Oleh: Supardi*
Pertambangan merupakan kegiatan pengelolaan sumber daya alam yang tidak dapat diperbaharui sehingga dalam pengelolaan harus dipastikan adanya perencanaan yang matang setelah kegiatan tambang tersebut selesai.
Dalam proses penambangan terdapat kewajiban pengusaha tambang batu bara untuk memberikan dana jaminan reklamasi (jamrek) setelah kegiatan pengelolaan tambang selesai dalam pengambilan batu bara bara.
Perusaaah berkewajiban untuk melakukan kegiatan reklamasi dan pasca tambang. Lahan bekas tambang yang sudah habis ditambang tersebut dikembalikan lagi seperti semula (penimbunan kembali/back filling). Lahan tersebut diolah kembali sehingga dapat digunakan kembali oleh masyarakat, terutama masyakat sekitar tambang yang terdampak kegiatan penambangan.
Kegiatan penutupan tambang memiliki tujuan untuk memperbaiki atau menata kembali lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan pertambangan yang telah selesai. Hal ini untuk memenuhi kriteria sesuai dengan dokumen rencana penutupan tambang. Karena itu, reklamasi merupakan kewajiban perusahaan tambang.
Pemerintah memiliki kewajiban untuk melakukan pengawasan kegiatan pasca tambang, terutama reklamasi. Pemerintah harus memastikan proses reklamasi sesuai dokumen yang disusun atau tidak, terutama resiko atau bahaya yang harus diantisipasi atas keberadaan lubang bekas tambang yang berdekatan dengan pemukiman penduduk.
Penutupan bekas tambang batu bara telah diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020 yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023 yang menetapkan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja menjadi Undang-Undang yang dijelaskan dalam Pasal 161 B ayat (1) UU Minerba. Aturan tersebut mewajibkan seluruh perusahaan tambang untuk melakukan reklamasi.
Reklamasi adalah kegiatan yang dilakukan perusahaan untuk memperbaiki dan memulihkan kualitas lingkungan dan ekosistem pasca tambang sehingga reklamasi pertambangan merupakan kewajiban perusahaan pasca melakukan aktivitas pertambangan.
Berdasarkan undang-undang tersebut, perusahaan terutama pemegang izin konsesi pertambangan yang tidak melakukan reklamasi dapat diberikan sanksi berupa pidana penjara 5 tahun serta denda Rp 100 miliar.
Selain undang-undang tersebut, ada peraturan-peraturan terkait kewajiban reklamasi pasca tambang, di antaranya Peraturan Menteri ESDM Nomor 07 Tahun 2014, Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 26 Tahun 2018 tentang Pelaksanaan Kaidah Pertambangan yang Baik dan Pengawasan Pertambangan Mineral dan Batubara.
Selaku pemegang konsesi, sebelum melakukan kegiatan pertambangan, perusahaan telah menyerahkan dana jaminan yang dapat digunakan untuk perbaikan lingkungan di kawasan pertambangan.
Jika perusahaan pemegang konsesi tidak mampu atau gagal melakukan perbaikan lingkungan maka lubang bekas tambang yang tidak ditutup dapat menyebabkan berbagai masalah, antara lain dapat mengakibatkan banjir, bahaya bagi kesehatan, kecelakan, korban tenggelam. Hal ini tentu saja berbahaya bagi anak-anak yang bermukim di dekat lubang bekas tambang.
Lubang bekas tambang di Kalimantan Timur, khsususnya di Kutai Kartanegara, telah mencapai 274 lubang. Data ini berasal dari Dinas ESDM Kalimantan Timur. Korban yang tenggelam akibat lubang bekas tambang baru-baru ini terjadi di Desa Bangun Rejo, Kecamatan Tenggarong Seberang.
Berdasarkan informasi dari masyarakat, lubang bekas tambang tersebut merupakan konsesi PT Kitadin. Jika benar masuk konsesi PT Kitadin, maka langsung maupun tidak langsung, perusahaan tersebut bertanggung jawab atas korban yang meninggal di lokasi konsesinya karena masih menjadi tanggung jawab perusahaan walaupun kegiatan pertambangannya telah selesai. Dalam kasus ini, pemerintah berkewajiban melihat dokumen pasca tambang perusahaan tersebut.
Jika tidak sesuai dokumen pengelolaan lingkungan pasca tambang, maka PT Kitadin harus diberikan sanksi tegas sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2020. Penanggung jawab perusahaan tersebut harus menerima sanksi berupa pidana penjara selama 5 tahun dan denda Rp 100 miliar.
Penanggung jawab perusahaan merupakan pemilik atau direktur utama karena ia selaku pihak yang bertanggung jawab dan pihak yang memperoleh keuntungan dari kegiatan tambang yang telah dilakukan di wilayah tersebut.
Karena itu, kami mendesak aparat penegak hukum, baik pihak kepolisian maupun PPNS/Inspektur Tambang melakukan investigasi secara mendalam. Jika perlu, bentuk tim yang melibatkan berbagai pihak untuk memperjelas agar kasus ini terang-benderang sehingga dapat diketahui tingkat kelalaian yang dilakukan PT Kitadin dalam pengelolaan lingkungan yang mengakibatkan korban jiwa di lubang bekas tambang yang menjadi konsesinya.
Namun, jika lubang bekas tambang itu terindikasi bekas galian penambang ilegal maka pihak yang paling bertanggung jawab adalah kepala desa selaku pihak yang bertanggung jawab di wilayahnya.
Pada dasarnya, pengusutan kasus ini tergolong sangat mudah. Syaratnya, harus ada kemauan untuk menegakkan hukum agar tidak ada lagi korban-korban yang berjatuhan akibat lubang bekas tambang. Keseriusan pihak kepolisian dalam mengusut kasus ini secara tuntas sangat diharapkan publik.
Saat ini, peralatan sudah sangat canggih dan modern sehingga sangat mudah sekali bagi kepolisian mencari pihak yang paling bertanggung jawab sepanjang ada niat yang serius untuk mengurai permasalahan lubang bekas tambang.
Hal ini penting karena menyangkut jiwa manusia. Harapannya tidak ada lagi alasan untuk tak mengurai secara tuntas agar muncul kepastian hukum bagi pihak yang paling bertanggung jawab dalam kasus tersebut.
Sekali lagi kami tekankan jika itu masuk wilayah konsesi PT Kitadin maka perusahaan tersebut merupakan pihak yang paling bertanggung jawab meskipun lahan tersebut ditambang oleh penambang ilegal.
Jika galian disebabkan penambang ilegal maka kepala desa selaku pihak yang memiliki wilayah wajib bertanggung secara hukum. Bila ia tidak mengetahui kegiatan tambang tersebut, berarti kepala desa melakukan kelalaian dalam mengawasi lingkungan di wilayahnya. Sebab, korban yang tenggelam di lubang bekas tambang disebabkan pengelolaan lingkungan pasca tambang yang sangat buruk. (*Advokat/Pemerhati Lingkungan)