Kukar, beritaalternatif.com – Pembangunan masyarakat bukan hanya pada hal-hal yang berkaitan dengan politik, pemerintahan, dan materi saja, tetapi juga membangun, membina, mendidik setiap individu masyarakat.
Dalam buku Manusia 250 Tahun, Sayid Ali Khamene’i menjelaskan, satu demi satu jantung masyarakat berada dalam pembinaan Nabi. Beliau mendiktekan ilmu pengetahuan pada setiap benak pikiran dan akal masyarakat.
Hikmah adalah sesuatu peringkat yang amat tinggi. Nabi tidak hanya mengajarkan hukum dan undang-undang kepada mereka, tetapi mengajarkan hikmah kepada mereka, membuka mata mereka kepada berbagai hakikat alam.
“Nabi melakukan usaha dan metode ini selama sepuluh tahun,” ungkap Pemimpin Tertinggi Republik Islam Iran tersebut sebagaimana dikutip beritaalternatir.com, Selasa (5/4/2022) pagi.
Pada sisi politik, sambung Sayid Ali, Nabi mengurus pemerintahan, menjaga keutuhan masyarakat Islam, memperluas wilayah penyebaran agama Islam, membuka jalan agar kelompok-kelompok di luar Madinah lambat laun dan satu demi satu dapat memasuki wilayah terang Islam dan pengetahuan Islam.
Kata dia, pada sisi yang lain, beliau membina dan mendidik setiap individu masyarakat. “Cara ini tidak dapat dipisahkan satu sama lain,” tegasnya.
Sayid Ali mengurai, ada kelompok orang yang mengatakan bahwa agama Islam itu hanya berkaitan dengan perkara-perkara yang bersifat perseorangan atau personal dan mereka pun memisahkan politik dari agama Islam.
Sedangkan Nabi Mulia Islam pada awal hijrah, pada awal ketika beliau mampu membebaskan diri dari berbagai kesulitan yang ada di Mekkah, pekerjaan yang pertama kali beliau lakukan adalah politik.
Membina masyarakat Islam, terang Sayid Ali, mendirikan sebuah negara Islam, mendirikan sebuah pemerintahan Islam, mendirikan benteng pertahanan Islam, menulis surat kepada para tokoh politik besar dunia, masuk ke tengah arena politik besar umat manusia pada masa itu: ini adalah politik.
“Mengapa Islam dipisahkan dari politik? Mengapa menafsirkan dan mendefinisikan politik berdasarkan pada suatu pendapat yang bukan berasal dari tuntunan Islam?” tanya Sayid Ali.
Ia mengurai, ada sebagian orang yang membagi-bagi Alquran. Ada bagian dari Alquran yang mereka percayai dan ada pula bagian yang mereka ingkari. Mereka percaya pada sisi peribadatan Alquran, tetapi tidak percaya pada sisi politik Alquran.
Dia kemudian mengutip QS. al-Hadid ayat 25, yang berbunyi, “Sesungguhnya Kami telah mengutus rasul-rasul Kami dengan membawa bukti-bukti yang nyata dan telah kami turunkan bersama mereka al-Kitab dan neraca (keadilan) supaya manusia dapat menegakkan keseimbangan”.
Sayid Ali pun bertanya, “Apa keseimbangan itu?” Keseimbangan adalah penegakan keadilan sosial di tengah masyarakat.
“Siapakah yang mampu menjalankan tugas ini: membentuk sebuah masyarakat yang di dalamnya terdapat keadilan dan keseimbangan?” tanyanya lagi.
Dia menegaskan, hal itu adalah tugas yang dilaksanakan oleh para kepala sebuah negara. Ini adalah tujuan para nabi AS, dan bukan hanya tujuan Rasulullah, bahkan Nabi Isa, Musa, Ibrahim, dan seluruh nabi Ilahi, mereka datang untuk politik dan untuk mendirikan pemerintahan Islam.
Kehidupan Nabi Mulia selama sepuluh tahun pemerintahan Islam di Madinah, sambung Sayid Ali, merupakan sebuah masa pemerintahan yang paling cemerlang di sepanjang sejarah umat manusia.
“Masa singkat dan penuh berkah luar biasa tersebut memberikan pengaruh besar pada sejarah umat manusia,” ungkap Sayid Ali.
Periode Madinah adalah bagian kedua dari masa pengutusan Nabi. Selama dua puluh tiga tahun periode Mekkah yang merupakan periode pertama dan dapat dianggap sebagai mukadimah bagi periode kedua berlangsung selama tiga belas tahun
Sedangkan periode Madinah, jelas dia, yang kira-kira berlangsung selama sepuluh tahun merupakan masa pembentukan pemerintahan Islam dan penciptaan sebuah pemerintahan Islam yang dapat dijadikan sebagai teladan dan contoh bagi umat manusia yang hidup di sepanjang masa, sepanjang sejarah umat manusia, dan di seluruh penjuru dunia.
“Jelas teladan ini merupakan suatu teladan yang sempurna. Kita tidak menjumpai sebuah pemerintahan semacam itu di berbagai masa, namun dengan memerhatikan teladan sempurna ini, maka akan dapat diketahui berbagai pilarnya,” tegasnya.
Berbagai pilar tersebut dapat dijadikan sebagai suatu tolok ukur oleh umat manusia dan kaum muslim untuk menentukan berbagai pemerintahan.
Tujuan Nabi dalam berhijrah ke Madinah adalah memerangi kegelapan, kejahatan, kerusakan sosial politik dan ekonomi, yang pada masa itu meliputi seluruh penjuru dunia.
Sayid Ali menegaskan, tujuan hijrah ini bukan hanya memerangi orang-orang kafir Mekkah. Perjuangan Nabi ini adalah suatu perkara yang bersifat internasional.
Nabi Mulia senantiasa berusaha mewujudkan tujuan hijrah ini. Setiap kali terdapat suatu lahan yang mendukung, maka dengan segera beliau menebarkan benih pemikiran dan ideologi, dengan harapan pada suatu masa nanti benih ini dapat tumbuh dan berkembang.
“Sehingga pesan kemerdekaan, kesadaran dan kebahagiaan umat manusia dapat sampai kepada seluruh jiwa manusia,” terangnya.
Tujuan hijrah ini tidak akan dapat terwujud, lanjut Sayid Ali, melainkan dengan menciptakan sebuah pemerintahan teladan. Oleh karena itu, kedatangan Nabi ke Madinah adalah mewujudkan pemerintahan teladan ini.
Kemudian, sampai sejauh mana mereka mampu melanjutkan pemerintahan teladan ini dan bagaimanakah mereka dapat mendekatkan diri kepada pemerintahan ini, yang demikian itu amat tergantung pada semangat mereka.
“Nabi menciptakan sebuah pemerintahan teladan, memamerkannya kepada seluruh umat manusia dan sejarah,” jelas Sayid Ali. (*)
Penulis: Ufqil Mubin