BERITAATERNATIF.COM – Tepat tanggal satu Farvardin udara pagi terasa dingin. Langit kota Teheran yang selama enam bulan terakhir memang pelit menampilkan warna biru cerahnya, pagi ini pun menjadi semakin mendung. Hari ini tepat tanggal satu awal tahun dalam kalender Iran. Tahun baru, awal dimulainya musim semi. Seharusnya pohon-pohon yang meranggas di depan rumah kami mulai menampakkan putik-putik daunnya. Tapi sepertinya, musim semi memang masih enggan datang. Menembus dingin, kami bergegas menaiki Peugeout 405 sewaan yang sudah sejak sejam lalu menanti di depan rumah. Shahbazi, sopir langganan kami yang baik hati, hanya tersenyum menerima permintaan maaf atas keterlambatan kami. Ketika mobil mulai bergerak, saya baru sadar bahwa putri kami mengenakan sepatu lamanya yang sudah sangat jelek. Saya berkeras kembali ke rumah untuk mengambil sepatu baru. Ini tahun baru Iran akan sangat aneh bila ada yang mengenakan sepatu jelek di hari ini. Shahbazi dengan sabar menghentikan mobilnya dan menunggu beberapa menit lebih lama sebelum akhirnya kami benar-benar memulai perjalanan kami.
Saya mengembuskan napas lega menatap jalanan Teheran yang lengang. Lega, karena akhirnya kami jadi juga memulai traveling ini. Persiapan berpesiar dengan membawa dua anak kecil, salah satunya bahkan masih bayi, bukanlah persiapan yang ringan. Sejak beberapa hari lalu saya sudah mulai berbelanja, membeli berbagai hadiah tahun baru, di antaranya piring kristal dan kacang pistachio, serta baju dan sepatu baru untuk anak-anak. Kesibukan serasa tak habis-habisnya, padahal kami bukan orang Iran. Kamis sore kemarin, sehari menjelang tahun baru, para ibu tetangga berkumpul di rumah Khanum (Nyonya) Karimi untuk bersama-sama membuat samanu. Samanu diyakini sebagai lambang kesegaran, karena meski disimpan lama, kondisinya akan tetap bagus dan bisa dimakan. Samanu dibuat dari kecambah yang tumbuh dari biji gandum lalu diaduk secara bergantian oleh para ibu sampai lama sekali, seharian, sampai air sari kecambah gandum itu berubah menjadi bubur kental berwarna cokelat tua. Rasanya manis kesat, padahal dalam proses pembuatannya tidak dicampur gula.
Jumat paginya, para ibu berkumpul di masjid dekat rumah kami untuk membaca Doa Nudbah, lalu bersama-sama datang ke rumah Khanum Karimi untuk mengambil semangkuk samanu. Saya mencicipi sedikit sambil berjalan bersama Akram Abaran, teman baik saya, yang juga tetangga sebelah rumah kami. Saya hanya kebagian satu mangkuk kecil bubur cokelat tua mirip adonan dodol yang belum membeku itu. Tak apalah, toh rasanya juga terasa aneh di lidah saya. Lagi pula, orang-orang Iran membutuhkan samanu itu untuk menghias meja tahun baru mereka, sementara saya hanya akan memakannya begitu saja.
Kata Akram, samanu ini dibuat dengan niat nazar Sayyidah Zahra. Orang-orang Iran memang sering membuat makanan dengan menisbahkan pada orang-orang saleh, tapi saya baru kali ini menemukan orang bernazar dengan samanu. Saya lebih sering mendapat kiriman nazar ash reshteh dari tetangga-tetangga. Biasanya, mereka bernazar bahwa bila doa mereka terkabul, mereka akan membuat ash yang dinisbahkan pada Sayyidah Zahra, Imam Husein, atau Imam Ali. Ash terbuat dari daging kambing, sayuran, dan kacang-kacangan. Sambil mengaduk-aduk adonan ash dalam kuali besar, orang-orang yang bernazar itu biasanya akan mengucapkan doa-doa. Mungkin mereka berharap bahwa asap adonan yang wangi itu akan sampai ke langit membawakan doa-doa mereka. Begitu pula yang terjadi dengan acara pembuatan samanu Kamis sore lalu.
Semalam adalah malam tahun baru, dalam bahasa Persia disebut syab-e Eid. Biasanya pusat-pusat pertokoan ramai dengan pedagang kaki lima yang membanting harga. Sayang sekali saya tidak sempat pergi ke Sadeqieh Square, bundaran sekaligus pusat pertokoan terdekat dari rumah kami. Beberapa hari kemudian, Parvin, teman saya, bercerita betapa murahnya harga baju-baju di Sadeqieh Square pada malam itu, sehingga membuat saya sedikit menyesal. Namun, di sela-sela packing barang-barang yang akan kami bawa berjalan-jalan, semalam saya menyempatkan diri mengunjungi rumah Akram sambil membawa kado berupa satu set gelas dan sebuah cetakan kue. Tak beda dengan hari-hari lain biasa, rumah Akram malam itu terlihat sangat bersih dan rapi. Cling.
Perempuan Iran menjaga kebersihan rumah seperti mendekati paranoid. Mereka sepertinya tidak sanggup melihat ada satu titik noda pun. Rumah mereka umumnya bersih luar biasa, seolah-olah mereka baru pindah ke rumah itu. Jangan harap melihat dapur ala kadarnya karena perabotan yang ada semuanya bersih mengkilap. Jangan harap ada noda lemak di pintu kabinet dapur atau di kompor. Dapur itu juga dihiasi dengan berbagai bentuk hiasan, misalnya, pegangan kulkas atau putaran kompor gasnya dilapisi kain warna-warni. Sulit dipercaya, bahkan dapur mereka dilapisi permadani Persia. Saya sering merasa takjub, apa ibu-ibu Iran itu tidak pernah menumpahkan sesuatu di lantai dapur mereka? Mereka, teman-teman saya itu, juga bukan orang-orang kaya yang punya dua jenis dapur, dapur basah dan dapur kering.
Setiap rumah pasti memiliki permadani Persia. Semakin kaya, semakin indah, semakin mahal pula permadani yang dihamparkan di lantai. Saya selalu berhati-hati setiap kali bertamu ke rumah orang Iran karena khawatir menumpahkan sesuatu atau sekadar menjatuhkan remah-remah kue di atas permadani itu. Rumah-rumah itu sedemikian bersihnya sehingga saya merasa, jika menumpahkan sesuatu, saya sudah melakukan dosa besar. Yang lebih membuat saya takjub, mereka sama sekali tidak mempunyai pembantu. Pembantu di Iran adalah ‘barang’ mahal. Tidak ada TKW Indonesia di sini seperti di negeri-negeri Arab. Bahkan ibu-ibu karier terpaksa menitipkan bayi mereka di penitipan anak dan mengerjakan sendiri semua pekerjaan rumah mereka. Pembantu adalah milik orang-orang yang benar-benar kaya dengan rumah besar, bukan apartemen biasa.
Saya melihat sendiri betapa Akram sangat bekerja keras demi kemulusan rumahnya. Di saat yang sama, saya juga sering menampung keluhannya, punggung sakit atau tangan pegal. Katanya, itu akibat terlalu banyak bekerja mengurus rumah selama ini. Saya pernah memberinya balsem otot Geliga yang diterimanya dengan gembira. Kerja keras Akram dan perempuan Iran lainnya dalam membersihkan rumah akan mencapai puncaknya menjelang tahun baru. Dua-tiga pekan menjelang pergantian tahun, mereka punya budaya khune tekuni (arti harfiahnya: ‘menggoyang rumah’), yaitu membersihkan rumah mereka yang biasanya memang sudah ‘cling’ itu. Bila punya uang lebih, mereka akan menjual murah mebel lama dan menggantinya dengan yang baru.
Sufreh Haft Sin
Semalam, di rumah Akram sudah tertata jamuan khusus tahun baru, yang diistilahkan dengan sufreh haft sin. Sufreh sendiri sebenarnya berarti kain atau plastik yang ditebarkan di lantai sebagai alas hidangan. Tradisi orang Iran adalah makan di lantai, duduk mengelilingi sufreh, meski pada zaman modern ini banyak juga yang duduk mengelilingi meja makan. Sufreh haft sin adalah sufreh yang di atasnya disajikan tujuh jenis benda berawalan sin (huruf ‘s’ dalam abjad Arab), yaitu serkeh (cuka), sir (bawang putih), samanu (semacam manisan dari gandum), sib (apel), sabzi (sayuran), sumac (bumbu yang biasa ditaburkan pada kebab), dan senjed (buah dari sejenis pohon yang rindang). Selain itu, di meja juga ditaruh bibit gandum yang sudah tumbuh 4-5 cm, cermin, Alquran, ikan mas hidup dalam stoples/baskom, lilin, dan telur yang diwarnai (mirip telur Paskah).
Semua benda itu memiliki makna tersendiri. Cuka yang masam, namun dapat mengawetkan makanan, melambangkan kelestarian. Sumac melambangkan rasa (kehidupan). Bawang putih melambangkan kedamaian. Samanu melambangkan kesegaran, demikian pula apel. Senjed yang berasal dari pohon yang rindang, melambangkan perlindungan. Sayur hijau melambangkan kesuburan. Cermin merefleksikan masa lalu, memperlihatkan masa kini, dan menunjukkan masa depan yang harus dilalui. Bibit gandum dan telur melambangkan kreativitas dan produktivitas. Lilin menggambarkan cahaya kehidupan. Terakhir, ikan mas melambangkan kebahagiaan hidup yang penuh aktivitas. Namun, di sufreh haft sin milik Akram saya tidak melihat kitab suci Alquran.
Sopir-Sopir yang Menjengkelkan
Dua jam perjalanan menuju Qom tidak terasa terlewati sudah. Kami tertidur kelelahan sepanjang perjalanan, membiarkan Shahbazi berdiam diri sambil menyetir. Sopir-sopir taksi di Iran biasanya suka mengobrol dengan penumpang. Kadang kesukaan mereka ini sangat bermanfaat untuk mengorek banyak informasi. Mereka pun sering dengan sukarela memerankan diri menjadi guide bila kami ingin berjalan-jalan keliling kota. Ongkos taksi yang murah membuat saya lebih suka naik taksi daripada naik bus yang diatur menurut jadwal tertentu. Di Iran, taksi adalah transportasi umum seperti angkot. Satu taksi isinya bisa empat penumpang berbeda, asal tujuannya sama. Kita bisa saja mencarter dan meminta agar hanya kita saja yang menaiki taksi itu, tentu dengan bayaran lebih mahal karena dihitung empat orang.
Namun, kadang kecerewetan sopir-sopir taksi itu menjengkelkan juga. Bahkan bila ditanyakan kepada saya apa hal yang paling menjengkelkan saya temui selama tinggal di Iran, maka jawaban saya adalah: naik taksi. Terkadang saya berprasangka bahwa orang-orang Iran yang paling menyebalkan sepakat untuk memilih profesi yang sama, yaitu sebagai sopir taksi. Tentu saja, ini adalah generalisasi, karena selalu saja ada perkecualian. Berkali-kali saya menemukan sopir taksi yang baik hati, tapi persentasenya sedikit sekali. Sumber-sumber kekesalan saya pada sopir taksi di Iran, antara lain karena mereka umumnya sangat membenci orang Afghan. Tahun pertama tinggal di Iran, saya berkali-kali menangis, saking sakit hati oleh perilaku sopir taksi di Iran. Saat saya mau naik taksi, baru membuka pintu saja, si sopir langsung bilang dengan nada yang terasa sangat kasar untuk orang Melayu, “Zud bash, cepat!” Lama-lama saya baru paham, wajah saya (dan orang-orang Indonesia pada umumnya) memang sepintas mirip orang Afghan, jadi saya diperlakukan kasar begitu. Beberapa kali terjadi, si sopir mengobrol sambil tertawa-tawa dengan penumpang lain menyebut-nyebut kata Afghanistan, menyindir saya. Saya benar-benar marah pada sikap orang-orang Iran itu, sekaligus kasihan pada nasib sekitar empat juta orang-orang Afghan yang menjadi pengungsi di Iran. Kehadiran mereka memang harus diakui sangat memberatkan perekonomian Iran. Hampir semua pekerjaan kasar di Iran dilakukan oleh orang-orang Afghan yang bersedia dibayar rendah, sehingga orang-orang Iran banyak yang menganggur.
Yang paling menjengkelkan adalah kesukaan mereka mengingkari perjanjian pembayaran. Bila kita menaiki taksi bersama penumpang lain, memang sudah ada harga standar yang sangat murah dibanding taksi di Indonesia. Namun, bila kita ingin mencarter, tidak ada argometer dan kita harus tawar-menawar di muka. Sering terjadi, setelah harga disepakati (tentu saja penumpang akan menawar semurah mungkin), dan taksi sudah melaju, si sopir mulai mengomel, “Tempat itu kan jauh sekali. Macet pula, bla ..bla …” Terakhir, sampai di tujuan, dia akan meminta tambahan uang. Bila saya sedang punya energi lebih, saya akan bertengkar mulut dengannya.
Untuk menghindari situasi tidak mengenakkan, saya lebih suka memesan taksi dari agen taksi (bukan menyetop taksi begitu saja di jalan) karena sopir-sopirnya umumnya tidak cerewet. Salah satu taksi langganan kami adalah taksi milik Shahbazi. Dia tidak memiliki satu faktor pun yang membuat kami jengkel. Dia benar-benar sempurna sebagai sopir untuk orang Indonesia macam kami yang sering lelet (sopir taksi umumnya akan menggerutu dan meminta bayaran lebih bila harus menunggu lebih lama dari jam yang disepakati), sensitif bila ditanyai hal-hal yang privasi, dan selalu menginginkan harga murah. Sayangnya, Shahbazi hanya menyediakan jasa antar-jemput antarkota, bukan dalam kota.
Tepat pukul 11.00 kami mencapai gerbang tol kota Qom. Hawa panas dan kering kota ini mulai terasa, padahal musim semi baru dimulai. Shahbazi membayar uang tol yang (waktu itu) hanya 500 Riyal Iran, nilainya kurang dari lima ratus rupiah. Padahal, panjangnya sekitar 135 kilometer. Jalan Tol Teheran-Qom baru-baru ini diubah namanya menjadi “Tol Teluk Persia”, menyusul perdebatan sengit pemerintah Iran dengan negara-negara Arab Teluk yang juga ngotot menamai teluk itu di peta dengan nama “Teluk Arab”. Melewati gerbang tol, terlihat sebuah papan besar bertuliskan, “Holy Shrine” dan tanda panah yang menunjuk ke kanan. Holy Shrine yang dimaksud adalah Mausoleum Sayyidah Ma’shumah yang sedikit saya singgung pada pengantar buku ini.
Keluarga Bavi
Qom terletak di kawasan sahara tengah Iran. Posisinya yang berada di tengah padang yang gersang dan jauh dari laut, membuat Qom beriklim sangat kering. Pada musim panas, suhu udara bisa melewati angka 40 derajat celsius, namun bisa anjlok hingga di bawah nol pada musim dingin. Tujuan pertama kami di kota Qom ini adalah rumah keluarga Bavi yang selama delapan tahun ini telah menjadi sahabat kami. Khanum Sadiqeh Bavi bahkan berkali-kali menyebut saya sebagai anak sulungnya. Anak kandungnya berjumlah delapan orang, tujuh perempuan, satu laki-laki. Mereka menyambut kami dengan hangat.
Saya menyerahkan hadiah tahun baru berupa stoples besar dari kristal dan sebungkus badam-e hind (kacang mete). Mereka segera menyambut dengan kalimat khas yang diucapkan untuk orang-orang yang membantu atau memberi sesuatu, “Chera zahmat keshidin? Mengapa kalian bersusah-payah?” Saya pun menjawab dengan kalimat yang memang biasa dipakai dalam situasi seperti ini, “Zahmati nist, qabele shoma nadare. Tidak ada yang susah payah, (hadiah) ini tidak pantas untuk Anda.” Tentu saja saya tidak setuju dengan kalimat terakhir. Bagaimana mungkin kita memberikan hadiah yang tidak pantas kepada orang lain? Tapi budaya orang Iran memang begitu, merendah saat memberi hadiah, dengan mengatakan, qabele shoma nadare, (hadiah) ini tidak pantas untuk Anda.
Sebagaimana juga di rumah Akram, di rumah keluarga Bavi tersedia sufreh haft sin. Hanya bedanya, sufreh haft sin di rumah Bavi juga memajang kitab suci Alquran. Dengan bercanda saya bertanya, “Ternyata kalian orang Arab juga menggelar sufreh haft sin ya? Bukankah ini kebudayaan orang Fars?” Mereka tertawa, “Ah, ini ikut-ikutan saja, tidak serius.”
Keluarga Bavi memang orang Iran dari etnis Arab. Dalam berbagai kesempatan mereka menonjolkan ke-Arab-an mereka di depan saya. Misalnya, jika kami meminta maaf sudah merepotkan karena membuat mereka harus memasak demi menjamu kami, mereka menjawab, “Ah, jangan ikut-ikutan ber-ta’aruf (berbasa-basi) kayak orang Fars. Kami ini orang Arab.” Saya perhatikan, memang orang Iran etnis Arab cenderung lugas. Kalau makan, ya makan saja, tidak banyak basa-basi. Makan pun tidak perlu diundang. Bila kita datang tepat jam makan siang, mereka akan langsung menawari makan. Mirip dengan budaya Indonesia. Beda bila kita dijamu orang Iran etnis Fars. Mereka akan menjamu makan bila kita memang sudah diundang makan jauh-jauh hari. Sebelum makan, biasanya para tamu akan saling berbasa-basi, “Qabel-e shoma nadare, maaf (hidangan ini) tidak pantas untuk Anda,” kata tuan rumah. “Kheili zahmat keshidi, sharmandemun kardi, Anda sudah sangat bersusah payah, kami jadi merasa malu,” jawab para tamu. “Dushmanetun sharmande, kari nakardam, musuh Andalah yang harus malu, saya tidak melakukan apa pun,” timpal tuan rumah.
Saya bertanya pada Ruqaye, salah satu putri keluarga Bavi yang berusia 18 tahun, “Bagaimana chahar shanbeh suri kemarin? Kalian juga main petasan?”
Ruqaye dengan nada mencela menjawab, “Ah, itu kebiasaan orang-orang Zoroaster kuno, kami tidak ikut-ikutan.”
Chahar shanbeh suri adalah malam Rabu terakhir di sebuah tahun. Konon orang-orang Persia kuno yang notabene beragama Zoroaster menyalakan api pada malam itu lalu mengadakan ritual mereka, antara lain melompati api. Kebiasaan itu berlanjut hingga hari ini dan dilakukan oleh sebagian orang-orang Iran dari agama apa saja dengan menyalakan petasan berkekuatan besar, mungkin malah mirip bom, atau kembang api. Setiap tahun selalu saja jatuh korban luka bakar atau bahkan tewas akibat ledakan petasan. Jauh-jauh hari sebelum datangnya chahar sanbeh suri televisi sudah gencar menayangkan program khusus yang berisi liputan mengenai para korban petasan dan himbauan untuk menjauhi petasan. Polisi juga gencar melakukan razia pedagang petasan. Namun, budaya berusia ribuan tahun itu sepertinya tak jua bisa dikikis habis. Sopir kantor kami misalnya, menceritakan dengan nada prihatin mengenai rumah tetangganya yang kacanya hancur akibat bunyi ledakan petasan. Namun, ternyata dia juga menyimpan petasan kecil yang katanya akan dia ledakkan nanti malam usai dinas kantor.
Tak lama kemudian, hidangan sudah tersedia, ikan panggang yang besar-besar dengan aroma yang benar-benar membuat perut keroncongan. Biasanya dalam kunjungan-kunjungan kami sebelumnya, yang umumnya dadakan, Sadiqeh memprotes kami, “Coba kalian memberi tahu sehari sebelumnya bahwa kalian akan datang, aku akan masak ikan!” Kali ini, kami memang memberitahukan kedatangan kami sejak jauh hari. Ikan adalah makanan kebanggaan keluarga Bavi. Apalagi kalau ikan yang dimasak adalah ikan sabur yang khusus didatangkan dari kampung mereka, Khorramshahr, sebuah kota di Provinsi Khuzestan, Iran Selatan. Sepertinya di lidah mereka, ikan panggang Khorramshahr adalah makanan terlezat di dunia.
Usai makan, saya duduk-duduk bersama putri-putri keluarga Bavi. Putri tertua Bavi, Naheed, sambil tersipu menunjukkan album foto dirinya dan suaminya. Saya terperanjat, “Kapan kamu nikah? Kok saya tidak diberi tahu?!”
“Maaf. Semuanya terburu-buru. Awalnya kami dipusingkan oleh tes darah. Kantor pencatatan pernikahan mensyaratkan adanya tes darah sebelum pernikahan. Ternyata, tes kami hasilnya mengejutkan, kami tidak boleh menikah karena ada ancaman thalassemia. Kami berdua benar-benar stres. Untunglah ada kerabat yang menyarankan agar kami mengulang tes di sebuah laboratorium di Teheran. Ternyata hasilnya negatif sehingga kami bisa menikah. Hamid langsung memutuskan agar kami langsung mengucapkan akad nikah keesokan harinya di kantor pencatatan pernikahan. Resepsi akan dilangsungkan musim panas nanti. Anda bisa datang kan?”
Saya menggeleng dengan kecewa. Raut muka Naheed juga terlihat kecewa. Apa boleh buat. Musim semi ini adalah musim semi terakhir kami di Iran dan musim panas mendatang kami sudah memulai kehidupan baru di Tanah Air. (*)
Sumber: Dina Sulaeman dalam buku Journey to Iran