BERITAALTERNATIF.COM – Dalam podcast Etam Bekesah yang dipandu oleh CEO Beritaalternatif.com, Ahmad Fauzi, jurnalis Kukar Andriansyah berbicara tentang perguruan tinggi di Kukar.
Dalam podcast yang disiarkan di kanal Youtube ATV TALKS itu, Andriansyah membicarakan dua hal: pertama, fenomena pelajar Kukar yang memilih kuliah di luar daerah; kedua, wacana pembentukan perguruan tinggi negeri di Kukar.
Apakah benar para pelajar dari Kukar lebih memilih melanjutkan pendidikan di luar daerah?
Bisa jadi iya. Anak-anak dari kecamatan lain itu lebih memilih kuliah di tempat lain. Ini kita lihat dari letak geografis. Teman-teman saya yang di Tenggarong Seberang ada yang di Samarinda dan Tenggarong. Kalau Sanga-Sanga untuk kuliah di Tenggarong, dia harus melewati Samarinda. Padahal, di Samarinda sudah banyak kampus. Istilahnya gini, “Daripada saya kuliah di Tenggarong, lebih baik saya kuliah di Samarinda”.
Orang Kukar yang di Anggana, kalau mau kuliah di Tenggarong, dia juga melewati Samarinda. Di Samarinda sudah banyak kampus dan universitas. Dia juga akan mengatakan, “Daripada saya jauh-jauh kuliah di Tenggarong, lebih baik saya kuliah di Samarinda”.
Muara Badak dan Marangkayu itu bagian dari Kukar. Kalau orang-orangnya ingin kuliah di Tenggarong, itu kejauhan. Dan dia kalau mau ke Tenggarong, dia harus melewati Samarinda. Di Samarinda sudah banyak kampus. Lebih baik dia kuliah di Samarinda.
Di Samboja, ketika mau kuliah di Unikarta, itu kejauhan. Mau ke Samarinda juga jauh. Makanya sebagian ada yang kuliah di Balikpapan dan sebagian kuliah di Samarinda.
Dengan kondisi geografis seperti itu, orang enggak bisa disalahkan ketika dia kuliah di Samarinda dan Balikpapan.
Kalau orang kuliah di Unikarta, lebih dominan orang dari Tenggarong. Berdasarkan apa? Kan itu data mahasiswa. Kayaknya hampir 80% orang yang kuliah di Unikarta itu dari Tenggarong.
Saya sering melontarkan ide bahwa kita ini tidak pernah melakukan survei sederhana soal itu. Misalnya, kenapa kok orang Tenggarong kuliah di Samarinda? Kenapa orang Tenggarong Seberang kuliah di Samarinda?
Kalau ada yang bilang orang Tenggarong ada yang kuliah di Samarinda, kita enggak pernah meriset itu. Tidak pernah menyurvei terkait itu. Yang ada baru ajakan seperti, “Ayo kuliah di sini”.
Kita perlu riset dulu. Riset sederhana. Saya punya tim untuk menyurvei itu. Kalau mau dipakai, bisa. Supaya kita bisa mengetahui data dan faktanya.
Apakah pemerintah bisa mendorong orang-orang Kukar untuk kuliah di Tenggarong?
Enggak bisa begitu. Hak orang. Misalnya Anda pengen banget anak Anda kuliah di Samarinda, baru Bupati bilang, “Kuliahkan anak Anda di Tenggarong”. Kalau pakai zonasi, itu juga enggak bisa. Enggak ada begitu.
Apakah perlu dibangun perguruan tinggi negeri supaya orang-orang Kukar mau kuliah di Tenggarong?
Kalau isu perguruan tinggi negeri di Tenggarong, itu sebetulnya isu lama. Mantan Bupati Kukar almarhum Syaukani HR pengen banget ada perguruan tinggi negeri di Tenggarong. Makanya di Tenggarong Seberang itu dibangun gedung yang megah. Pak Syaukani mempersiapkan bahwa Kukar itu punya perguruan tinggi negeri. Makanya dia bangun di Tenggarong Seberang. Itu megah, luasnya beberapa hektare, dan lain-lain. Jadi, secara pribadi beliau pengen ada perguruan tinggi negeri di Tenggarong atau di Kukar.
