Oleh: Arif Sofyandi*
Beberapa hari terakhir, santer sekali pemberitaan para pejabat di negeri ini yang melakukan kejahatan bahkan dapat dikatakan sebagai kejahatan yang sangat luar biasa. Bagaimana tidak, seorang pemimpin atau rektor di sebuah perguruan tinggi melakukan praktek yang sangat tidak terpuji. Tentu hal demikian dapat membuat marwah perguruan tinggi tergadai, karena ulah oknum yang tidak bertanggung jawab.
Kapasitasnya sebagai rektor, tetapi praktek yang dilakukan mengalahkan koruptor. Sungguh memalukan dan mencoreng nama baik dunia pendidikan. Insan pendidik, tetapi melakukan perbuatan yang sangat tidak mendidik. Tidak bersyukur atas usaha dan karunia yang diberikan Tuhan. Jabatan yang begitu tinggi dan prestisius, tetapi uang telah menggelapkan mata hingga akhirnya ditetapkan sebagai tersangka.
Saya terkadang berfikir atas jabatan yang tidak diraih dengan prestasi tetapi didapatkan dari sekedar relasi. Sebab jabatan yang diraih karena prestasi akan terlihat bahwa orangnya benar-benar teruji. Tentu, berbeda dengan mereka yang mendapatkan jabatan karena relasi. Biasanya, selain kualitas tidak teruji, mereka juga terkadang berkhianat. Karena mereka tidak memahami substansi.
Sebagai contoh misalnya, ketika diberikan kepercayaan sebagai seorang rektor, maka pribadi tersebut harus mencerminkan dirinya sebagai seorang rektor. Karena dia merupakan pemimpin suatu universitas, berarti ia harus memberikan contoh dan keteladanan kepada para dosen di bawahnya, pegawai dan atau karyawan serta seluruh mahasiswa yang menjadi pelajar di universitas tersebut.
Rektor sebagai Role Model
Hari ini, mungkin banyak yang mengabaikan persoalan sederhana ini. Namun, pengaruhnya sangat besar sekali karena pemimpin adalah sebagai role model dari universitas tersebut. Jika seorang role model memberikan contoh yang baik berarti semuanya akan baik. jika role model tidak baik, berarti ada kemungkinan orang-orang yang ada di bawahnya akan mengikuti perilaku buruknya. Semoga saja tidak.
Pepatah klasik menyebutkan “guru kencing berdiri, murid kencing berlari”. Mengacu pada pepatah klasik tersebut, saya kadangkala khawatir, jika pemimpin di suatu universitas melakukan kejahatan yang biasa, maka orang-orang di bawahnya akan melakukan kejahatan yang luar biasa. Apalagi mahasiswa yang belajar langsung darinya. Tetapi saya berfikir positif, semoga saja tidak. Karena itu, misalnya dalam memilih pemimpin memang terkulalifikasi. Bukan saja terkualifikasi dalam bidang akademik, tetapi harus dilihat juga dari aspek filosofis, sosiologis, historis, yuridis dan psikologis .
Mengapa fit and proper test harus seketat itu? Jawabannya sederhana, agar mendapatkan pemimpin yang ideal, dan memberikan keteladanan kepada semua. Tidak cacat dari berbagai aspek, sehingga ia pun dapat mencetak generasi yang terkualifikasi dan ideal.
Rektor Wajib Terkualifikasi
Rektor memiliki sikap dan fungsi kepemimpinan. Pandangan saya tentu langsung tertuju kepada sosok mulia, yakni Nabi Muhammad Saw. Pemimpin yang dikenal sebagai pemimpin yang adil dan paling ideal di alam semesta ini. Karena kehadirannya tidak hanya sebagai pemimpin bagi seluruh manusia melainkan pemimpin bagi seluruh alam semesta.
Allah SWT dalam qurannya telah menyebutkan, “Dan tidaklah Aku mengutus Nabi Muhammad Saw kecuali memberikan rahmat bagi seluruh alam.” (Al-Anbiya: 107) Firman ini menegaskan kepada seluruh makhluk di alam semesta bahwa ia diutus untuk menjadi rahmat. Tidak hanya bagi manusia, tetapi bagi flora, fauna dan seluruh alam semesta.
Karena itu, pada dirinya terdapat kualitas yang terkualifikasi dan ideal. Dalam Alquran diterangkan, “Sesungguhnya telah ada pada diri Rasulullah Muhammad Saw suri tauladan yang baik bagimu.” (Al-Ahzab: 21) Ayat ini menegaskan bahwa tidak ada contoh terbaik yang harus dijadikan tauladan kecuali sosok mulia Nabi Muhammad Saw.
Di dalam dirinya terdapat beberapa kriteria yang terkualifikasi dan ideal. Karakter yang ada pada dirinya yang pertama adalah siddiq atau benar. Pribadi atau kualitas diri yang memang sudah teruji kejujurannya, berarti bukan pembohong atau pembual apalagi yang menyebarkan berita hoaks dengan bukti yang tak berdasar.
Karakter kedua, ia memiliki karakter amanah yang artinya dapat dipercaya. Bahkan ia mendapatkan predikat sebagai Al-Amin atau yang dapat dipercaya. Begitu pula dalam kualifikasi pemilihan rektor dan lainnya harus terpercaya walaupun tidak medapatkan gelar Al-Amin.
Ketiga, ia memiliki karakter tabligh atau menyampaikan. Karakter ini harus ada pada diri setiap rektor atau pemimpin, karakter yang selalu menyampaikan kebenaran. Jika kebenaran yang disampaikan Nabi Muhammad Saw adalah wahyu dari Allah, maka karakter rektor atau pemimpin yang tabligh adalah yang menyampaikan kebenaran tidak hanya memahami fenomena dengan pertimbangan akal dan hati nurani, tetapi juga mendahulukan pendekatan Alquran, Hadis dan pendapat para ulama sebagai panglima.
Keempat, karakter yang dimiliki oleh rektor dan atau pemimpin adalah fathonah atau cerdas. Di bidang akademik, doktor dan profesor, tentu tidak diragukan lagi kualitas dan kapasitas keilmuannya. Bukan untuk menggurui, mohon maaf, semaaf-maafnya, tetapi keilmuan tersebut harus diselaraskan dengan pemahaman tentang agama agar tetap tegak lurus dan terhindar dari praktek korupsi dan sejenisnya.
Universitas sebagai Rumah Besar Peradaban
Universitas sebagai rumah besar peradaban harus menghadirkan nilai-nilai yang ramah. Nilai ramah ini diukur dari ekosistem universitas yang senantiasa menerapkan nilai-nilai intelektualitas dan keadaban. Karena itu, universitas harus menampilkan nilai-nilai intelektualitas dan adab yang baik di lingkungannya, sehingga akan menjadi rumah surga yang dirindukan.
Tentu dimulai dari pengelola, para pengajar dan atau stafnya, sehingga nilai-nilai ramah tersebut akan menular kepada seluruh mahasiswanya. Sebuah teori klasik menjelaskan bahwa pada setiap diri manusia ada proses peniruan, apalagi para insan pembelajar yang memang tugasnya untuk belajar.
Bararti mereka akan cenderung meniru segala sesuatu dari lingkungannya, terutama dari para pengajarnya. Kalau kita mengambil Hadis Nabi Muhammad SAW sebagai rujukan, maka beliau menyebutkan, “Sesungguhnya tidaklah aku diutus (Nabi Muhammad SAW) kecuali untuk menyempurnakan akhlak.” (HR. Al-Baihaki dari Abu Hurairah R.A)
Hadis tersebut menjelaskan kepada kita tentang pentingnya memiliki dan menerapkan ilmu dan akhlak yang baik. Bisa dibanyangkan bagaimana jika di sebuah universitas menerapkan nilai-nilai intelektualitas dan akhlak yang baik. Mulai dari rektor, para dosen pengajar, staf dan seluruh mahasiswanya menerapkan nilai-nilai tersebut, maka tidak hanya ramah yang dapat kita saksikan, melainkan juga rahmat dari Allah SWT.
Karena itu, Allah SWT berfirman, “Dan sekiranya penduduk negeri beriman dan bertakwa, Allah pasti akan melimpahkan kepada mereka rahmat dari langit dan dari bumi.” (Al-Araf: 96) Nilai inilah yang harus dijemput oleh seluruh universitas di negeri ini. Jika nilai ramah telah diaktualisasikan, maka pasti akan mendapatkan rahmat dari Allah SWT. Jika mereka telah mendapatkan rahmat dari Allah, maka dapat dipastikan bahwa mereka akan mendapatkan kebahagiaan di dunia dan di akhirat. (*Dosen Universitas Pendidikan Mandalika Mataram)