Search
Search
Close this search box.

Sejarah Penyebaran Islam, Kolonialisme Barat, dan Keragaman Suku di Provinsi NTB

Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM – Nusa Tenggara Barat (NTB) ialah sebuah provinsi di Indonesia yang berada di bagian tengah Kepulauan Nusa Tenggara di antara provinsi Bali di sebelah barat dan provinsi Nusa Tenggara Timur di sebelah Timur. Ibu kota provinsi ini berada di kota Mataram.

NTB memiliki 8 kabupaten dan 2 kota, termasuk Kota Mataram. Pada tahun 2020, penduduk NTB berjumlah 5.320.092 jiwa, dengan kepadatan 264 jiwa/km2. Dua pulau terbesar di provinsi ini adalah Lombok yang terletak di barat dan Sumbawa yang terletak di timur.

Pada awal kemerdekaan Indonesia, wilayah ini termasuk dalam wilayah Provinsi Sunda Kecil yang beribu kota di Singaraja. Kemudian, wilayah Provinsi Sunda Kecil dibagi menjadi 3 provinsi: Bali, Nusa Tenggara Barat, dan Nusa Tenggara Timur.

Advertisements

Sebagian besar dari penduduk pulau Lombok berasal dari suku Sasak, sementara suku Bima (suku Mbojo) dan suku Sumbawa merupakan kelompok etnis terbanyak di pulau Sumbawa.

NTB terdiri dari Pulau Lombok dan Pulau Sumbawa, memiliki luas wilayah 20.153,15 km2. Terletak antara 115° 46’–119° 5′ Bujur Timur dan 8° 10’–9 °g 5′ Lintang Selatan. Selong merupakan kota yang mempunyai ketinggian paling tinggi, yaitu 148 m dari permukaan laut, sementara Raba terendah dengan 13 m dari permukaan laut.

Dari tujuh gunung yang ada di Pulau Lombok, Gunung Rinjani merupakan gunung tertinggi dengan ketinggian 3.775 m, sedangkan Gunung Tambora merupakan gunung tertinggi di Sumbawa dengan ketinggian 2.851 m.

Sungai-sungai di Nusa Tenggara Barat dikelompokkan ke dalam dua wilayah sungai, yaitu Wilayah Sungai (WS) yaitu WS Lombok dan WS Sumbawa. WS Lombok terdiri atas 197 DAS dan WS Sumbawa 555 DAS.

Berdasarkan data statistik dari lembaga meteorologi, temperatur maksimum pada tahun 2001 berkisar antara 30,9°-32,1 °C, dan temperatur minimum berkisar antara 20,6°-24,5 °C. Temperatur tertinggi terjadi pada bulan September dan terendah ada bulan November. Sebagai daerah tropis, NTB mempunyai rata-rata kelembaban yang relatif tinggi, yaitu antara 48-95 %.

Sejarah NTB

Keberadaan status provinsi, bagi NTB tidak datang dengan sendirinya. Perjuangan menuntut terbentuknya Provinsi NTB berlangsung dalam rentang waktu yang cukup lama. Provinsi NTB, sebelumnya sempat menjadi bagian dari Negara Indonesia Timur dalam konsepsi Negara Republik Indonesia Serikat, dan menjadi bagian dari Provinsi Sunda kecil setelah pengakuan kedaulatan Republik Indonesia.

Seiring dinamika zaman dan setelah mengalami beberapa kali proses perubahan sistem ketatanegaraan pasca diproklamasikannya Kemerdekaan Republik Indonesia, barulah terbentuk Provinsi NTB. NTB secara resmi mendapatkan status sebagai provinsi sebagaimana adanya sekarang sejak tahun 1958, berawal dari penetapan Undang-Undang Nomor 64 Tahun 1958 tanggal 14 Agustus 1958 tentang Pembentukan Daerah-daerah Swatantra Tingkat I Bali, NTB dan NTT, dan yang dipercayakan menjadi Gubernur pertamanya adalah AR. Moh. Ruslan Djakraningrat.

Walaupun secara yuridis formal Daerah Tingkat I NTB yang meliputi 6 Daerah Tingkat II dibentuk pada tanggal 14 Agustus 1958, namun penyelenggaraan pemerintahan berjalan berdasarkan Undang-Undang Negara Indonesia Timur Nomor 44 Tahun 1950, dan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1957 tentang Pokok-Pokok Pemerintahan Daerah. Keadaan yang tumpang tindih ini berlangsung hingga 17 Desember 1958, ketika Pemerintah Daerah Lombok dan Sumbawa dilikuidasi. Hari likuidasi inilah yang menandai resmi terbentuknya Provinsi NTB. Zaman terus berganti, konsolidasi kekuasaan dan pemerintahan pun terus terjadi.

Pada tahun 1968 dalam situasi yang masih belum menggembirakan sebagai akibat berbagai krisis nasional yang membias ke daerah, gubernur pertama AR. Moh. Ruslan Tjakraningrat digantikan oleh HR. Wasita Kusuma. Dengan mulai bergulirnya program pembangunan lima tahun tahap pertama (pelita I) langkah perbaikan ekonomi, sosial, politik mulai terjadi.

Pada tahun 1978, H.R. Wasita Kusuma digantikan H. Gatot Soeherman sebagai Gubernur Provinsi NTB yang ketiga. Dalam masa kepemimpinannya, usaha-usaha pembangunan kian dimantapkan dan Provinsi NTB yang dikenal sebagai daerah minus berubah menjadi daerah swasembada.

Pada tahun 1988, Drs. H. Warsito terpilih memimpin NTB menggantikan H. Gatot Soeherman. Drs. H. Warsito mengendalikan tampuk pemerintahan di Provinsi NTB untuk masa dua periode, sebelum digantikan Drs. H. Harun Al Rasyid pada 31 Agustus 1998.

Drs. H. Harun Al Rasyid berjuang membangun NTB dengan berupaya meningkatkan kualitas sumber daya manusia melalui Program Gema Prima. Tahun 2003 hingga 1 September 2008, H. Lalu Serinata dan wakil Gubernur H.B. Thamrin Rayes memimpin NTB.

Pada masa ini berbagai macam upaya dilakukan dalam membangun NTB dan mengejar ketertinggalan di berbagai bidang dan sektor. Di zaman ini, sejumlah program diluncurkan, seperti Gerbang E-Mas dengan Program Emas Bangun Desa.

Selain itu, pada masa ini pembangunan Bandara Internasional Lombok di Lombok Tengah mulai terealisasi dan rampung pada pertengahan 2009.

Dalam usianya yang ke-52, Provinsi NTB dipimpin oleh Gubernur Dr. KH. M. Zainul Majdi dan Wakil Gubernur Ir. H. Badrul Munir. Pada tahun 2010, kedua pasangan pemimpin menggenapkan dua tahun pemerintahannya di Provinsi NTB untuk mengemban amanah dan harapan masyarakat NTB dalam mencapai kesejahteraan dan pembangunan daerah menuju NTB yang Beriman dan Berdaya Saing.

Masuknya Islam

Belakangan, ketika Kerajaan ini dipimpin oleh Prabu Rangkesari, Pangeran Prapen, putera Sunan Ratu Giri datang mengislamkan kerajaan Lombok. Dalam Babad Lombok disebutkan, pengislaman ini merupakan upaya dari Raden Paku atau Sunan Ratu Giri dari Gersik, Surabaya yang memerintahkan raja-raja Jawa Timur dan Palembang untuk menyebarkan Islam ke berbagai wilayah di Nusantara.

Sementara di Kerajaan Lombok, sebuah kebijakan besar dilakukan Prabu Rangkesari dengan memindahkan pusat kerajaan ke Desa Selaparang atas usul Patih Banda Yuda dan Patih Singa Yuda. Pemindahan ini dilakukan dengan alasan letak Desa Selaparang lebih strategis dan tidak mudah diserang musuh dibandingkan posisi sebelumnya.

Menurut Fathurrahman Zakaria, dari wilayah pusat kerajaan yang baru ini, panorama Selat Alas yang indah membiru dapat dinikmati dengan latar belakang daratan Pulau Sumbawa dari ujung utara ke selatan dengan sekali sapuan pandangan. Dengan demikian semua gerakan yang mencurigakan di tengah lautan akan segera dapat diketahui. Wilayah ini juga memiliki daerah belakang berupa bukit-bukit persawahan yang dibangun dan ditata rapi bertingkat-tingkat sampai hutan Lemor yang memiliki sumber air yang melimpah.

Di bawah pimpinan Prabu Rangkesari, Kerajaan Selaparang berkembang menjadi kerajaan yang maju di berbagai bidang. Salah satunya adalah perkembangan kebudayaan yang kemudian banyak melahirkan manusia-manusia sebagai khazanah warisan tradisional masyarakat Lombok hari ini. Ahli sejarah berkebangsaan Belanda L. C. Van den Berg menyatakan bahwa, berkembangnya Bahasa Kawi sangat memengaruhi terbentuknya alam pikiran agraris dan besarnya peranan kaum intelektual dalam rekayasa sosial politik di Nusantara.

Fathurrahman Zakaria (1998) menyebutkan bahwa para intelektual masyarakat Selaparang dan Pejanggik sangat mengetahui Bahasa Kawi. Bahkan kemudian dapat menciptakan sendiri aksara Sasak yang disebut sebagai jejawen.

Dengan modal Bahasa Kawi yang dikuasainya, aksara Sasak dan Bahasa Sasak, maka para pujangganya banyak mengarang, menggubah, mengadaptasi atau menyalin manusia Jawa kuno ke dalam lontar-lontar Sasak. Lontar-lontar dimaksud, antara lain Kotamgama, Lapel Adam, Menak Berji, Rengganis dan lain-lain. Bahkan para pujangga juga banyak menyalin dan mengadaptasi ajaran-ajaran sufi para walisongo, seperti lontar-lontar yang berjudul Jatiswara, Lontar Nursada dan Lontar Nurcahya. Bahkan hikayat-hikayat Melayu pun banyak yang disalin dan diadaptasi, seperti Lontar Yusuf, Hikayat Amir Hamzah, Hikayat Sidik Anak Yatim dan sebagainya.

Dengan mengkaji lontar-lontar tersebut, menurut Fathurrahman Zakaria (1998), kita akan mengetahui prinsip-prinsip dasar yang menjadi pedoman dalam rekayasa sosial politik dan sosial budaya kerajaan dan masyarakatnya. Dalam bidang sosial politik misalnya, Lontar Kotamgama lembar 6 lembar menggariskan sifat dan sikap seorang raja atau pemimpin, yakni Danta, Danti, Kusuma dan Warsa.

Selain itu, dalam lontar-lontar yang ada diketahui bahwa istilah-istilah dan ungkapan yang syarat dengan ide dan makna telah dipergunakan dalam bidang politik dan hukum, misalnya kata hanut (menggunakan hak dan kewajiban), tapak (stabil), tindih (bertata krama), rit (tertib), jati (utama), tuhu (sungguh-sungguh), bakti (bakti, setia) atau terpi (teratur). Dalam bidang ekonomi, seperti itiq (hemat), loma (dermawan), kencak (terampil) atau genem (rajin).

Kemajuan Kerajaan Selaparang ini membuat kerajaan Gelgel di Bali merasa tidak senang. Gelgel yang merasa sebagai pewaris Majapahit, melakukan serangan ke Kerajaan Selaparang pada tahun 1520, akan tetapi menemui kegagalan.

Mengambil pelajaran dari serangan yang gagal pada 1520, Gelgel dengan cerdik memanfaatkan situasi untuk melakukan infiltrasi dengan mengirimkan rakyatnya membuka pemukiman dan persawahan di bagian selatan sisi barat Lombok yang subur. Bahkan disebutkan, Gelgel menempuh strategi baru dengan mengirim Dangkiang Nirartha untuk memasukkan paham baru berupa singkretisme Hindu-Islam.

Walau tidak lama di Lombok, tetapi ajaran-ajarannya telah dapat memengaruhi beberapa pemimpin agama Islam yang belum lama memeluk agama Islam. Namun niat Kerajaan Gelgel untuk menaklukkan Kerajaan Selaparang terhenti karena secara internal kerajaan Hindu ini juga mengalami stagnasi dan kelemahan di sana-sini.

Kolonialisme Barat

Kedatangan VOC Belanda ke Indonesia yang menguasai jalur perdagangan di utara telah menimbulkan kegusaran Gowa, sehingga Gowa menutup jalur perdagangan ke selatan dengan cara menguasai Pulau Sumbawa dan Selaparang. Untuk membendung misi kristenisasi menuju ke barat, maka Gowa juga menduduki Flores Barat dengan membangun Kerajaan Manggarai.

Ekspansi Gowa ini menyebabkan Gelgel yang mulai bangkit tidak senang. Gowa dihadapkan pada posisi dilematis, mereka khawatir Belanda memanfaatkan Gelgel. Maka tercapai kesepakatan dengan Gelgel melalui perjanjian Saganing pada tahun 1624 yang isinya antara lain Gelgel tidak akan bekerja sama dengan Belanda dan Gowa akan melepaskan perlindungannya atas Selaparang yang dianggap halaman belakang Gelgel.

Akan tetapi terjadi perubahan sikap sepeninggal Dalem Sagining yang digantikan oleh Dalem Pemayun Anom. Terjadi polarisasi yang semakin jelas, yakni Gowa menjalin kerja sama dengan Mataram di Jawa dalam rangka menghadapi Belanda. Sebaliknya Belanda berhasil mendekati Gelgel, sehingga pada tahun 1640, Gowa masuk kembali ke Lombok. Bahkan pada tahun 1648, salah seorang Pangeran Selaparang dari Trah Pejanggik bernama Mas Pemayan dengan gelar Pemban Mas Aji Komala, diangkat sebagai raja muda, semacam gubernur mewakili Gowa, berkedudukan di bagian barat pulau Sumbawa.

Akhirnya perang antara Gowa dengan Belanda tidak terelakkan. Gowa melakukan perlawanan keras terutama di bawah pimpinan Sultan Hasanuddin yang dijuluki Ayam Jantan dari Timur.

Sejarah mencatat Gowa harus menerima perjanjian Bungaya pada tahun 1667. Bungaya adalah sebuah wilayah yang terletak di sekitar pusat kerajaan Gelgel di Klungkung yang menandai eratnya hubungan Gelgel-Belanda.

Konon Gelgel berusaha memanfaatkan situasi dengan mengirimkan ekspedisi langsung ke pusat pemerintahan Selaparang pada tahun 1668-1669, tetapi ekspedisi tersebut gagal.

Sekalipun Selaparang unggul melawan kekuatan tetangganya, yaitu Kerajaan Gelgel, namun pada saat yang bersamaan, suatu kekuatan baru dari arah barat telah muncul pula. Embrio kekuatan ini telah ada sejak permulaan abad ke-15 dengan datangnya para imigran petani liar dari Karang Asem (Bali) secara bergelombang dan mendirikan koloni di kawasan Kotamadya Mataram sekarang ini. Kekuatan itu telah menjelma sebagai sebuah kerajaan kecil, yaitu Kerajaan Pagutan dan Pagesangan yang berdiri pada tahun 1622.

Namun bahaya yang dinilai menjadi ancaman utama dan akan tetap muncul secara tiba-tiba yaitu kekuatan asing, Belanda yang sewaktu-waktu akan melakukan ekspansi. Kekuatan dari tetangga dekat diabaikan, karena Gelgel yang demikian kuat mampu dipatahkan. Sebab itu sebelum kerajaan yang berdiri di wilayah kekuasaannya di bagian barat ini berdiri, hanya diantisipasi dengan menempatkan pasukan kecil di bawah pimpinan Patinglaga Deneq Wirabangsa.

Di balik itu memang ada faktor-faktor lain terutama masalah perbatasan antara Selaparang dan Pejanggik yang tidak kunjung selesai. Hal ini menyebabkan adanya saling mengharapkan peran yang lebih di antara kedua kerajaan serumpun ini atau saling lempar tanggung jawab. Dalam kecamuk peperangan dan upaya menghadapi masalah kekuatan yang baru tumbuh dari arah barat itu, maka secara tiba-tiba saja, tokoh penting di lingkungan pusat kerajaan, yaitu patih kerajaan sendiri yang bernama, Raden Arya Banjar Getas, ditengarai berselisih pendapat dengan rajanya. Raden Arya Banjar Getas akhirnya meninggalkan Selaparang dan hijrah mengabdikan diri di Kerajaan Pejanggik yang dulu (Kerajaan Pejanggik) berada di Daerah Pejanggik yang berada di Kecamatan Jonggat.

Atas prakarsanya sendiri, Raden Arya Banjar Getas dapat menyeret Pejanggik bergabung dengan sebuah Ekspedisi Tentara Kerajaan Karang Asem yang sudah mendarat menyusul di Lombok Barat. Semula berdasarkan informasi awal yang diperoleh, maksud kedatangan ekspedisi itu akan menyerang Kerajaan Pejanggik. Namun dalam kenyataan sejarah, ekspedisi itu telah menghancurkan Kerajaan Selaparang karena wilayah tersebut dapat ditaklukkan hampir tanpa perlawanan, sebab sudah dalam keadaan sangat lemah. Peristiwa ini terjadi pada tahun 1672. Pusat kerajaan hancur dan rata dengan tanah serta raja beserta seluruh keluarganya mati terbunuh.

Selaparang jatuh hanya tiga tahun setelah menghadapi Belanda. Empat belas tahun kemudian, pada tahun 1686 Kerajaan Pejanggik dibumihanguskan oleh Kerajaan Mataram Karang Asem. Akibat kekalahan Pejanggik, maka Kerajaan Mataram mulai berdaulat menjadi penguasa tunggal di Pulau Lombok setelah sebelumnya juga meluluh lantakkan kerajaan-kerajaan kecil lainnya.

Demografi NTB

Mayoritas penduduk yang mendiami Provinsi NTB adalah suku asli setempat, yakni 93,33% termasuk suku Sasak 67,57% dan Bima, Sumbawa, Dompu serta lainnya 25,76%.

Bahasa Sasak banyak digunakan oleh masyarakat yang mendiami Pulau Lombok. Bahasa Sasak memiliki tiga tingkatan yaitu lembut, sedang dan kasar. Terdapat lima dialek Bahasa Sasak, di antaranya dialek Pejangi, Selaparang dan Bayan. Bahasa Sasak memiliki perpaduan antara Bahasa Bali dan Jawa. Dari segi aspek aksara/tulisan Bahasa Sasak memiliki persamaan dengan Bahasa Jawa-Bali, contohnya terdapat persamaan penggunaan aksara Ha, Na, Ca, Ra Ka dan lain-lain. Tetapi ditinjau dari pelafalan Bahasa Sasak mirip dengan Bali. Sedangkan berdasarkan ethnologue Bahasa Sasak termasuk ke dalam keluarga Bahasa Austronesia, Malayo Polinesia, Nuclear Malayo Polinesia, Sunda-Sulawesi dan Sasak-Bali.

Bahasa Sumbawa atau disebut juga Bahasa Semawa’ merupakan bahasa yang tersebar di daerah Sumbawa. Macam-macam dialeknya adalah dialek Semawa’, Taliwang, Barturotok/Batulante, Ropangsuri, Selesek, Lebah, Dado, Jeluar, Tanganam, Geranta dan Jeruek. Sebelum mencapai keragaman dialek seperti ini, awalnya Bahasa Sumbawa terdiri dari dua bahasa yaitu pradialek Taliwang-Jereweh-Tongo dan dialek Sumbawa besar (Cikal Bakal Bahasa Suren). 

Namun pada perkembangannya, pradialek Taliwang-Jereweh-Tongo, terpecah menjadi tiga dialek yang berdiri sendiri. Berdasarkan penyebaran penggunaannya dialek Sumbawa dan Baturotok dan dialek lainnya digunakan diwilayah Pegunungan Ropang. Sedangkan dialek Taliwang, Tongo dan Jaraweh digunakan oleh penduduk di sebelah selatan Lunyuk. Adapun bahasa persatuan antaretnik adalah Bahasa Sumbawa Besar.

Bahasa Bima digunakan oleh penduduk yang mendiami wilayah Bima, Dompu dan juga Sangiang. Bahasa Bima hanya memiliki dua tingkatan yaitu halus dan kasar. Adapun macam ragam dialeknya ada tiga yaitu dialek Bima, Donggo dan Sangiang.

Kemudian, penggunaan Bahasa Bali di NTB tidak terlepas dari peran histori dan geografi. Secara histori Raja Bali XVII pernah menguasai Lombok Barat, sedangkan secara geografis Provinsi NTB berdekatan dengan Bali. (*)

Sumber: Wikipedia

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements

BERITA ALTERNATIF

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA