Oleh: Mansyur*
Penolakan Mahkamah Agung terhadap upaya hukum Peninjauan Kembali (PK) yang dilakukan oleh mantan Bupati Kutai Kartanegara (Kukar) Rita Widyasari bukan akhir dalam mencari keadilan. Sebab, tidak tertutup kemungkinan baginya untuk mengajukan upaya hukum PK lagi selama beliau masih memiliki novum (bukti baru).
Diketahui, upaya hukum luar biasa merupakan upaya hukum yang hanya dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap (incracht van gewijsde). Disebut luar biasa karena hanya digunakan dalam keadaan tertentu. Dalam KUHAP dikenal dua upaya hukum luar biasa, yaitu Kasasi Demi Kepentingan Hukum (Cassatie in Het Belang van Het Recht) dan PK.
Dasar filosofi lahirnya lembaga PK yakni negara telah salah memidana seseorang yang tidak berdosa, yang mana putusan itu tidak dapat diperbaiki lagi dengan putusan biasa. Negara tidak dibenarkan untuk berdiam diri ketika ada warga negara yang tidak berdosa yang dihukum pidana. Karena putusan yang menjatuhkan pidana pada orang yang tidak bersalah membawa akibat terhadap dirampasnya hak dan kemerdekaan seseorang secara tidak sah.
Dasar historis lahirnya lembaga PK karena untuk mengatasi kesalahan negara yang telah telanjur menghukum Sengkon bin Yakin dan Karta bin Salam, yang mana setelah sekian lama menjalani hukum, mereka terbukti tidak bersalah.
Berdasarkan dasar filosofi dan historis itu, maka pada asasnya upaya PK merupakan kepentingan terpidana dan ahli warisnya, dan bukan kepentingan penuntut umum.
Terkait subjek dan objek yang bisa mengajukan dan diajukan pada lembaga PK, hal ini diatur dalam Pasal 263 ayat (1) KUHAP: “Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas dan lepas dari segala tuntutan hukum, terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung”. Pasal 263 ayat (1) ini juga dikuatkan oleh putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-XIV/2016.
Namun, batasan dalam mengajukan PK atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja (Pasal 268 ayat 3 KUHAP). Menurut M. Yahya Harap, pembatasan upaya PK dalam ketentuan Pasal 268 ayat 3 KUHAP tak menyentuh rasa keadilan. Karena prinsip ini berani mengorbankan keadilan dan kebenaran demi tegaknya kepastian hukum. Sebab, prinsip ini menutup kemungkinan untuk mengejar keadilan dan kebenaran sampai saat terakhir.
Hal itu berakhir ketika mantan Ketua KPK Antasari Azhar mengajukan uji materiil terhadap ketentuan Pasal 268 ayat (3) KUHAP. Permohonan itu diterima oleh Mahkamah Konstitusi dengan mengabulkan permohonan pemohon. Pasal 268 ayat (3) KUHAP pun dihapus. Upaya PK tak lagi punya batasan dalam proses pengajuannya (Putusan No. 34/PUU-XI/2013).
Namun, yang menarik setelah putusan itu, Mahkamah Konstitusi menyatakan Pasal 268 ayat (3) KUHAP dihapus karena bertentangan dengan UUD NRI Tahun 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Lalu, keluarlah Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 7 Tahun 2014 tentang Pengajuan Permohonan Peninjauan Kembali Dalam Perkara Pidana. Dalam SEMA ini dijelaskan, upaya hukum PK hanya bisa dilakukan satu kali.
Menurut saya, ketentuan a qou pada prinsipnya sangat bertentangan dengan putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 34/PUU-XI/2013. Ini bisa kita lihat dalam Poin 3 SEMA yang menegaskan, “Peninjauan kembali dalam perkara pidana dibatasi hanya satu kali”. Jika SEMA ini diterima dan diakui sebagai aturan memberikan batasan untuk mengajukan upaya hukum PK dalam perkara pidana, akibatnya akan ada ketidakseragaman dalam memahami pembatasan upaya hukum PK.
Menurut Ramadhan Kasim, putusan Mahkamah Konstitusi merupakan ketentuan norma undang-undang. Singkatnya, putusan Mahkamah Konstitusi adalah undang-undang. (*Praktisi hukum di Kabupaten Kutai Kartanegara)
*Opini kolumnis ini adalah tanggung jawab penulis. Tidak menjadi bagian dari tanggung jawab redaksi beritaalternatif.com.