Oleh: Ufqil Mubin*
Orang-orang berkerumun di rumah untuk mengantarkan Abu yang akan menjalankan ibadah haji pada tahun 1997. Mereka bergantian menyampaikan doa, menyalaminya, dan berharap beliau kembali ke rumah dengan selamat.
Kala itu, ia masih terlihat masih muda. Pada usianya yang ke-50 tahun, beliau tak pernah merasakan sakit berat. Bahkan setelah kepulangannya dari Tanah Suci, ia masih dikaruniai seorang anak laki-laki, yang menjadi anak terakhirnya dari sembilan anaknya yang lahir dari istrinya yang bernama Halimah.
Tubuh yang tinggi dan berwajah tampan membuatnya disebut sebagai “pacar bersama” oleh para ibu di kampungnya yang terletak di Desa Ncera, Kecaman Belo, Kabupaten Bima, Provinsi Nusa Tenggara Barat.
Kekayaan yang melimpah di tengah krisis ekonomi nasional membuatnya mendapatkan kesempatan untuk menjalankan ibadah haji saat orang-orang kebanyakan di kampungnya masih kesulitan mendapatkan modal untuk mengembangkan pertanian mereka, bahkan sebagian di antaranya masih kesulitan membiayai kehidupan mereka sehari-hari.
Istrinya, Halimah, memberikan dukungan penuh kepadanya. Perempuan yang tak pernah mengenyam pendidikan formal yang berstatus sebagai pedagang tersebut tengah berada dalam puncak kejayaan sebagai pebisnis lintas desa yang menghimpun dan menjual berbagai hasil pertanian di Kecamatan Belo.
Pernikahan keduanya telah membawa berkah yang begitu melimpah meski keduanya berasal dari keluarga yang sangat miskin di Ncera. Saat menikah, mereka hanya memiliki rumah kayu sederhana dan satu petak tanah di bagian utara desa tersebut—tanah yang diwariskan oleh ayah Abu. Keduanya membangun mahligai rumah tangga dengan sangat sederhana tetapi mereka dibekali dengan tekad baja untuk bekerja keras agar keluar dari kemiskinan dan keterbelakangan ekonomi.
Sejak pagi buta, Abu telah berangkat ke sawah untuk membersihkan tanah, menyangkul, dan menanam berbagai tanaman seperti cabai, bawang merah, kacang-kacangan, padi, dan tanaman-tanaman hortikultura lain. Sementara istrinya, setelah solat subuh sudah menerima warga yang menjual berbagai hasil pertanian mereka. Jika tidak sedang masa panen, ia membeli beras ke Pasar Tente untuk dijualnya kembali kepada warga.
Ina, begitu biasanya kami memanggil Ibu, dibekali dengan kemampuan berhitung angka yang kalkulator pun kalah dengan kecepatannya menghitung hasil perjualan barang-barangnya. Ia kerap menegur orang-orang yang salah menghitung atau bahkan mungkin ingin menipunya. Satu waktu, Ina memanggil kembali seorang pedagang yang menjual hasil pertanian Abu karena kesalahannya dalam berhitung. Setelah dihitung ulang, pedagang itu mengakui kesalahannya.
Kemampuan ini yang kerap dipuji oleh Abu. Satu waktu, ia memuji istrinya, “Ibu kamu itu punya keistimewaan dibandingkan saudara-saudaranya yang lain. Meskipun tidak pernah sekolah, dia punya banyak keunggulan.”
Di awal-awal menikah, Ina naik turun gunung menjual tikar ke Desa Sambori, yang jaraknya sekitar 20 kilometer dari Desa Ncera. Dalam sehari, ia bisa hilir mudik ke desa tersebut. Sesampai di rumah, Ina akan mengerjakan pekerjaan lain seperti menjahit pakaian, menganyam tikar, dan memasak untuk anak-anaknya. Praktis, ia hanya istirahat pada malam hari.
