BERITAALTERNATIF.COM – Ratusan warga Desa Bakungan, Kecamatan Loa Janan, Kabupaten Kutai Kartanegara menentang aktivitas land clearing secara besar-besaran yang dilakukan Kelompok Tani Maju Bersama dan PT ITCI Hutani Manunggal (IHM).
Padahal, lahan seluas lebih dari seribu hektare tersebut berstatus sebagai hutan tanaman rakyat yang telah dikelola dan dimanfaatkan selama bertahun-tahun oleh warga Bakungan dan desa-desa di sekitarnya.
Direktur Eksekutif Grapesda Kalimantan Arie Yannur mengungkapkan bahwa warga yang memprotes land clearing tersebut sudah lama beraktivitas di hutan dengan cara memanfaatkan hutan tanaman rakyat untuk menanam pohon karet dan sengon, serta buah jengkol dan lain sebagainya.
Kata dia, warga juga menggunakan lahan kosong di perhutanan rakyat itu untuk menanam padi. Berdasarkan ketentuan Peraturan Kementerian Lingkungan Hidup, perhutanan sosial bisa dimanfaatkan untuk menanam padi, jagung, kopi, dan lainnya.
“Kalau mereka mau gunakan untuk tanam jagung, ya tanam jagung. Kalau maunya untuk tanam kopi, ya tanam kopi. Begitu konteksnya,” jelas Arie kepada beritaalternatif.com di Kantor DPRD Kukar pada Senin (11/7/2022) sore.
Faktanya, sambung dia, lahan kosong yang dimanfaatkan masyarakat tersebut digunakan untuk menanam pohon akasia setelah dilakukan land clearing oleh Kelompok Tani Maju Bersama dan PT IHM.
Padahal, tegas Arie, dalam ketentuan perhutanan sosial tidak diperbolehkan mengubah struktur tanah. Namun, kelompok tani dan perusahaan HTI tersebut melakukan land clearing secara besar-besaran.
“Herannya, yang masuk dalam kelompok tani ini justru orang-orang yang tidak terlibat dalam pengelolaan lahan itu. Bahkan, ada orang yang namanya ada dalam izin perhutanan sosial itu, tapi dia enggak tahu,” jelasnya.
Kelompok Tani Maju Bersama yang menerima izin dalam land clearing itu merupakan orang-orang yang tidak pernah memanfaatkan lahan tersebut untuk kepentingan perhutanan sosial di Desa Bakungan.
“Mereka yang selama ini menanam sengon, jengkol, dan lain-lain, itu tidak dilibatkan dalam perizinan itu. Fakta di lapangan, tanam tumbuh mereka disikat pakai excavator,” ungkapnya.
Kelompok Tani Maju Bersama dan PT IHM, tegas Arie, menghancurkan tanam tumbuh milik warga karena berdalih memegang izin. Padahal, izin yang mereka pegang pun sejatinya bermasalah.
Arie menegaskan, izin dalam perhutanan sosial berbeda dengan izin pertambangan, kelapa sawit, dan HTI. Pasalnya, izin pengelolaan perhutanan sosial harus melibatkan orang-orang yang telah lama mengelola lahan tersebut.
Mestinya, Kelompok Tani Maju Bersama dan PT IHM mengajak para pengelola lahan tersebut untuk menjadi pemilik saham, yang kemudian dinaungi oleh koperasi.
“Tapi, faktanya bukan seperti itu. Mereka justru yang jadi korban,” bebernya.
Penghancuran tanam tumbuh milik warga, ungkap Arie, mulai dilakukan pada tahun 2018. Luas lahan tersebut sekitar 1.356 hektare.
“Yang bergejolak ini dari Kelompok Tani Maju Bersama, karena tanaman mereka banyak dihancurkan,” ungkapnya.
Arie menegaskan, ratusan warga tersebut sejatinya ingin diakomodir dalam perizinan pengelolaan lahan yang dipegang oleh Kelompok Tani Maju Bersama dan PT IHM.
Kemudian, mereka juga menuntut agar tanam tumbuh warga yang dihancurkan oleh Kelompok Tani Maju Bersama dan PT IHM dalam proses land clearing tersebut diganti rugi.
“Mereka harus bertanggung jawab. Harus ada ganti rugi yang diberikan. Walaupun itu bertentangan dengan aturan, mereka sendiri juga mengatakan telah melanggar aturan,” tegasnya. (*)