Oleh: Lukman A Salendra*
Nun di Papua Barat, di Distrik Pulau Roon, tepatnya di kampung Yende, Kabupaten Teluk Wondama, sebuah kampung tepi pantai, pada suatu waktu di tahun 2019 (kabarnya Festival Roon bakal kembali digelar 7-9 September 2023 ini), sebelum pandemi Covid mengharu-biru kemudian berlalu, pada malam “Festival Pulau Roon” terjadilah semacam diskusi panel yang melibatkan seluruh warga kampung di distrik tersebut. Para pembicara di antaranya Kepala Dinas Pariwisata, pejabat Pemda, pemuka agama, polisi air, kepala suku, WWF dan pemangku kepentingan lainnya. Topik yang menjadi sorotan adalah MoU/Pelarangan Menggunakan Kompresor Bagi Nelayan. Mengapa penggunaan kompresor dilarang, selain menyangkut kesehatan nelayan itu sendiri juga berdampak pada kerusakan ekosistem bawah laut, dan juga demi mengantisipasi kemungkinan-kemungkinan ancaman ketidakadilan lainnya yang merusak masa depan.
Bagi saya, kehidupan terumbu karang, ikan warna-warni dan biota bawah laut lainnya merupakan puisi kehidupan yang tiada tara indahnya, yang perlu dirawat dan dilestarikan. Sementara kompresor sebagai alat yang dapat merusak puisi kehidupan, melumpuhkan. Nyata, bagi saya itu sebuah ancaman berdampak sangat bahaya bagi kesehatan semesta raya. Kesimpulan saya, pentingnya menjaga medan etik atau etika, tata laku kesantunan demi memuliakan laut berikut hayatinya.
Itu, sebagai pengantar saya untuk masuk ke bahasan: puisi sebagai ‘medan etik” yang terancam.
Sebelum lebih jauh lagi berdiskusi tentang puisi, saya ingin mengawali dengan membaca puisi berikut ini, karya Hasan Aspahani, sastrawan kelahiran Kutai Kartanegara, Kalimantan Timur, yang kini mendapat amanah sebagai Ketua Komite Sastra Dewan Kesenian Jakarta.
YA, jelaskanlah lagi kepadaku
tentang apa-apa yang keliru:
aku ingin sebentar saja bersenang
tapi kau katakan itu adalah salah,
dan kenapa untuk bisa berbahagia
aku harus lebih dahulu menimpa dan
menyiksa diriku dengan derita?
Sampaikanlah kepadaku tentang
apa yang engkau temukan sebagai
kebenaran itu. Apa yang benar-benar
membuat manusia, aku dan kamu bisa
berbahagia? Dan apakah bahagia itu?
Beritahu aku tentang bagaimana
aku harus tertawa agar kau tak lagi
perlu mencela dan tawaku itu juga
tak kau anggap sebagai suara hina.
Aku ingin bisa sejenak bersenang,
sekadar bersenang, agar tetap menjadi
manusia, aku ingin tertawa, sekadar
tertawa, agar tetap menjadi manusia.
Beri tahu aku apakah senang dan tawa
itu adalah dosa? Dan apakah dosa itu?
Atau tawaku itu harus kuanggap sebagai
suara sakit dari dalam jiwaku? Sakit
dari kerja dan lelah? Beri tahu aku,
jelaskan padaku. Aku ingin tertawa dan
kini aku merasa rasa sakit itu
mengepung tawaku. Menawarkan rasa senang
yang tak kukenal itu. Apakah rasa sakit
itu? Apakah rasa salah itu?
Aku kini berlari jauh dari diriku,
pada lintasan yang menguji tubuhku,
garis batas yang beranjak jauh
meninggalkan aku. Tak ada tepuk
tangan, tak medali, tak ada
ucapan selamat menanti aku.
Atau aku harus duduk di kedai minum itu?
Dengan atau tanpa dirimu. Sepanjang waktu?
Menikmati tawa yang sama, menertawakan
rasa sakit yang pernah kucintai itu.
(Sumber: https://www.bacapetra.co/puisi-puisi-hasan-aspahani-lorem-ipsum/)
Di zaman now, puisi tercipta seiring perkembangan media sosial seperti Facebook, Twitter, Youtube, dan banyak lagi. Bahasa pun tumpah ruah di situ, aktivitas bersilat lidah para “hayawan natiq”, berselfie terdedah dan mengejawantah dalam langgam “like, share, dan subscribe“. Bahkan ada aktivitas berbahasa tampil dengan penuh ketegangan, ujaran kebencian, muntahan dendam yang kian memenuhi jagat media sosial (new media).
Dalam situasi itu pula puisi ternyata bisa hidup, mengandung etos, meskipun mungkin tidak menggebu-gebu. Miskin sokongan pemangku kepentingan, atau bahkan diabaikan sang kuasa. Tapi puisi tidak jumawa, membuka ruang simpati kepada siapa pun yang suka.
Dalam konteks itu pula, puisi mendapatkan medan etiknya, secara ekstra estetik memiliki daya kesantunan untuk menjernihkan bahasa yang nyaris sampah belaka, melakukan laku intensifikasi atau pemekatan terhadap sosial kehidupan (meminjam terminologi Saini KM), kalau tidak dibilang menarik diri dari aktivitas berbahasa yang memusingkan seperti bersilat lidahnya para elite politik, direkam sebagai jurnalisme omongan.
Dalam catatan, perkembangan puisi sejatinya telah menorehkan sebuah lirik etik yang menyuarakan kehendak zaman dan keadaban, dari spirit agraris ke cita-cita metropolis. Dan, dalam perjalanannya sampai tiba-lah di hari ini, di zaman now ini, ketika media sosial tumbuh dalam spektrum budaya pop, budaya massa.
Aktivitas menulis puisi atau “like, share, subscribe” untuk memviralkan puisi, saya kira menjadi penting, meskipun sunyi dan ter-segmen-kan. Penting dalam perjuangan menunaikan tugas etik sebagai si aku lirik yang butuh masuk ke alam renung-fikir, mengambil jarak, menegaskan sejatinya khusuk memaknai kemanusian diri dan transindividualnya di tengah kebuntuan (impasse) persoalan sosial.
Sosial Media, Media Sosialnya Puisi Hari Ini
Hari ini situasinya sangat berbeda, di mana kalau kita tengok tahun-tahun ke belakang, ketika internet masih samar-samar, kehadiran puisi ditopang oleh media cetak semacam koran, selain penerbitan buku, acara-acara temu sastra tak luput menyita perhatian. Hari ini namanya juga zaman now, justru media sosial-lah yang paling banyak berperan mempublikasikan puisi, lantaran kemudahannya dengan tanpa bersusah payah melalui seleksi secara ketat. Memang masih ada media online yang tetap bekerja secara ketat (karena ada honornya?), koran cetak yang masih setia, dll. Kini, orang pun bahkan mungkin robot bebas menyiarkan puisinya melalui blog-blog pribadi, Youtube dan lain sebagainya, meskipun kualitas estetiknya perlu diuji.
Ini bisa jadi menjadi sebuah ancaman sekaligus tantangan di tengah impotensi kritik sastra (puisi) di mimbar-mimbar akademik. Diduga lembaga macam perguruan tinggi sastra atau bahkan pusat bahasa dalam kondisi gawat kinerjanya.
Di tengah situasi akademik yang gawat, ketika puisi sibuk sunyi atau bahkan dibiarkan liar dalam pusaran media sosial hari ini, justru puisi mendapatkan kedudukannya secara fungsional, perlu dicatat secara terhormat atau digotong ke desa-desa lantas dipanggungkan dunia. Bahasa puisi menjadi bagian integral aku lirik sang pemilik batin insani yang membutuhkan dulce et utile, semacam kepuasaan yang tepermanai.
Ancaman lain, selain pengaruh bahasa media sosial dan sihir gawai, serta peran kecerdasan buatan (artificial intelligence), adalah justru saya paling khawatir para penulis puisi mengalami “dekompresi’ akibat kecanduan menggunakan “kompresor” manakala menangkap ikan-ikan estetik yang penuh kedamaian di kedalaman lautan makna. Semacam kompresor-kompresor bahasa yang mengandung ujaran kebencian dan intoleransi, dengan diperparah niat dengki demi membumikan khilafah sakit hati. (*Penulis adalah Pemimpin Redaksi Berita Alternatif. Namanya tercatat dalam buku Ensiklopedi Sastra Indonesia, Penerbit: Titian Ilmu, 2007).
Catatan: Tulisan ini sebagai pengantar media online Berita Alternatif ini siap menampung karya-karya berupa puisi dan juga cerpen, tentu setelah melalui seleksi oleh tim redaksi.