Cuman kan percuma juga Pak Syaukani punya ide Kukar itu harus punya perguruan tinggi negeri, tapi tidak didukung oleh orang-orang di bawahnya.
Isu Unikarta jadi perguruan tinggi negeri juga sudah dibuka di ruang publik. Pengamatan saya di publik, ternyata masyarakat Kukar itu berharap betul ada perguruan tinggi negeri di Kukar. Kalau memang enggak percaya, silakan saja diuji kembali pendapat saya. Tapi saya berkesimpulan, kayaknya banyak yang mendukung ide bahwa harus ada perguruan tinggi negeri di Tenggarong atau Kukar. Kayaknya keinginan masyarakat itu sudah tak terbendung.
Apakah perguruan tinggi negeri itu harus orang luar yang kelola?
Nanti kan akan ada ditunjuk siapa pengelola dan eksekutornya. Kalau ada keinginan bersama, berarti berjuangnya bersama. Pemerintah daerah kan hanya membantu dan memfasilitasi. Yang eksekusinya itu si perguruan swasta yang ingin mengubahnya jadi perguruan tinggi negeri.
Bisa saja pemerintah membangun perguruan tinggi negeri sendiri tanpa harus mengubah perguruan tinggi swasta yang ada. Tapi kan perjuangannya panjang.
Ide pembentukan perguruan tinggi negeri itu saja sudah 18 tahun yang lalu. Kalau pemerintah disuruh dari nol lagi, bagaimana perguruan tinggi negeri bisa hadir? Karena ujung-ujungnya kan pemerintah akan menggandeng swasta atau orang-orang profesional untuk menjadi eksekutornya.
Cuman begini. Kenapa kok masyarakat itu senang kuliah di perguruan tinggi negeri? Seolah-olah kalau orang tua kuliahkan anaknya di perguruan tinggi negeri, bangganya minta ampun. Persepsi publik yang terbangun itu, perguruan tinggi negeri punya budaya akademis yang bagus; terus konstelasi sosialnya cukup tinggi; kompetisinya cukup tinggi; biayanya lebih murah; dalam hal menjalankan operasional dan fungsi-fungsi sebagai kampus profesional itu di-support oleh pemerintah.
Jadi, memang sangat wajar publik itu berharap anaknya kuliah di perguruan tinggi negeri. Dulu-dulu saya pernah lihat data penelitian di OPD Kukar. Mereka pilihnya kuliah UI, UGM, atau IPB. Tidak terlepas dari perguruan tinggi negeri.
Kalau ada perguruan tinggi swasta yang setara dengan perguruan tinggi negeri, bisa jadi dipilih masyarakat. Kenapa dipilih? Misalnya dia punya budaya akademis yang sama dengan perguruan tinggi negeri atau punya konstelasi yang sama. Bisa jadi dia juga akan punya kebanggaan yang sama seperti orang yang kuliah di perguruan tinggi negeri.
Apa tantangan membangun perguruan tinggi negeri di Kukar?
Tantangannya di pengambil kebijakan tertinggi, orang yang punya power atau kewenangan, dan tokoh-tokoh pendidikan di Kukar. Apakah mereka mau atau enggak mewujudkan ide itu? Kalau ada visi yang sama, saya yakin beberapa tahun sudah terwujud. Paling dua tahun atau tiga tahun.
Problemnya di stakeholder. Kalau publik pengen ada kampus negeri, tapi yang punya kewenangan enggak pengen, percuma juga.
Kalau syarat-syaratnya sudah terpenuhi, enggak mungkin DIKTI enggak setuju. Tinggal lobi saja. Yang penting syaratnya lengkap.
Dari segi SDM akademisi, saya kira cukup. Pasti sudah ada perhitungan. Misalnya, jumlah mahasiswa segini, nanti untuk SDM pengelolanya segini. Sudah ada hitung-hitungannya itu. Dia juga bisa seleksi terbuka pengelola dosen dan lain-lain. Bisa juga ada yang diperbantukan. Yang penting terwujud dulu perguruan tinggi negerinya.
Kalau memang kelompok-kelompok kepentingannya tidak mau ada perguruan tinggi negeri di sini, minimal perguruan tinggi swasta itu di-upgrade. Ya minimal sama dengan perguruan tinggi negeri. (*)