Search
Search
Close this search box.

Melihat Revolusi Iran dalam Konteks Keindonesiaan

Listen to this article

Oleh: Dr. Muhsin Labib*

Tulisan ini tidak ditulis untuk mengulang narasi sejarah Revolusi Islam Iran, karena yang lebih relevan dan kompeten adalah narasumber domestiknya, namun ditulis dengan apresiasi proporsional oleh orang yang mencintai Tanah Airnya sendiri sebagai wujud komitmen kebangsaan juga mengapresiasi Iran sebagai wujud  komitmen kemanusiaannya, sebagaimana ditegaskan oleh Bung Karno tentang keseimbangan nasionalisme dan internasionalisme dalam banyak pidatonya.

Kilas Balik

Advertisements

Sejak jatuhnya dinasti Otoman (yang diratapi oleh para penggemar utopia khilafah) dunia Islam terpuruk dan tercabik oleh kolonialisme imperialisme. Konflik dan pemberontakan terjadi di setiap negara.

Hijaz sebagai pusat agama Islam disulap jadi properti satu orang dengan lusinan istri dan selir lalu diberi nama keluarga. Mesir yang dianggap sebagai kiblat peradaban Islam justru tergadai oleh Perjanjian Camp David setelah keok dalam perang 6 hari.

Pria tua yang berpuluh tahun terusir dari negerinya, dipisahkan dari bangsanya, terasing dari berjuta muridnya tiba-tiba menjadi headline surat kabar dan topik berita radio dan televisi dunia, termasuk Indonesia. Sebuah nama baru dalam sekejap menjadi buah bibir dan tema utama perbincangan. Iran adalah nama yang tertutup oleh gegap gempita Mesir dan Saudi sekonyong-konyong mendunia. Syiah adalah sebutan asing yang tiba-tiba hadir dalam setiap forum. Setiap menit breaking news mewartakan detik per detik pernyataan penting pria berjenggot yang dikerumuni insan-insan di sebuah desa di pinggiran kota Paris yang memutih salju.

Pria kelahiran Khomain itu menyihir penduduk dunia saat menuruni anak tangga Air France di Tehran menumbangkan kerajaan Shahan Shah Reza Pahlevi, anak emas AS di Timur Tengah. Majalah Time, Le Monde, Der Spiegel dan seluruh media cetak berlomba memajang paras kharismatik.

Dunia digegerkan oleh sebuah revolusi mistik yang menggeser kehebohan revolusi Perancis, revolusi Industri Inggris dan revolusi Bolshevik.

Dengan gerakan multi faksi filosof dan agamawan (dari belahan dunia di luar radar dunia Islam yang bercorak Arab) memimpin sebuah revolusi berdimensi mistik, filosofis dan politik pada Februari 1979 dan membuang puing-puing kekaisaran Persia berusia 2500 tahun ke tong sampah sejarah. 22 Bahman mengabadi sebagai monumen sejarah kebangkitan melawan tiran arogan.

Umat Islam di seluruh dunia menyambut revolusi ini seraya menganggapnya sebagai kebangkitan Islam. Tak ada yang menyebut Syiah dan tak satu pun yang mempersoalkan ke-Persia-an. Di Indonesia semua Ormas, bahkan kelompok yang beraroma Wahabi pun menyambutnya. Generasi muda terutama mahasiswa, yang sebagian menjadi tokoh politik saat ini, mengelu-elukan nama pencetus revolusi itu. Ayatullah Khomeini adalah nama yang sangat populer. Mereka yang kecewa terhadap partai-partai Islam dan terhadap Orba juga gerakan-gerakan radikal, menemukan sosok ulama yang bukan hanya bisa ngaji dan memimpin tahlil, tapi mampu menggerakkan bangsa dengan peradaban menjulang menumbangkan monarki yang kuat dan represif. Mereka mencari tahu tentang dasar dan latar belakang munculnya revolusi besar ini. Kedubes Iran di Menteng mendadak ramai setiap hari karena  dikunjungi gelombang pemuda dan mahasiswa yang datang dari seluruh penjuru Tanah Air. Demam Iran dan Khomeini melanda kampus-kampus negeri dan swasta terutama Jakarta, Bandung dan Makassar.

Dahaga penasaran para pemuda berwarna hijau yang islamis dan yang berwarna merah yang sosialistik juga yang abu-abu terhapus oleh dua pemikir putra revolusi dengan dua pendekatan yang saling melengkapi. Ali Shariati yang menghidupkan gairah proletarianisme dengan analisa anti kelas yang dihadirkan dalam retorika yang menggelegar. Murtadha Muthahhari mengupas pandangan-pandangan Barat modern dari Rasionalisme Cartes, Empirisisme Locke, Positivisme Comte, Idealisme Hegel, Eksistensialisme Sartre lalu Marxisme hingga Pragmatisme James dan Psikoanalisa Freud dengan basis filsafat peripatetik Ibnu Sina, Iluminasionisme Suhrawardi, Monisme Ibnu Arabi dan Transendentalisme Sadra. Semua dijungkirkan dengan aksioma dan postulat yang kokoh. (Ini terjadi sebelum drama WTC dan mobilisasi agen Wahabisme ideologis ke seluruh dunia Islam dan mulai mengusung khilafah dengan tokoh buatannya Osama ben Laden).

