BERITAALTERNATIF.COM – Jundub bin Junadah bin Sufyan al-Ghifari yang dikenal dengan nama Abu Dzar Ghifari adalah sahabat utama Nabi Muhammad saw dan penolong setia Imam Ali serta termasuk empat pilar sahabat Nabi saw.
Ia termasuk sahabat dan pencinta hakiki Nabi saw dan Ahlulbait as yang memiliki sifat-sifat dan keutamaan baik menurut Syiah maupun Sunni.
Kritikan Abu Dzar yang dilancarkan kepada Utsman, khalifah ketiga, membuatnya diungsikan ke Syam (Suriah) dan selanjutnya ke Rabadzah hingga meninggal di sana.
Wiladah, Nasab dan Sifat-Sifat
Abu Dzar, lahir 20 tahun sebelum munculnya agama Islam dalam sebuah keluarga dari kabilah Ghifar yang merupakan kabilah asli suku Arab. Ayahandanya, Junadah adalah putra Ghifar, ibundanya Ramlah binti al-Waqi’ah dari kabilah Bani Ghifar bin Malil.
Ahli sejarah mengatakan bahwa terdapat perbedaan pendapat mengenai nama Ayahanda Abu Dzar: Yazid, Jundub, ‘Asyraqah, Abdullah dan Sakan juga disebut-sebut sebagai nama ayah Abu Dzar.
Ibnu Hajar ‘Asqalani menulis: Abu Dzar adalah seorang pria berperawakan tinggi dan berbadan kurus. Ibnu Sa’d mengenalkan Abu Dzar sebagai seorang laki-laki yang berbadan tinggi dan berjanggut warna putih. Dzahabi berkata: Abu Dzar seorang laki-laki yang memiliki perawakan yang kuat dan janggut tebal.
Nama-Nama dan Julukan
Ia dipanggil dengan nama Abu Dzar karena memiliki putra bernama “Dzar”. Kebanyakan orang mengenal dengan julukan itu namun terkait dengan nama aslinya terjadi perbedaan seperti Badar bin Jundub, Burair bin Abdullah, Burair bin Junadah, Burairah bin ‘Asyraqah, Jundub bin Abdullah, Jundub bin Sakan dan Yazid bin Junadah. Nama yang masyhur dan benar nampaknya adalah Jundub bin Yazid.
Istri dan Anak
Berdasarkan sumber-sumber yang ada, ia mempunyai seorang putra bernama “Dzar”. Kulaini mencatat hal ini dalam bab wafatnya Dzar. Istrinya bernama Ummu Dzar.
Islam
Ia adalah orang yang terdahulu dan terdepan dalam Islam. Menurut sebagian pendapat, Abu Dzar sebelum memeluk Islam adalah pemeluk ajaran monoteisme, dan tiga tahun sebelum bi’tsah Nabi saw ia beriman kepada Allah Swt.
Ibnu Habib Baghdadi berkata bahwa Abu Dzar termasuk orang-orang yang berkeyakinan bahwa minum-minuman keras dan azlam (mengundi nasib dengan anak panah) pada zaman jahiliyah adalah haram.
Setelah Islam muncul, ia termasuk menjadi pribadi-pribadi yang paling pertama masuk Islam. Terdapat sebuah riwayat: Aku adalah orang keempat yang mendatangi Nabi saw dan berkata, “Salam bagimu, Wahai Rasulullah! Aku bersaksi bahwa tidak ada tuhan selain Allah dan aku bersaksi bahwa Muhammad adalah hamba dan utusan-Nya. Kemudian aku melihat muka nabi pun nampak bahagia.
Ibnu Abbas begini menceriterakan keislaman sahabat Nabi tersebut: Ketika Abu Dzar mendengar bi’tsah Nabi di Mekah, kepada saudaranya, Anis berkata: Pergilah ke negeri itu, dan kabarkan kepadaku tentang seorang laki-laki yang telah menerima kabar, dengarkanlah kata-katanya kemudian kembalilah kepadaku. Abu Dzar berkata: Karena pagi telah datang, aku pun bersama dengan Imam Ali pergi ke rumah Nabi saw.
Kisah tentang keislaman Abu Dzar dalam referensi-referensi Syiah diceriterakan dengan bentuk lain. Kulaini dalam riwayat yang berasal dari Imam Shadiq As, di samping menceriterakan kekagumannya tentang kisah itu, juga menukilkan tentang keislaman Abu Dzar.
Keutamaan Abu Dzar
Nabi Muhammad berkata kepada Abu Dzar: Selamat datang wahai Abu Dzar! Anda bagian dari kami Ahlulbait. Atau di tempat lain tentang Abu Dzar berkata: Tidak ada seorang yang lebih jujur dari Abu Dzar.
Rasulullah saw dalam riwayat yang lain menyifati Abu Dzar dengan zuhud dan rendah hati seperti Isa bin Maryam as. Imam Ali ketika ditanya mengenai Abu Dzar, bersabda: Ia memiliki ilmu yang tidak mampu dimiliki oleh orang lain dan bersandar terhadap ilmu itu, padahal ilmu itu bukan sesuatu yang sedikit. Imam Ali as berkata bahwa surga sangat merindukan Abu Dzar.
Imam Baqir as bersabda: Setelah Rasulullah saw meninggal, semua manusia murtad dan menarik diri dari Imam Ali, kecuali tiga orang: Salman, Abu Dzar dan Miqdad. Bahkan Ammar pun mengalami keraguan, namun kemudian ia kembali.
Imam Shadiq as terkait dengan ibadah Abu Dzar bersabda, ibadah yang paling banyak dilakukannya adalah tafakur, ia sedemikian takut kepada Allah, sehingga matanya luka.
Imam Shadiq as dalam riwayat yang lain bersabda: Abu Dzar berkata: Aku mencintai 3 hal yang dibenci oleh orang lain: kematian, kefakiran, dan bencana.
Imam Shadiq as melanjutkan: yang dimaksud oleh Abu Dzar dengan kematian dalam ketaatan kepada Allah lebih baik daripada kemaksiatan dalam kehidupannya dan bermaksiat kepada Allah; bencana dalam ketaatan lebih ia sukai daripada kesehatan dalam kemaksiatan kepada-Nya; kefakiran dalam ketaatan kepada Allah Swt lebih baik daripada ketidakbutuhan dalam bermaksiat kepada-Nya.
Menurut literatur-literatur Syiah, Abu Dzar Ghifari merupakan 4 pilar sahabat dalam agama Islam termasuk Miqdad dan Ammar.
Syaikh Mufid meriwayatkan hadis dari Imam Kazhim As bahwa pada hari kiamat akan ada seruan bahwa di manakah engkau wahai hawariyyun Nabi Muhammad saw yang tidak pernah mengingkari janjinya?
Kemudian, Salman, Miqdad, dan Abu Dzar pun berdiri dari tempatnya. Agha Buzurg Tehrani, dua kitab “Akhbār Abi Dzar” karangan Abu Mansur Dhafar bin Hamsun Badarai dan “Akhbār Abi Dzar wa Fadhilahu” karya Syaikh Shaduq menulis dalam bab Ahwalat dan Fadhilah Abu Bakar.
Sayid Alikhan Madani mengenai Abu Dzar berkata: Abu Dzar termasuk seorang alim besar dan memiliki maqam dalam kezuhudan yang dalam tahun-tahun yang lama memberi uang sebanyak 400 dinar dan tidak mengumpulkan apa-apa untuk dirinya.
Bahrul Ulum menyebutkan bahwa Abu Dzar merupakan salah seorang Hawariyun yang berjalan di samping Sayidul Mursalin dan selalu menyebutkan keutamaan Ahlulbait As serta bersikap keras terhadap musuh-musuhnya.
Abu Na’min Isfahani juga berkata: Abu Dzar berkhidmat kepada Nabi Muhammad saw dan belajar usul Islam dari Nabi saw dan ia pun berada di sisi Nabi dalam kesempatan yang lainnya. Ia adalah orang yang tidak memakan riba semenjak syairat Islam belum turun dan sebelum Ahkam Ilahi ditentukan. Ia berjuang di jalan kebenaran, ia tidak menghiraukan hardikan dan tidak pernah taat kepada para penguasa tiran.
Mencintai Imam Ali as
Irbili meriwayatkan bahwa Abu Dzar menjadikan Imam Ali sebagai washi bagi dirinya dan berkata: Aku bersumpah dan Ali bin Abi Thalib as adalah pelaksana wasiatku. Meski kalian telah berpisah darinya dan khilafahnya telah dirampas. Ibnu Abil Hadid juga berkata: Ketika Abu Dzar berada di Rabadzah kepada Ibnu Rafi’ berkata: fitnah akan segera terjadi, takutlah kepada Tuhan dan lindungilah Ali bin Abi Thalib as.
Pertemanan dan kecintaan kepada Ali bin Abi Thalib as ini menyebabkan ia turut serta dalam menguburkan pemakaman Sayidah Fatimah Zahra.
Pada Masa Kehilafahan
Abu Dzar tidak pernah melepaskan pembelaannya dari hak Imam Ali pada permulaan baiat kepada Abu Bakar. Ia pada zaman khalifah kedua, Umar bin Khattab, adalah seseorang yang tidak mempedulikan adanya pelarangan pencatatan hadis atas perintah Umar dan berkata: Demi Allah! Apabila pedang itu disabetkan ke lidahku sehingga aku tidak meriwayatkan hadis dari Nabi saw, maka aku akan lebih memilih perobekan lidahku dengan pedang daripada harus tidak meriwayatkan hadis dari Nabi.
Periwayatan hadis ini menyebabkan Abu Dzar dan beberapa orang lainnya dipenjara pada zaman Umar.
Dibuang ke Suriah
Menurut Ibnu Abil Hadid, sebab pengasingan Abu Dar ke Suriah adalah karena khalifah Utsman membagi-bagikan uang baitul mal kepada Marwan bin Hakam, Zaid bin Tsabit. Abu Dzar berteriak dan memprotes kebijakan Utsman sehingga ia diusir dari Madinah dan diasingkan ke Syam (Suriah).
Di Suriah, ia mengkritik kebijakan yang dijalankan oleh Muawiyah. Pada suatu ketika, Muawiyah mengirimkan uang sebanyak 300 dinar kepada Abu Dzar. Abu Dzar berkata kepada orang yang membawa uang itu: Apabila uang ini adalah bagianku dari baitul mal, maka hal ini tidak pernah Anda berikan, namun jika hal itu adalah hadiah, maka aku tidak memerlukan uang itu dan kirimkanlah kembali uang itu kepada Muawiyah.
Ketika Muawiyah membagun istana Khizra (istana hijau) di Damaskus, Abu Dzar berkata: Wahai Muawiyah! Apabila uang itu berasal dari Allah, maka sesungguhnya Anda telah berkhianat dan apabila uang itu berasal dari dirimu sendiri, maka sesungguhnya Anda telah bertindak israf (berlebihan).
Oleh itu, Abu Dzar selalu melancarkan kritikan kepada Muawiyah. Kepada Muawiyah, ia berkata: Anda telah melakukan berbagai pekerjaan yang tidak aku ketahui, aku bersumpah demi Tuhan! Tindakan-tindakan yang Anda lakukan ini tidak ada dalam Alquran dan hadis Nabi, aku melihat kebenaran yang tidak akan pernah padam, melihat kebatilan yang akan hidup dan aku melihat kejujuran yang dianggap sebagai kedustaan sehingga pada suatu hari, karena Muawiyah geram dengan perkataan ini, maka ia memerintahkan untuk menangkap Abu Dzar dan mencapnya sebagai musuh Tuhan dan musuh Rasul.
Abu Dzar dalam menjawab perkataan Muawiyah berujar: Aku bukan musuh Tuhan, bukan pula musuh Nabi saw, namun Anda dan ayahmulah yang merupakan musuh Tuhan dan musuh Nabi saw. Secara lahir Anda memeluk Islam tapi kekufuran Anda ada dalam hati, dan pasti Nabi saw melaknat Anda dan telah beberapa kali melaknat Anda dan Anda pun tidak pernah puas dengan perkataan ini.
Muawiyah berkata: Aku bukanlah orang yang kamu sebutkan itu.
Abu Dzar berkata: tidak, sesungguhnya itulah dirimu. Rasulullah saw bersabda kepadaku: aku sendiri mendengar bahwa Nabi saw berkata: Tuhanku, laknatlah ia (Muawiyah) dan jangan kenyangkan ia kecuali dengan tanah.
Pada kesempatan itulah Muawiyah memerintahkan supaya memenjarakan Abu Dzar.
Dikatakan juga bahwa di Syam, Abu Dzar menjelaskan tentang fadhilah Rasulullah saw dan Ahlulbait, Muawiyah melarang masyarakat untuk mendatangi majelis Abu Dzar dan menulis surat kepada Utsman untuk melaporkan perkataan Abu Dzar. Setelah menerima surat jawaban dari Utsman, Muawiyah mengasingkan Abu Dzar ke Madinah.
Pengasingan ke Rabadzah
Abu Dzar di Madinah bertemu dengan Utsman. Ia tidak menerima dinar yang diberikan oleh khalifah dan justru melakukan kritik pedas kepada pemerintahannya. Utsman tidak tahan dalam menerima kritikan itu sehingga ia mengasingkan Abu Dzar dengan keadaan yang paling buruk. Rekaman tentang percakapan antara Abu Dzar dan Utsman tersebar dalam kitab sejarah.
Utsman melarang seseorang untuk mengawal dan mengajak berbicara ketika Abu Dzar dibuang ke Rabadzah. Dengan demikian, tidak ada seorang pun yang berani menyertainya, walaupun begitu, Imam Ali as dan dua bersaudara, Imam Hasan as dan Imam Husain, Ammar dan Yasir siap untuk mengawal Abu Dzar dan melepas kepergiannya.
Wafat
Abu Dzar meninggal bulan Dzulhijjah. Dia meninggal di masa pemerintahan khalifah Utsman di Rabadzah.
Ibnu Katsir menulis: Ketika Abu Dzar meninggal, tidak ada seorang pun berada di sisinya, kecuali istrinya.
Zirikli berkata: Ia meninggal dalam keadaan di rumahnya tidak mempunyai apa-apa sehingga tidak ada kain untuk mengkafankannya.
Mihran bin Maimun menceriterakan: yang aku lihat di rumah Abu Dzar tidak lebih bernilai dari 2 dirham.
Telah dinukilkan bahwa ketika Ummu Dzar menangis dan kepada suaminya berkata: Engkau akan meninggal di padang pasir dan aku tidak mempunyai kain untuk mengafanimu, Abu Dzar berkata kepada istrinya: Jangan menangis dan bergembiralah! Karena pada suatu hari Rasulullah bersabda: salah seorang dari kalian akan meninggal di padang pasir dan sekelompok dari kaum mukminin akan menguburkanmu. Semua orang yang bersamaku kala itu meninggal di kota dan di antara masyarakat dan perkataan Nabi itu tentang diriku.
Setelah itu, Abdullah bin Mas’ud dan sebagian penolong setianya (Hajar bin Adabir, Malik Asytar dan sekelompok pemuda dari Kaum Anshar) secara kebetulan lewat dari sana dan kemudian sibuk memandikan dan mengafankan. Kemudian Abdullah bin Mas’ud pun menyalati jenazahnya.
Sesuai dengan laporan Tarikh Ya’qubi, Hudzaifah bin Yaman, sejumlah tokoh masyarakat pun ikut bergabung dalam acara pemakaman Abu Dzar. Berdasarkan semua sumber, kuburan Abu Dzar berada di Rabadzah. (*)
Sumber: Wikishia