Oleh: Yusran Darmawan*
Di akhir pekan, saya membaca buku terjemahan The Psychology of Money yang ditulis Morgan Housel. Tema buku ini tidak biasa, sebab membahas banyak sisi tentang uang. Biasanya, kita sungkan saat membahas uang, padahal kita sangat-sangat butuh.
Di jaman now, uang seakan menjadi agama baru. Sebab dia dikejar dengan segala daya, dicari dengan sekuat tenaga, serta dikejar mati-matian. Suka atau tidak suka, kebanyakan manusia modern menjalani hidup semata-mata untuk mengejar uang, demi status sosial serta angan-angan hidup yang lebih baik.
Namun, buku ini tidak berisi kiat, motivasi, dan strategi mendapatkan uang secepat-cepatnya. Isinya lebih ke arah pemahaman psikologi mengenai uang. Kita diajak mengenali siapa-siapa orang terkaya di dunia, serta apa yang mereka lakukan untuk mencapai tahapan itu.
Sejauh ini, saya baru membaca separuh. Isinya cukup memikat. Saya menyukai uraian di bab 5 berjudul Menjadi Kaya versus Tetap Kaya. Selama ini, kita hanya fokus pada bagaimana mendapatkan uang sebanyak-banyaknya. Padahal, kata penulisnya, mendapat uang dan mempertahankan uang adalah dua hal berbeda.
Untuk mendapat uang, kita butuh keberanian untuk mengambil risiko, sikap optimis dan rasa percaya diri yang tinggi. Dalam banyak kelas bisnis, tema bagaimana mendapat uang selalu menjadi bagian penting.
Sedangkan untuk mempertahankan uang, kita membutuhkan sikap berbeda. Kita butuh kerendah-hatian dan rasa takut kehilangan apa yang sudah didapat. Kita butuh sikap hemat dan kesadaran bahwa apa yang didapat hari ini adalah keberuntungan semata, sehingga keberhasilan masa lalu tidak bisa diharapkan untuk berulang.
Michael Moritz, miliader pemimpin Sequoia Capital, pernah ditanya mengapa perusahaannya bertahan selama empat dasawarsa. Jawabannya adalah dia dan seluruh staf perusahaannya selalu takut gulung tikar. Dia berasumsi kalau rezeki hari itu karena keberuntungan, dan besok belum tentu seberuntung itu. Makanya, dia menumpuk dan menahan uang itu.
Kuncinya adalah bagaimana bertahan. Bukan soal otak dan kepintaran, tapi kemampuan bertahan untuk waktu lama, kemampuan untuk menjaga dan mengelola uang dengan baik.
Banyak orang salah menilai Waren Buffet, salah satu manusia terkaya di dunia. Orang-orang hanya melihat kekayaannya, tanpa melihat bagaimana pria itu menahan uangnya dan berinvestasi selama bertahun-tahun. Dia berinvestasi sejak umur 10 tahun hingga 89 tahun.
Kisah tentang Warren Buffet dan sahabatnya Charlie Munger sering dibahas sebagai para investor legendaris. Rupanya ada satu sosok yang selalu bersama mereka, yakni Rick Guerin. Ketiganya memulai karier bersama, dan menggapai kesuksesan awal bersama. Namun, nama Rick perlahan menghilang. Dia hanya bertahan beberapa tahun, kemudian bangkrut.
Kata Warren Bufett, “Saya dan Charlie selalu tahu bahwa kami bakal jadi luar biasa kaya. Kami tak buru-buru ingin kaya. Kami tahu itu akan terjadi. Rick sama pintarnya dengan kami, tapi dia buru-buru.”
Mereka bertiga tahu bagaimana kiat menjadi kaya. Tapi Rick tidak sabaran. Dia menjual sahamnya demi cuan yang lebih besar. Hingga di satu titik, dia bangkrut.
Sementara Warren Buffett tetap menahan sahamnya selama bertahun-tahun, melalui berbagai krisis dan perang dalam perekenomian Amerika. Kini, aset yang tadinya berupa tunas, sudah menjadi pohon rindang dan membuatnya kaya-raya.
Saya rasa pelajaran penting di sini adalah bagaimana bisa menjaga uang. Pantas saja banyak orang super kaya, yang gaya hidupnya biasa saja. Mereka bisa menaklukan kebutuhannya, dan hanya fokus pada apa yang penting.
Saya ingat masyarakat Gu di Buton Tengah. Mereka kebanyakan pedagang yang menguasai pasar-pasar di Sulawesi Tenggara. Mereka sangat religius dan selalu menutup toko saat jam salat tiba, lalu berhamburan ke masjid.
Religiusitas itu menjadi kekuatan bagi mereka untuk menaklukkan uang. Mereka tidak terjebak dengan gaya hidup yang menghamburkan uang. Religiusitas dan ketaatan itu menjadi tiket bagi mereka untuk dipercaya para pedagang dan pemodal besar. Dengan cara itu jaringan sosial terbangun, modal bergerak, hingga mereka sukses dan kaya-raya.
Mungkin ini pula kelemahan saya ketika memegang uang. Saya membayangkan betapa tidak mudahnya menahan uang saat kita mampu untuk membeli segala hal.
Jika saya dalam posisi itu, barangkali saya akan lebih banyak di hotel mewah, mencicipi wine mahal, lalu setiap malam lihat tari telanjang. Mungkin pula saya akan lebih banyak foya-foya, pamer-pamer kekayaan, lalu tidur nyenyak di tengah pelukan manja.
Jika kekayaan belum habis juga, saya akan maju sebagai calon kepala daerah. Cukup sewa konsultan untuk membuat pencitraan kalau saya seorang religius yang suka hambur-hambur uang, lalu sering menyumbang sana-sini.
Untunglah saya belum kaya. Waktu saya lebih banyak habis untuk mengurus kucing. Bagaimana dengan Anda? (*Penulis dan Blogger Indonesia)