait nama, alamat, pekerjaan orang tua, dan hobi siswa.

Hasil interviu tersebut tidak langsung disimpulkan dalam sehari. Jaitun akan menggunakan hari-hari berikutnya untuk memahami ragam potensi yang dimiliki oleh para peserta didiknya.

“Dalam satu semester saya akan pantau terus bagaimana siswa A, B, dan sebagainya, sehingga nanti saya bisa mengarahkan siswa itu harus mengembangkan diri di bidang apa,” terangnya.

Apabila seorang siswa bercita-cita menjadi seorang wirausahawan, Jaitun akan mengarahkannya untuk mendalami pelajaran-pelajaran yang berhubungan dengan entrepreneurship.

Kuncinya, kata dia, harus ada komunikasi yang intens antara guru dan siswa. Bila sebelumnya guru cenderung menjaga jarak dengan para siswa, maka di era ini Jaitun berpendapat bahwa guru harus membangun kedekatan dengan setiap siswa.

“Dengan siswa itu kita tidak boleh mengatur jarak yang terlalu jauh. Pokoknya kita menganggap siswa itu rekan. Kalau bahasanya mereka sekarang itu bestie,” urainya.

Guru yang Aktif

Selain mengajar, lima tahun terakhir Jaitun juga mengemban amanah sebagai Wakil Kepala Sekolah Bagian Kurikulum SMA Negeri 1 Belo.

Selain itu, selama 22 tahun menekuni profesi guru, Jaitun mengaku terus memperkaya diri dengan berbagai ilmu pegetahuan dan teknologi yang berkembang di era kiwari. Misalnya, ia secara rutin mempelajari dan menerapkan metode mengajar dengan aplikasi-aplikasi yang ditawarkan berbagai platform digital.

Tentu saja ia tidak langsung memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan berbagai perubahan saat ini. Ia pun mengikuti berbagai pelatihan yang diadakan pemerintah daerah dan pemerintah pusat.

“Semaksimal mungkin saya akan ikuti itu. Alhmadulillah, setiap kegiatan dari pemerintah pusat, saya selalu terlibat. Makanya di kabupaten sekarang, saya diberi kepercayaan sebagai Sekretaris Musyawarah Guru Mata Pelajaran,” ungkapnya.

Dia juga berkali-kali menjadi mentor dan instruktur dalam mata pelajaran biologi. Baru-baru ini, Jaitun pun mengikuti program Guru Penggerak dalam bidang pengajar praktik yang digagas Menteri Pendidikan, Kebudayaan, Riset, dan Teknologi RI, Nadiem Makarim.

“Artinya, apa pun program yang lagi tren dari Kementerian Pendidikan, saya tetap berusaha ikuti. Dulu ada Guru Pembelajar. Saya juga ikuti itu. Setelah itu, ada juga istilahnya PKB. Saya terlibat di dalamnya sebagai fasilitator,” bebernya.

Setelah mengikuti berbagai program pemerintah tersebut, Jaitun tidak menyimpannya untuk kepentingannya sendiri. Selain mengajarkannya kepada rekan sejawatnya, ia pun secara rutin berusaha menyarankan guru-guru lainnya untuk mengikuti berbagai perkembangan di dunia pendidikan saat ini.

Kata dia, setiap guru harus memperbarui pengetahuan dan kemampuan mereka, sehingga dapat mengikuti perkembangan zaman. “Jangan terpaku dengan apa yang kita dapatkan pada saat kuliah. Kita tidak boleh berpatokan pada materi di era 1990-an, karena anak-anak didik kita berada di era sekarang ini,” imbuhnya.

Panggilan Hati

Jaitun mengatakan bahwa menjadi guru harus lahir dari hati. Tidak ikut-ikutan ataupun sebagai pelarian karena tak mendapatkan pekerjaan lain. “Tidak bisa begitu. Karena tidak akan bertahan lama,” tegasnya.

Sebagai pendidik yang tidak hanya mentransfer ilmu kepada para siswa, kata dia, guru harus menjadi teladan, termasuk keikhlasan dalam menjalankan profesi sebagai pendidik.

“Masa iya kita menyuruh siswa untuk rapi padahal kita sendiri tidak rapi? Kita menyuruh siswa datang jam tujuh pagi, kita sendiri datang jam delapan, kan tidak bisa begitu. Kita juga harus menjadi contoh untuk anak didik kita,” ucapnya.

Dia pun mengajak guru-guru di Indonesia untuk mendidik dan mengajar para generasi bangsa dengan niat yang tulus, sehingga apa pun yang disampaikan guru dapat diterima dengan baik oleh para siswa.

Selain itu, ia mengajak para guru untuk mengembangkan kapasitas keilmuan mereka dengan mempelajari ilmu pengetahuan dan teknologi baru yang saat ini kian berkembang pesat.

“Supaya kita tidak tertinggal dan tidak gaptek. Tetap update dengan ilmu dan teknologi yang sedang berkembang. Program pemerintah di bidang pendidikan juga harus kita ikuti,” ajaknya. (um)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA