Search
Search
Close this search box.

Putusan MK Nomor 129 Tahun 2024 Disebut Batalkan Pencalonan Edi, Supardi Nilai sebagai Penafsiran yang Keliru

Edi Damansyah dan Rendi Solihin. (Radar Tarakan)
Listen to this article

BERITAALTERNATIF.COM- Pencalonan Edi Damansyah di Pilkada Kukar tahun 2024 masih menuai sorotan dari pengamat dan praktisi hukum dari sejumlah universitas di Provinsi Kalimantan Timur.

Dosen sekaligus praktisi hukum dari Universitas Kutai Kartanegara La Ode Ali Imran mendesak Komisi Pemilihan Umum (KPU) Kabupaten Kukar mencoret Edi Damansyah dan Rendi Solihin dari daftar paslon di Pilkada Kukar tahun 2024.

La Ode menyebut amar putusan MK Nomor 129 Tahun 2024 yang mengatur penghitungan masa jabatan kepala daerah memberikan dasar yang kuat dan terang benderang.

Advertisements

Keputusan penyelenggara pemilu untuk meloloskan Edi sebagai calon bupati dinilainya telah keliru sekaligus bertentangan dengan norma hukum dan tata aturan yang berlaku.

Putusan MK 129 tahun 2024 disebutnya semakin mempertegas bahwa Edi tidak lagi memenuhi kualifikasi sebagai calon bupati. Meski pencalonannya tetap legal karena disahkan oleh KPU, pencalonannya sebagai calon kepala daerah disebutnya cacat secara hukum.

Berdasarkan tafsir MK, dia menjelaskan, frasa “pelantikan” yang tertuang dalam Pasal 162 ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 secara khusus hanya diberlakukan kepada pejabat definitif yang baru terpilih sebagai kepala daerah serta tidak dikaitkan dengan awal penghitungan masa jabatan pejabat pengganti, baik pelaksana tugas maupun penjabat sementara lainnya.

“Mahkamah bilang, pasal itu (162) mengatur pejabat atau orang yang baru menang pilkada. Dihitung dia menjabat itu startnya dari dilantik,” ucapnya kepada awak media Berita Alternatif pada Rabu (20/11/2024).

“Beda soal dengan orang yang menggantikan secara sementara. Beda soal dengan pejabat sementara atau plt. Beda soal dengan plh dan lain-lain yang poinnya jabatan sementara, bukan definitif,” tegasnya.

Sebagai konsekuensinya, Edi tetap terhitung 2 periode memimpin Kukar meski baru satu kali dilantik sebagai bupati definitif. Sebab, kata dia, pejabat sementara memiliki mekanisme tersendiri dalam penghitungan masa jabatan, yakni melalui penetapan.

Ia menyebut MK telah menegaskan syarat pencalonan. Frase jabatan “dua periode” perlu dikembalikan pada Pasal 7 ayat 2 huruf n yang tertera dalam putusan MK.

“Untuk jabatan sementara itu dihitung sejak menjalankan tugas dan/atau kewenangan. Sudah tegas MK bicara ini, dan bukan dihitung pada saat dilantik, sehingga tidak ada kaitannya dengan soal pelantikan,” terangnya.

Dengan demikian, kata La Ode, jika merujuk pada penafsiran MK, Edi telah menjabat sebagai bupati Kukar selama 2 periode berturut-turut.

Pada periode pertama Edi disebutnya telah menjabat sebagai pejabat sementara bupati lebih dari setengah masa jabatan.

KPU dinilainya tak menggunakan penafsiran yang tepat dalam menghitung masa jabatan Edi, yang menjadi syarat utama dalam menghukumi kriteria penentuan pemenuhan syarat pencalonan.

Dia menegaskan bahwa terdapat 4 putusan MK sebelumnya yang menguatkan hal serupa, termasuk putusan MK Nomor 02 Tahun 2023 yang sejak dulu telah memberi larangan yang lebih spesifik bagi Edi untuk kembali mencalonkan diri sebagai calon bupati. Kedudukan putusan MK ini disebutnya berada di level yang sama dengan undang-undang.

“Bagi kita orang hukum, barang itu sudah klir. Sudah tidak ada debat. Orang awam sekalipun kalau baca pertimbangan hukumnya, itu pasti paham,” jelasnya.

“Hanya saja saya aneh lagi, ada muncul beberapa berita dari media lain, putusan 129 kok malah menegaskan mulusnya Edi sebagai calon. Mereka ini baca putusan enggak sih?” tanyanya.

Dia menyebut KPU masih memiliki waktu untuk melakukan koreksi dengan cara mencabut SK penetapan paslon Edi-Rendi. Hal ini sebagai bentuk pertanggungjawaban penyelenggara atas kekeliruannya dalam menjalankan mekanisme penetapan paslon di Pilkada Kukar.

Apabila usulan ini diaminkan oleh penyelenggara pemilu, sambung dia, Pilkada Kukar 2024 bisa tetap berjalan tanpa perlu diikuti Edi sebagai calon bupati.

“Cuman 2 caranya. Yang pertama, dibatalkan oleh pengadilan. Yang kedua, dibatalkan atau dicabut oleh instansi yang menerbitkan. Itu kewenangan dia (KPU),” ujarnya.

Berlaku Umum

La Ode Ali Imran. (Berita Alternatif/Ulwan Murtadho)

Pada dasarnya, La Ode mengungkapkan, MK berwenang memeriksa dan mengadili norma hukum. Karena itu, putusan tersebut mengikat seluruh wilayah yuridiksi Indonesia.

Dia menyebut asas erga ormes yang terkandung dalam amar putusan MK mengharuskan putusan itu ditaati oleh seluruh kepala daerah yang ingin mencalonkan diri, termasuk Edi.