Iran Kini

Dengan segala tekanan politik, diplomasi, ekonomi, budaya dan media sejak berdiri hingga kini yang diawali dengan operasi Blue Light lalu agresi militer rezim Saddam yang menjadi proksi berlanjut dengan pembekuan aset dan embargo juga pembatasan hak mengembangkan teknologi kemudian pengucilan dengan menjadikannya sebagai musuh bersama bagi dunia Arab sebagai pengganti Israel dan pengucilan di dunia Islam dengan penyebaran provokasi sektarian melalui rezim hipokrit di Teluk hingga destabilisasi situasi politik nasionalnya, Iran berdiri tegak bagai David menghadapi Goliath.

Tentu, Iran tegak dengan membayar mahal, ratusan ribu martir, perdagangan yang terisolir oleh sentra kapitalisme, terkepung oleh jejaring media digital yang terintegrasi oleh relasi kuasa global dan 1001 macam persoalan. “Revolusi kita diletuskan bukan untuk memperoleh semangka yang lebih besar,” tukas Ruhullah Khomeini dalam sebuah wawancara eksklusif. Kawan maupun lawan menerima Republik Islam Iran sebagai fakta unik, sebuah institusi yang mengharmonikan teokrasi dengan demokrasi di kawasan yang Renaisance didesain sebagai teritori kolonial dan new kolonial.

Iran dan Indonesia

Apa pun pilihannya dan sistem negara yang ditegakkannya juga konstitusi dan kebijakan dalam negeri, itu adalah hak legal bangsa sebagai buah referendum. Bangsa-bangsa anti penjajahan menghormati keputusan rakyat Iran sendiri seraya mengakui keunggulannya masing-masing serta berlomba dalam kebaikan, tak perlu merendahkan, apalagi saling mengintervensi dan menyinyiri apalagi mencurigainya. Setiap bangsa punya sejarah, budaya, watak dan karakteristiknya sendiri seraya mempercayai prinsip universal sebagai isu yang sama-sama diutamakannya, seperti kemerdekaan, keadilan dan kedaulatan. Itulah yang menjadi benang merah Indonesia dan Iran.

Bangsa Indonesia yang lebih dulu melakukan revolusi, mendirikan sebuah negara di atas Pancasila dan UDD 45 sebagai buah konsensus para pendiri yang terdiri dari aneka keyakinan dan suku serta daerah dan berjuang mempertahankan anugerah NKRI menghormati keputusan dan perjuangan bangsa Iran untuk merdeka dan berdaulat.

Indonesia dan Iran adalah dua negara besar di dunia Islam yang sedang diganggu dari luar dan dalam demi menjatuhkan sistem konstitusionalnya masing-masing.

Di Indonesia gerakan makar yang bertujuan mengganti sistem negara terutama Pancasila terus terjadi. Di Iran gerakan ilegal yang bertujuan menggulingkan sistem demokrasi yang berasas otoritas keagamaan yang konstitusional juga sering terjadi. Keduanya punya sikap yang tegas terhadap sejumlah isu, terutama Palestina dan ekstremisme.

Mengapa dua negara ini selalu diganggu? Mungkin pertanyaan ini bisa dijawab bila memperhatikan poin-poin sebagai berikut:

Pertama, Indonesia adalah negara Muslim dengan penduduk mayoritas bermazhab Sunni dan jumlah penduduk 182.588.494 jiwa. Iran adalah negara Muslim dengan penduduk terbanyak bermazhab Syiah dan penduduk berjumlah 80,28 juta jiwa.

Kedua, Indonesia adalah negara kaya sumber daya alam dengan minyak, gas dan mineral lainnya. Iran adalah negara kaya sumber daya alam dengan minyak, gas dan mineral lainnya.

Ketiga, Indonesia adalah negara dengan penduduk besar dari aneka suku, etnis, bahasa dan daerah. Iran adalah negara dengan Arya sebagai ras dominan dan aneka ras serta suku lainnya, Turk (Azeri), Baluc, Lour, Arab, Kurdi dan lainnya.

Keempat, Indonesia adalah negara dengan keluasan tanah dan air yang menghimpun 17.503 pulau dengan kekhasan budayanya masing-masing. Iran adalah negara daratan seluas 1.648 juta km.

Kelima, Indonesia adalah negara besar di luar dunia Arab. Iran adalah negara besar di luar dunia Arab.

Keenam, Indonesia dan Iran punya posisi tawar di PBB, OKI dan lainnya serta berpeluang menggantikan peran sentral Saudi dan Mesir untuk memimpin dunia Islam dengan menyebarkan toleransi dan pengembalian Palestina kepada rakyatnya dengan ragam agama di dalamnya.

Aneh bila kita yang berjuang habis-habisan menentang ekstremisme dengan segala macam gerakannya demi menjaga NKRI dan Pancasila ikut-ikutan mendukung aksi ilegal menentang sistematis konstitusional di Iran, negara sahabat karib Indonesia. (*Cendekiawan Muslim)

Advertisements

Bagikan

Kunjungi Berita Alternatif di :

Advertisements

BERITA TERKAIT

Advertisements
POPULER BULAN INI
INDEKS BERITA