BERITAALTERNATIF.COM – Lidah saya terasa gatal, ingin menanyakan berapa mahar yang diminta Naheed dari suaminya. Tapi saya khawatir dianggap usil. Menikah dengan perempuan Iran bisa jadi merupakan sebuah pekerjaan berat. Sebabnya, mereka umumnya meminta mahar yang sangat besar dalam bentuk koin emas. Perempuan yang alim dan sederhana pun paling tidak akan meminta 5 atau 14 keping koin, mengacu kepada 5 atau 14 manusia suci dalam mazhab Syiah (Nabi Muhammad, Ali bin Abi Thalib, Fathimah Az-Zahra, Hasan dan Husain, serta 9 orang lagi keturunan mereka). Harga ‘pasaran’ untuk kota Teheran adalah 500 keping atau bahkan ada yang meminta ribuan keping. Kabarnya di kota-kota kecil dan desa, harga ‘pasaran’ ini lebih rendah.
Tentu saja, mahar ini tidak perlu langsung dibayar lunas. Bahkan sampai si lelaki mati pun, mahar ini tidak perlu dibayarkan jika si istri—karena cinta—telah mengikhlaskan maharnya itu. Namun, secara hukum, si perempuan berhak menuntut pembayaran maharnya itu kapan saja. Inilah yang banyak ditakutkan laki-laki Iran. Siapa tahu, tiba-tiba si perempuan menuntut maharnya, yang bila tidak dipenuhi, si perempuan bisa mengadu ke pengadilan dan si laki-laki masuk penjara. Bila terjadi perceraian pun, si lelaki diwajibkan untuk melunasi mahar itu. Kalau tidak, dia bisa dipenjara, bahkan aturan cekal ke luar negeri juga diberlakukan kepada laki-laki yang mangkir dari pembayaran mahar ini. Tentu saja biasanya di pengadilan akan terjadi negosiasi-negosiasi, misalnya mahar hanya perlu dibayar cash setengahnya dengan kompensasi-kompensasi tertentu.
Yang jelas, bagi seorang perempuan Iran mahar identik dengan jaminan hidup. Si laki-laki tidak akan bisa seenaknya menceraikan dirinya dan kalaupun terjadi perceraian, si perempuan akan terjamin hidupnya dengan uang mahar yang sangat besar itu. Kondisi ini membuat laki-laki Iran banyak yang takut menikah atau ketika menikah mereka cenderung setia pada istrinya, apa pun yang terjadi. Sampai-sampai ada istilah populer, zan-zalil, julukan untuk laki-laki takut istri. Seorang lelaki Iran pernah berkata kepada suami saya, “Iran ini terkenal dengan velayat-e zan, kekuasaan perempuan.”
Namun, beratnya urusan pernikahan ini ternyata juga ditanggung oleh perempuan Iran. Mereka harus menyediakan jahizieh, yaitu perlengkapan dan perabotan rumah tangga lengkap, mulai dari piring hingga mebel. Perlengkapan elektronik pun harus lengkap, mulai dari blender sampai ketel elektrik pemasak air. Menjelang pernikahan, si laki-laki harus menyediakan rumah (minimalnya mengontrak) dan si perempuan harus mengisi rumah itu dengan perabotannya. Besarnya biaya pernikahan yang harus ditanggung orangtua si perempuan membuat mereka menabung jauh-jauh hari, membeli barang sedikit demi sedikit. Tapi masalah tidak berhenti sampai di situ. Akram pernah mengeluhkan anak perempuannya yang meminta dibelikan kompor gas model baru. Padahal jauh-jauh hari Akram sudah membeli kompor gas untuk putrinya itu. Namun, ketika tiba masa pernikahan, model kompor itu sudah sangat ketinggalan zaman dan si anak meminta dibelikan kompor model baru. Saya benar-benar kesal mendengarnya dan tidak tahan untuk mengkritik kelakuan si gadis yang tidak tahu diuntung itu. Tetapi, Akram malah membela anaknya, “Yah, kasihan juga nanti anakku. Kalau tidak dibelikan yang model baru, bisa-bisa dia diejek oleh ipar-iparnya.”
Setiap kali saya mengobrol dengan tetangga tentang masalah pernikahan, saya selalu membanggakan budaya Indonesia kepada mereka. Tidak ada mahar tinggi dan tidak perlu jahizieh. Kehidupan rumah tangga dimulai dari nol dan suami-istri akan mulai mencicil barang sedikit demi sedikit dengan kemampuan mereka sendiri.
Tapi cerita saya pun disanggah oleh mereka. “Bagaimana jaminan hidup bila si perempuan diceraikan suaminya?” tanya mereka. Saya pun termangu. Teringat banyak cerita tentang perempuan di Indonesia yang diceraikan suami dan ditinggal begitu saja tanpa ada jaminan keuangan (karena mahar mereka biasanya hanya Alquran dan alat shalat yang secara materi nilainya rendah; kita tidak bisa menjual kembali Alquran dan mukena, bukan?).
Namun demikian, bagi sebagian perempuan Iran, kondisi mereka tetap tidak memuaskan. Mereka mengeluhkan hukum negeri mereka yang menurut mereka lebih berpihak kepada laki-laki. Dalam perceraian, perwalian anak-anak mutlak jatuh ke tangan ayah mereka, meski setelah anak-anak itu mencapai usia tertentu, mereka bisa memilih sendiri untuk ikut siapa. Jadi, meskipun perempuan Iran terjamin secara keuangan dengan mahar tinggi, mereka akan kehilangan anak-anak. Hal ini sangat berat diterima oleh sebagian perempuan, sehingga kalaupun ada konflik mereka memilih bertahan dalam pernikahan daripada mengambil risiko pisah dengan anak-anak.
Alih-alih bertanya soal mahar, saya bertanya kepada Naheed, “Memangnya tidak ada masalah bila etnis Arab menikah dengan etnis Fars?”
Naheed tergelak, “Ya tidak apa-apa, tidak ada yang aneh dalam hal ini. Tapi Hamid tidak suka aku pakai chadur Arab. Terpaksa aku sekarang pakai chadur Iran.”
Chadur menjadi lambang kesalehan seorang perempuan Iran, meski tentu saja bukan jaminan. Namun yang jelas, perempuan ber-chadur dalam masyarakat dianggap lebih solehah atau dalam pandangan sinistis orang-orang liberal: lebih konservatif dan puritan. Ada dua jenis chadur yang biasa dipakai orang Iran: satu, chadur Arab yang modelnya mirip dengan yang dipakai perempuan-perempuan di berbagai negara Arab, bentuknya seperti jubah atau abaya. Satu lagi, chadur khas Iran. Bila dibayangkan, ada sebuah kain membentuk lingkaran besar dengan diameter 2 meter, lalu dibelah dua. Satu belahan setengah lingkaran itu akan diselubungkan ke tubuh dan menutupi tubuh kecuali muka. Itulah chadur Iran.
Chadur memang tidak diwajibkan oleh pemerintah Iran, yang wajib adalah berjilbab. Semua perempuan di atas sembilan tahun, apa pun agamanya, apa pun warga negaranya, yang berada di Iran harus mengenakan jilbab bila keluar rumah. Ini pun akhir-akhir ini tidak begitu dipatuhi lagi oleh banyak perempuan Iran khususnya di kota-kota besar. Sebagian dari mereka kini lebih suka mengenakan jilbab ‘jambul’, yaitu kerudung segi empat yang dilipat diagonal sehingga membentuk segitiga, lalu ujungnya diikatkan di leher. Tentu saja, dengan cara ini, leher putih dan sebagian rambut mereka akan terlihat.
Penampilan perempuan Iran yang secara umum menutup aurat itu, ternyata amat berbeda dengan penampilan mereka di dalam rumah. Dalam berkali-kali kunjungan dadakan saya ke rumah tetangga-tetangga saya, saya selalu menjumpai mereka dengan baju-baju yang seksi dan riasan wajah yang cantik. Tidak tua, tidak muda, begitulah penampilan mereka di dalam rumah, benar-benar “cling”. Sepertinya kita tidak bisa berharap dapat menemukan mereka dalam baju daster lusuh dan rambut acak-acakan. Begitu pula yang saya temukan di tengah kaum perempuan keluarga Bavi. Meski mereka ketat menjaga aurat di luar rumah, mereka tak pernah ketinggalan gaya dan mode baju untuk dipakai di pesta-pesta khusus perempuan.
The Red Roofs in Abyaneh
Esok paginya, tepat pukul delapan, Shahbazi sudah menunggu di depan rumah keluarga Bavi sesuai perjanjian kami sebelumnya. Tapi, lagi-lagi, kami terlambat dan baru siap setengah jam kemudian. Program kami hari ini adalah berjalan-jalan ke Abyaneh dan Kashan. Sadiqeh dan dua putri terkecilnya, Fatimah (13 tahun), dan Mauide (10 tahun), ikut bersama kami. Mobil Peugeot 405 itu pun penuh sesak oleh tujuh orang plus satu bayi (meski baru berusia 13 dan 10 tahun, tapi kedua putri Bavi itu posturnya sudah sama dengan orang Indonesia dewasa). Di sepanjang jalan, awalnya kami saling berdiam diri. Maklum, belum sarapan. Mauide bahkan mual dan akhirnya muntah. Untunglah ada sedikit biskuit yang bisa dipakai untuk mengganjal perut. Ketika mobil sudah memasuki jalan tol Qom-Kashan, pemandangan menakjubkan muncul di kiri-kanan jalan. Jalan tol itu diapit gunung-gunung tanah beraneka warna. Satu gundukan gunung terdiri dari lapisan tanah yang berwarna-warni, mulai dari hijau muda, hijau tua, cokelat, cokelat muda, merah tua, merah marun, dalam berbagai gradasi seolah Tuhan sedang bermain dengan warna ketika menyusun gunung-gunung itu. Uniknya lagi, gunung-gunung itu begitu bersih dan rapi. “Seperti baru saja disapu ya?” komentar Sadiqeh. Perumpamaan yang pas sekali. Memang gunung-gunung itu seperti baru disapu oleh sapu raksasa, sehingga bersih rapi tanpa ada satu daun kering pun, dan ada garis-garis halus di permukaannya seolah bekas helai-helai sapu.
Abyaneh adalah sebuah desa yang sudah berusia 5.000 tahun. Bangunan rumah-rumah di desa itu masih tetap seperti lima ribu tahun lalu dan orang-orang di sana juga masih menggunakan pakaian kuno mereka, demikian tulis sebuah brosur wisata, bahkan Shahbazi juga merasa excited dengan perjalanan ini karena dia belum pernah berkunjung ke desa itu. Setelah melaju di jalan tol sekitar tiga jam, tampaklah papan nama berukuran kecil: Natanz, belok kiri. Abyaneh, lurus. Natanz adalah kota tempat reaktor nuklir Iran yang membuat heboh dunia itu berada.
Setelah melewati persimpangan Abyaneh-Natanz itu, dimulailah perjalanan yang eksotis. Perjalanan menuju sebuah peradaban berusia 5.000 tahun, meninggalkan persimpangan yang menuju sebuah peradaban nuklir abad 21. Seperti apakah kehidupan ribuan tahun lalu, tanya saya dalam hati. Pemandangan musim gugur masih mewarnai kiri-kanan jalan. Pohon-pohon yang meranggas belum memunculkan daun-daunnya yang hijau. Apa boleh buat, sekarang memang baru tanggal 2 Farvardin. Di sebagian wilayah Iran, masih butuh waktu beberapa pekan lagi sampai daun-daun hijau itu bermunculan. Perjalanan menuju desa Abyaneh melewati gunung-gunung sehingga mobil berkelok-kelok melewati tikungan-tikungan tajam. Setiap kelokan akan memunculkan gunung-gunung yang baru. Semakin mendekat ke Abyaneh, gunung-gunung itu berwarna semakin merah. Desa Abyaneh rupanya terletak di balik gunung-gunung itu, tepatnya, terletak di kaki Gunung Karkass. Jalanan menuju Abyaneh beraspal bagus, tidak ada yang berlubang. Sepertinya memang serius dipersiapkan untuk menerima kunjungan para turis. Di beberapa tempat terlihat iklan-iklan restoran atau hotel yang ditulis seadanya dengan cat di atas bebatuan.
Sekitar satu jam berkendara, tanah dan gunung-gunung terlihat berwarna merah menyala. Semakin mendekati Abyaneh, di pebukitan kiri-kanan jalan, tampak atap-atap rumah yang muncul di atas tanah. Seolah-olah ada rumah yang dibangun di bawah tanah dan yang muncul ke permukaan hanya atapnya. Lima menit sebelum memasuki gerbang Abyaneh, mobil dihentikan oleh petugas. Rupanya petugas Sazman Mirats-e Farhanggi, Organisasi Warisan Budaya Iran. Posko organisasi itu ada di kanan jalan, bentuknya kecil dan sangat sederhana. Si petugas meminta retribusi hanya 5.000 Riyal Iran yang setara dengan 4.300 rupiah. Shahbazi menyempatkan diri bertanya ke si petugas mengenai rumah-rumah bawah tanah yang hanya terlihat atapnya itu. Si petugas menjawab pendek, dengan nada seolah pertanyaan serupa telah diajukan kepadanya ribuan kali, “Itu gudang.”
Setelah melewati posko retribusi, kami melalui sebuah perkampungan dengan rumah-rumah modern yang didominasi warna merah, baik karena cat atau karena memang menggunakan bata merah tanpa ditembok. Hotel Abyaneh yang berkali-kali diiklankan di sepanjang jalan tadi juga kami lewati, dindingnya pun berwarna merah. Saya mengusulkan agar kami sarapan saja di restoran itu, tapi Sadiqeh menolak, “Kita sudah bawa perbekalan, kita cari nanvai—toko roti—saja.”
Shahbazi bertanya kepada seorang ibu yang sedang berdiri di depan rumahnya, “Nanvai kujast, toko roti di mana?” Atas petunjuk si ibu, kami berhasil menemukan toko roti yang dimaksud. Nanvai adalah toko khusus pembuatan roti yang menjadi makanan pokok orang Iran. Para pembeli dengan rapi antre di depan toko dan menunggu sampai roti pesanan mereka matang. Roti itu oleh si penjual akan diserahkan ke si pembeli dalam keadaan panas. Terkadang oleh si pembeli dibungkus dengan plastik atau kain, tapi lebih sering ditenteng begitu saja sampai ke rumah masing-masing.
Sadiqeh antre di toko roti itu hampir setengah jam, sementara kami menunggu kelaparan di mobil. Hawa Abyaneh yang dingin menggigit, membuat rasa lapar semakin menusuk perut. Ketika akhirnya Sadiqeh datang membawa setumpuk roti besar bundar pipih, disebut nan lavash, rasanya lega sekali. Kami mencari tempat duduk yang terhindar dari angin dingin. Agak sulit juga karena kawasan itu penuh turis. Setelah mendapat tempat lumayan nyaman di balik sebuah mushalla, kami menggelar tikar kain. Sadiqeh mengeluarkan termos berisi teh dan menuangkannya ke gelas-gelas kecil. Saya segera meneguknya. Lalu, saya merobek lembaran nan, mengolesinya dengan keju putih, dan segera melahapnya. Benar-benar sarapan paling nikmat dalam hidup saya. Sambil sarapan—sebenarnya sudah pantas disebut makan siang, karena sudah pukul 11 siang—kami mengobrol tentang banyak hal. Kepada Shahbazi, Sadiqeh menceritakan sejarah persahabatan keluarganya dengan keluarga saya dan dengan beberapa keluarga Indonesia lainnya. Dia juga bercerita sedikit tentang adat acara pesta pernikahan orang Iran etnis Arab kepada Shahbazi yang ternyata berasal dari etnis Turki.
Sesaat kemudian, salju halus turun dengan deras. Kami segera mengemas kembali perbekalan dan tikar kain, lalu berjalan menuju desa kuno di tengah deraian salju. Tempat kami duduk tadi, restoran, hotel, dan toko-toko dibangun di luar desa kuno. Konon warga desa ini hanya tinggal 250 jiwa saja sementara yang lain sudah pindah ke berbagai tempat di Iran. Warga desa tetap menggunakan pakaian kuno mereka. Perempuannya menggunakan rok lebar dengan warna-warni yang mencolok mata. Kerudung yang dipakai pun berwarna-warni mencolok. Para lelakinya menggunakan kemeja lengan panjang dan celana lebar model kulot yang di Indonesia biasa dipakai kaum perempuan. Di tengah hawa dingin menggigit itu mereka berjalan tanpa jaket sama sekali. Sayang sekali turis dilarang memotret warga, entah apa alasannya, tapi saya sempat juga sembunyi-sembunyi memotret seorang nenek dan seorang lelaki.