“Bukan cuman berlaku untuk Bengkulu. Bukan cuman berlaku untuk pemohon, tapi seluruh Indonesia, termasuk Kutai Kartanegara,” jelasnya.

Setelah gugatan pemohon ditinjau, ia menerangkan, MK dengan tegas menolak permohonan praktisi hukum Agustam Rahman yang bermuara pada penerbitan putusan MK Nomor 129 Tahun 2024.

Agustam meminta MK melakukan pengujian kembali frasa “pelantikan” dalam Pasal 162 ayat 2 Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016.

Setelah dicermati antara pertimbangan hukum dan obyek perkara pada isi putusan terhadap persoalan itu, La Ode menjelaskan, MK telah menafsir dan memberikan pendapat hukumnya. Pasal itu diperuntukkan secara khusus bagi seseorang yang baru terpilih serta menang di pilkada. Bukan pejabat yang berstatus sementara.

“Sementara dalam pokok permohonan, si pemohon itu mendalilkan bahwa itu digunakan sebagai syarat pencalonan diri. Mahkamah bilang enggak relevan. Makanya (permohonan) ditolak,” ujarnya.

Dengan demikian, penyelenggara pemilu disebutnya telah keliru dalam menafsirkan ketentuan dalam undang-undang tersebut.

Dia menyangkal pandangan sejumlah pihak yang menyebut amar putusan MK Nomor 129 secara otomatis dapat membatalkan status Edi sebagai calon bupati. Pasalnya, pencalonan ditetapkan berdasarkan surat keputusan yang dituangkan secara administratif oleh penyelenggara pemilu.

“Kalau dalam konsep hukum tata negara, itu enggak bisa serta-merta dianggap tidak pernah ada, meskipun dalam proses penerbitannya memiliki kecacatan,” jelasnya.

Ia menjelaskan bahwa keputusan KPU tentang penetapan calon masih tetap berlaku selama belum dicabut dan dibatalkan oleh pengadilan.

La Ode berharap amar putusan MK menjadi rujukan dan pegangan yang obyektif dari penyelenggara pemilu dalam menentukan nasib Edi sebagai calon bupati di Pilkada Kukar.

Dia juga berharap terdapat itikad baik dari penyelenggara pemilu untuk mencabut kembali SK pencalonan Edi tanpa harus menunggu putusan pengadilan.

Sebagai ujung tombak penyelenggara pemilu, KPU didorongnya untuk bergerak cepat serta bersikap adil dalam merespons putusan tersebut.

“Anggaplah putusan MK 02, mereka (KPU) masih bimbang, tapi kan sekarang ada putusan 129 yang terang benderang,” tegasnya.

Ia meyakini penerbitan 4 putusan MK sebelumnya yang menyoal masa jabatan akan membahayakan posisi Edi sebagai kepala daerah bila terpilih saat kasus ini diputuskan oleh lawannya untuk dibawa ke meja MK.

Putusan MK Perkuat Pencalonan Edi

Anggota tim hukum paslon Edi-Rendi, Supardi menanggapi pernyataan La Ode terkait putusan MK Nomor 129 Tahun 2024.

Dia menyangkal putusan tersebut dapat membahayakan posisi Edi sebagai calon bupati Kukar. Amar putusan itu justru semakin menegaskan dan mengokohkan pencalonan politisi PDI Perjuangan tersebut.

“Sudah jelas tidak ada masalah untuk pencalonannya,” ucap dia kepada awak media Berita Alternatif pada Minggu (24/11/2024).

Sebagain besar pendapat para pengamat yang sering beredar di berbagai media massa terhadap kasus ini disebutnya hanya pendapat mereka tentang pertimbangan putusan MK.

Padahal, kata Supardi, amar putusan yang dibeberkan MK menolak dengan tegas permohonan praktisi hukum asal Bengkulu, Agustam, yang menginginkan MK meninjau kembali legalitas salah satu paslon gubernur yang dianggapnya telah menjabat selama dua periode.

“Di dalam amar putusan itu tidak ada memerintahkan apa pun. Yang ada, MK menolak permohonan pemohon,” ungkapnya.

Dalam diktum pertimbangan, sambung dia, tidak terkandung kalimat perintah kepada salah satu paslon tertentu untuk dibatalkan dari bursa pencalonan.

“Amar putusan tidak ada pembatalan terkait pencalonan dan tidak ada pembatalan yang berkaitan dengan PKPU,” ucapnya.

“Itu hanya pertimbangan dan tidak bisa dijadikan dasar. Yang dijalankan KPU adalah putusan pengadilan, bukan diktum pertimbangan,” jelasnya.

Supardi. (Istimewa)

Karena itu, tegas Supardi, putusan tersebut tidak bisa dijadikan landasan bagi penyelenggara pemilu untuk membatalkan serta mencabut SK pencalonan Edi yang telah disahkan sebelumnya.

Secara formil, kata dia, hal itu juga berlaku bagi paslon lain yang dihadapkan pada tudingan serupa dengan Edi.

Ia menyarankan sejumlah pengamat dan praktisi hukum yang berada di barisan paslon lain untuk membaca dengan teliti dan lengkap setiap poin yang terkandung dalam isi putusan, bukan semata-mata didasarkan pada 1 atau 2 poin yang tertera dalam diktum pertimbangan.

“Jelas itu sangat keliru. Mungkin teman-teman di sana membacanya tidak selesai. Coba diselesaikan sampai akhir,” sarannya. (*)

Penulis: Ulwan Murtadho

Editor: Ufqil Mubin

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements

BERITA ALTERNATIF

POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA