Search
Search
Close this search box.

Putusan MK Tegaskan Edi Damansyah Bisa Maju Lagi di Pilkada 2024

Penulis. (Istimewa)
Listen to this article

Oleh: Adi Sucipto*

Edi Damansyah, Bupati Kutai Kartanegara (Kukar), kembali menjadi sorotan menjelang Pilkada serentak 2024. Banyak yang mempertanyakan keabsahannya untuk maju lagi, terutama terkait masa jabatannya. Namun menurut saya, Putusan Mahkamah Konstitusi (MK) Nomor 2/PUU-XXI/2023 telah memberikan kepastian bahwa Edi masih memenuhi syarat untuk mencalonkan diri.

Putusan MK tersebut bukan hanya menolak permohonan terkait pemaknaan frasa menjabat jabatan kepala daerah. Bahkan, putusan ini memperjelas bagaimana cara menghitung masa jabatan kepala daerah. Menurut MK, masa jabatan satu periode dihitung jika seorang kepala daerah atau pejabat kepala daerah telah menjabat lebih dari setengah masa jabatan. Dalam hal ini, Edi tidak dianggap telah melewati batas tersebut.

Advertisements

Edi mendalilkan bahwa jika frasa “menjabat” dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 dimohonkan untuk dimaknai pejabat definitif saja (2 tahun 9 hari). Dalam Putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023 pertimbangan hukum pada pokok permohonan nomor 3.13.2, Mahkamah menyatakan bahwa berkaitan dengan persoalan masa jabatan satu periode untuk kepala daerah telah diputuskan dalam PMK Nomor 22/PUU-VII/2009 yang diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum pada 17 November 2009.

Mahkamah berpendapat bahwa setengah masa jabatan atau lebih dihitung satu kali masa jabatan. Artinya, jika seseorang telah menjabat kepala daerah atau sebagai pejabat kepala daerah selama setengah atau lebih masa jabatan, maka yang bersangkutan dihitung telah menjabat satu kali masa jabatan. Putusan ini menjelaskan bahwa 1 periode itu minimal 2,5 tahun dihitung opsional antara kepala daerah atau pejabat kepala daerah.

Kemudian pada pokok permohonan nomor 3.13.3, Mahkamah juga telah berpendirian dalam pertimbangan hukum Putusan 67/PUU-XVIII/2020 bahwa menjabat sebagai gubernur, bupati, wali kota dalam Pasal 7 ayat (2) huruf n UU 10/2016 dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi menjabat sebagai gubernur, bupati, wali kota dan/atau menjadi pejabat gubernur, bupati, wali kota telah dijawab secara tegas dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 tersebut. Artinya, penghitungan masa jabatan tidak berpeluang digabung antara kepala daerah dan pejabat kepala daerah.

Dengan demikian, berdasarkan pertimbangan hukum dan amar Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 yang kemudian dikuatkan dalam pertimbangan hukum Putusan MK Nomor 67/PUU-XVIII/2020, makna kata “menjabat” dimaksud telah jelas dan tidak perlu dimaknai lain selain makna dimaksud dalam putusan tersebut. Maka permohonan Edi pada frase “menjabat” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai menjadi “menjabat secara definitif”, dengan sendirinya telah terjawab oleh pertimbangan hukum kedua putusan tersebut.

Ketika masa jabatan hanya boleh dimaknai oleh Putusan 22/PUU-VII/2009 dan dikuatkan Putusan 67/PUU-XVIII/2020 maka tinggal kita hitung masa jabatan kepala daerah atau pejabat kepala daerah yang sifatnya opsional.

MK juga telah menjawab dengan Surat Nomor 2904/HK.07/06/2024 yang ditujukan kepada Plh Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri RI perihal agar MK mengeluarkan fatwa atas Putusan MK Nomor 2/PUU-XXI/2023. Dalam surat tersebut, MK memandang putusannya telah jelas, sehingga tidak memerlukan pemaknaan lebih lanjut. Karena itu, permohonan agar MK memberikan fatwa tidak dapat dipenuhi.

Apa konsekuensi lebih lanjut setelah MK menolak untuk memberikan fatwa? Hingga saat ini berarti limitasi untuk menghitung masa jabatan tetap dihitung dari mulai pelantikan. Sebab, MK dalam Putusan Nomor 2/PUU-XXI/2023 tidak menjelaskan lebih lanjut bagaimana cara menghitung satu periode masa jabatan definitif dan jabatan sementara.

Hal ini berbeda dengan Putusan MK Nomor 22/PUU-VII/2009 dan Putusan MK Nomor 67/PUU-XVII/2020 yang menjelaskan dengan tegas penghitungan satu periode masa jabatan adalah sejak pelantikan.

Maka khusus untuk jabatan Plt—Plt tidak pernah dilantik tetapi melalui penetapan saja—yang seharusnya dihitung masa jabatannya sejak ditetapkan tidak dapat diberlakukan dalam PKPU Nomor 08 Tahun 2024 tentang pencalonan kepala daerah.

Dengan demikian, PKPU Nomor 08 Tahun 2024 Pasal 19 huruf e sudah sesuai dengan Putusan MK. Begitupun Surat Edaran Nomor 96 Tahun 2024 tentang Rumusan Pemaknaan Isu Hukum dalam Tahapan Pencalonan Gubernur dan Wakil Gubernur, Bupati dan Wakil Bupati, serta Wali Kota dan Wakil Wali Kota Tahun 2024 sebagai Pedoman Pelaksanaan Tugas Pengawas Pemilu/Pemilihan.

Dalam surat nomor 2.2.2 tersebut dinyatakan bahwa berkenaan dengan pelaksana tugas, dirumuskan sebagai berikut: Kedudukan pelaksana tugas gubernur, bupati, dan wali kota tidak termasuk dalam ketentuan Pasal 19 huruf c PKPU Pencalonan.  Oleh karena tidak dapat dihitung sejak kapan setengah atau lebih masa jabatan yang telah dijalaninya tersebut.

Ketika semua keputusan hukum dari MK, PKPU Nomor 08 Tahun 2024, dan Surat Edaran Bawaslu RI Nomor 96 Tahun 2024 sudah sangat jelas, pencalonan Edi memiliki dasar hukum yang kuat. Maka dari itu, Edi tetap berhak maju dalam Pilkada serentak 2024 tanpa halangan hukum. (*Akademisi Ilmu Administrasi Publik Unikarta)

Advertisements

Kunjungi Berita Alternatif di :

Bagikan

Advertisements

BERITA TERKAIT