Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Karena agama berbeda dengan sains yang punya pakem dan standar kepakaran yang jelas, maka setiap orang, sesuai cara pandangnya masing-masing, menetapkan standar dan kriteria kepakaran dalam agama. Atas dasar itu, seseorang yang dianggap pakar agama oleh sebagian orang bahkan sebagian besar umat boleh jadi bukan pakar bagi sebagian lainnya.
Di samping itu, karena terma dan pengertian alim atau ulama (dalam bahasa Indonesia) sangat longgar, maka orang yang mengenakan busana tertentu yang mencitrakan agamawan atau dikenal luas sebagai agamawan atau bahkan mengaku sebagai agamawan kerap diperlakukan sebagai pakar agama dan alim (ulama) dengan aneka sebutannya. Padahal tidak tertutup kemungkinan dia bukan pakar bahkan karena memang tidak mengenyam pendidikan intensif dalam bidang agama, atau hanya seorang ahli ibadah atau terlanjur digaungkan sebagai orang wali sehingga diberi kesempatan untuk memberikan nasihat dan mendoakan kebaikan bagi khalayak atau hanya biduan yang punya suara bagus dalam melantunkan kasidah-kasidah dengan tambahan modal aksesoris kosmetik juga busana, gestur, kamera auto filter dan maraknya pemberitaan tentang dirinya.
Pada dasarnya menghormati siapa pun, selain penjahat, adalah perilaku positif meski metode penghormatan tidak selalu seragam, apalagi orang yang dikenal saleh, lebih-lebih pakar yang menguasai bidang agama.
Namun, agar bersikap adil, kita perlu membedakan ahli agama sejati dari sekadar orang saleh apalagi agamawan palsu. Salah satu caranya adalah menimbang konten pernyataannya. Bila ditemukan pernyataan yang mencederai persatuan umat Islam dengan narasi dusta yang menyudutkan salah satu kelompok Muslim, maka dia bukanlah orang saleh, apalagi pakar ilmu agama, alim dan wali sebanyak apa pun khalayak awam yang mengelu-elukannya dan seheboh apa pun kisah-kisah kesaktiannya.
Demi merestorasi citra agama dan agamawan, mungkin perlu diselenggarakan fit and proper test dalam forum resmi demi menyuling dan mempensiunkan orang-orang yang tidak lolos dalam ujian intelektualitas, mentalitas dan moralitas juga wawasan kebangsaan. Sistem dan mekanisme ini telah diterapkan di Iran juga mungkin sejumlah negara lainnya.
Mungkin perlu pula didirikan semacam pengadilan khusus agamawan yang mengadili oknum agamawan yang menjadi tersangka dalam pelanggaran hukum dan etika keulamaan. Ini juga sudah berlaku di Iran juga mungkin negara lainnya. (*Cendekiawan Muslim)