Kami kemudian berjalan perlahan menelusuri desa kuno itu. Rumah-rumah itu semua terbuat dari tanah liat merah dan beratap merah pula. Dalam sebuah website yang mengoleksi foto-foto traveling dari seluruh dunia, Abyaneh dijuluki the red roofs. Rumah-rumah itu didirikan di lereng gunung, bersusun-susun, dengan dibatasi oleh gang sempit. Bila dibayangkan, rumah-rumah itu seolah disusun di atas undak-undakan raksasa. Terkadang atap rumah di bawah menjadi halaman dari rumah di sebelah atas. Konon, gang-gang di desa ini tidak ada yang buntu, semua saling menyambung.
Saya lihat, meski disebut sebagai desa kuno, kabel listrik mengintip di berbagai tempat dan di pintu rumah-rumah kuno itu terlihat meteran listrik. Desa ini seolah menjadi pengamat yang berdiam diri selama ribuan tahun, menyaksikan kemajuan demi kemajuan teknologi yang dicapai umat manusia, sementara membiarkan dirinya tetap kuno tak terjamah. Kemudian, di satu titik, desa ini memanfaatkan kemajuan teknologi itu sehingga membuatnya terasa kontradiktif. Desa kuno yang usianya 5.000 tahun namun punya aliran listrik.
Di sebuah bangunan, sepertinya dulu digunakan sebagai balai pertemuan warga, terlihat semacam buaian (ayunan tempat tidur bayi) besar dari kayu. Saya lupa menanyakan apa istilahnya dalam bahasa Persia. Buaian besar itu pada 10 Muharram atau disebut juga hari Asyura akan dihiasi dengan kain hitam dan umbul-umbul warna hijau, lalu diarak ke berbagai penjuru desa. Ritual yang dilakukan untuk mengenang dan meratapi kematian Imam Husain di Karbala itu mengingatkan saya pada ritual Oyak Tabuik di Padang Pariaman, Sumatra Barat. Dalam ritual yang kini hanya sekadar komoditi pariwisata ini, orang-orang akan menggotong semacam peti yang berhias warna-warni, lalu dibuang ke laut Sumatra. Konon upacara Oyak Tabuik dulu juga dimaksudkan untuk mengenang Imam Husain.
Hawa semakin dingin dan membuat saya sedikit gemetar. Salju kembali turun, padahal tadi sempat berhenti dan bahkan sinar matahari sempat bersinar lembut. Saya memang tidak mengenakan baju musim dingin karena sekarang sudah musim semi. Siapa sangka ternyata kami berkunjung ke sebuah desa di mana salju masih turun? Kami bertahan sebentar, untuk melihat satu lagi bangunan menarik di desa ini, yaitu makam Imamzadeh. Di Iran sangat banyak ditemukan makam Imamzadeh, yaitu putra dari para imam keturunan Rasulullah. Biasanya sejarah mereka berawal dari Imam Ali Ar-Ridho (Imam ke-8 dalam mazhab Syiah dan keturunan generasi ke-9 Nabi Muhammad) yang dibawa secara paksa oleh Khalifah Ma’mun—yang menguasai pemerintahan Islam pada tahun 200-an Hijriah—dari Madinah ke Khurasan, timur laut Iran.
Imam Ali Ar-Ridho akhirnya gugur dibunuh Ma’mun dan dimakamkan di desa bernama Sanabad yang kini berubah menjadi kota besar bernama Mashad. Para saudara-saudara Imam Ridho berdatangan dari Madinah untuk menziarahi saudara mereka. Sebagian dari mereka akhirnya menetap di Iran sampai akhir hayat. Mereka biasanya menjadi pembimbing masyarakat dalam masalah Islam, sehingga menjadi panutan masyarakat dan ketika meninggal, makam mereka dihormati sedemikian rupa. Begitu banyaknya saudara-saudara Imam Ridho yang berdatangan ke Iran sehingga, kata Qanaatgar (teman sekantor saya), ke mana pun kita pergi di Iran ini, pasti ada makam Imamzadeh.
Usai melihat-lihat sebentar ke dalam kompleks Imamzadeh dan membacakan Al-Fatihah di sana, kami pun buru-buru kembali ke mobil, menyelamatkan diri dari hawa dingin yang menyiksa ini. (*)
Sumber: Dina Sulaemen dalam buku Journey to Iran