Pendapatan dari berdagang inilah yang disimpannya untuk membantu suaminya di bidang pertanian. Abu pun menggunakan uang yang didapatkannya dari hasil pertanian dan perdagangan istrinya untuk membeli tanah di sekitar tanahnya. Ia memperluas lahan pertaniannya hingga satu hektar di sejumlah lokasi yang berbeda hanya dalam waktu kurang dari 10 tahun setelah pernikahan keduanya.
Satu waktu, Abu berkata kepada saya, “Saat mendapatkan uang yang banyak, ada rasa khawatir dalam diri saya. Saya begitu takut menghamburkan uang. Karena itu, saya gunakan untuk membeli tanah.”
Abu juga membeli sapi serta mengembangbiakkannya di rumahnya yang hanya sepelemparan batu dari Masjid Al-Ikhlas Desa Ncera. Semula, sapi tersebut hanya berjumlah beberapa ekor. Kemudian, berkembang pesat menjadi sekitar 20 ekor saat saya berusia 10 tahun.
Sementara di sawah, sependek ingatan saya, sebulan sebelum berangkat haji, Abu menanam bawang. Bawang itu kemudian dipanen oleh Ina saat Abu tengah berada di Tanah Suci. Hasilnya pun sangat melimpah.
Kekayaan yang melimpah dan anak yang berjumlah 6 orang telah dimiliki oleh keduanya saat Abu menjalankan ibadah haji kala para pemuda Indonesia melancarkan gelombang protes untuk menjatuhkan Soeharto dari tampuk kekuasaannya yang telah dipegangnya selama 32 tahun.
Keberangkatannya ke tanah suci ini menjadi perjalanan spiritual yang sangat penting bagi Abu. Di Tanah Suci, ia berikrar untuk menyucikan Allah Swt serta akan beriktiar dengan sungguh-sungguh untuk menjalankan ajaran-ajaran-Nya yang dibawa oleh Nabi Muhammad saw.
Di Tanah Suci itu pula ia memulai aktivitas solat malam, yang kemudian dijalankannya secara konsisten hingga dua bulan sebelum meninggal dunia. Sepulang dari Tanah Suci pula ia berubah secara drastis dari segi spiritual. Abu secara serius mengembangkan pemahaman keislamannya serta menerapkan secara konsisten ajaran-ajaran Islam dalam kehidupannya sehari-hari.
Setengah tahun setelah menjalankan ibadah haji, tanah yang dibelinya yang berdekatan dengan sungai dibawa oleh banjir. Kemudian secara perlahan tergerus oleh banjir. Beberapa tahun kemudian, nyaris 80 persen tanah yang luasnya setengah hektare tersebut, yang menjadi sumber pendapatan terbesar Abu dan Ina di bidang pertanian, tak lagi bisa dipakai untuk area pertanian karena kerap dimasuki banjir.
Ina yang baru sekitar dua tahun melahirkan anak laki-lakinya yang terakhir, yang kemudian diberi nama Abdullah, mengidap penyakit skizofrenia. Praktis, Abu menghadapi ujian bertubi-tubi dalam perjalanan hidupnya pasca menjalankan ibadah haji: istri yang sakit parah dan kekayaan yang “diambil” oleh Allah melalui bencana alam. Sementara anak-anaknya masih kecil. Anak tertua, yang diberinya nama Siti Fajriani, kala itu masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. Sementara saya, baru berusia 11 tahun. Duduk di kelas 4 sekolah dasar.
Di tengah badai yang sedang mengguncang hidupnya, Abu tak menyerah. Ia menjadi ibu sekaligus ayah bagi anak-anaknya. Beliau juga tak meninggal istrinya. Ia pun tak menikah lagi meskipun fisiknya masih sangat sehat dan kuat untuk menikah lagi. Abu memilih setia dengan istrinya serta menemaninya di tengah penyakit menggerogoti ingatannya. Ia selama bertahun-tahun berusaha keras untuk mengobati dan menyembuhkan perempuan yang telah melahirkan sembilan anak tersebut. (*Redaktur Berita Alternatif)