Oleh: Husein Alkaff*
Lebih dari tiga puluh lima tahun yang lalu guru saya, almarhum Ustadz Husein bin Abubakar Alhabsyi, bercerita tentang seorang yang dikenal sebagai orang yang paling pemberani di tengah bangsa Arab. Orang itu bernama ‘Antarah bin Syidad Al’absi.
Selain seorang pemberani, Antarah juga sebagai penyair ulung. Dia dan Umru al Qays al Kindi serta lima penyair Arab lainnya adalah pemilik al Mu’alaqaatu al Sab’u (tujuh gubahan syair yang digantung di dinding Ka’bah), sebuah penghargaan prestisius yang sangat tinggi atas karya sastra Arab pada zaman jahiliah sebelum Islam datang.
Alkisah. Ada seorang pemberani Arab ingin menguji keberanian Antarah dan mengajaknya untuk berduel. Dia pergi untuk menemui Antarah. Saat bertemu dengan Antarah, terjadi sebuah dialog pendek antara keduanya.
Orang itu berkata, “ Aku dengar bahwa engkau orang yang paling berani di antara bangsa Arab. Aku ingin menantangmu untuk bertanding”.
Antarah menjawab, “Aku bukan seorang pemberani, tapi aku seorang yang paling tabah, dan sesungguhnya keberanian adalah ketabahan beberapa saat”.
Kemudian keduanya bersepakat untuk berduel. Sebelum berduel, Antarah berkata, “Letakkan satu jarimu di antara gigi-gigiku dan aku letakkan satu jariku di antara gigi-gigimu. Lalu kamu menggigit jari-jariku dan aku menggigit jari-jarimu. Siapa yang pertama kali menjerit berarti dialah yang kalah”.
Pertandingan dimulai. Masing-masing dari dua orang itu menggigit jari-jari lawannya. Darah mulai keluar dari mulut mereka. Tidak lama kemudian sang penantang menjerit kesakitan. Dengan itu, Antarah-lah sebagai pemenang.
Kemudian Antarah berkata kepada lawannya, “Seandainya engkau bersabar sedikit, maka akulah yang akan menjerit. Aku memiliki kesabaran dalam berbagai perkelahian dan peperangan sehingga aku dikenal sebagai orang yang paling pemberani”.
Ucapan Antarah bahwa “keberanian adalah ketabahan beberapa saat” merupakan rahasia dari semua prestasi yang dicapai oleh siapa pun: person, kelompok, masyarakat dan bangsa.
Untuk mencapai kemenangan dan keberhasilan dibutuhkan keberanian dan kesabaran. Orang, kelompok, masyarakat dan bangsa yang tidak berani untuk maju dan tidak bersabar demi kemajuannya, maka mereka tidak akan dapat mengubah keadaan. Mereka akan tetap stagnan dan jumud sehingga pada gilirannya akan tertinggal dan menjadi pengekor yang lain.
Melihat peristiwa berdarah-darah, jeritan anak-anak dan ibu-ibu yang tak berdosa dan ledakan bom yang ditumpahkan dari pesawat tempur di pasar, kebun peternakan dan pertanian, sekolah bahkan upacara pernikahan yang terjadi di Yaman sejak tujuh tahun yang lalu hingga saat ini mengingatkan saya pada cerita al marhum Ustadz Husein Alhabsyi di atas.
Di Yaman tengah berlangsung perang yang tidak seimbang dari sisi persenjataan dan dukungan moril maupun materi serta pemberitaan media. Di satu sisi, Arab Saudi yang mempunyai segalanya: senjata, dukungan dan media, dan di sisi lain yang berhadapan dengannya, satu elemen rakyat Yaman yang puluhan tahun tidak mendapatkan haknya. Mereka bangkit untuk menuntut haknya yang konstitusional dari rezim yang didukung oleh Arab Saudi. Sebagian pengamat politik berpendapat bahwa yang terjadi di Yaman adalah pembantaian dan genosida terhadap sebuah kelompok yang bangkit.
Kebangkitan kelompok al Houthi yang tertindas dan termarjinalkan itu lambat laun mendapatkan dukungan dan simpati dari kelompok-kelompok lainnya, yang pada akhirnya mereka bersatu dalam sebuah gerakan yang dinamai dengan Ansharullah.
Perang atau pembantaian itu hingga saat ini masih berlangsung. Pihak yang miskin senjata, dana, media dan dukungan internasional dari waktu ke waktu menunjukkan mental juang yang mengundang decak kagum masyarakat dunia. Mereka pantang menyerah dan sesekali memberikan perlawanan ke Arab Saudi dengan menyerang beberapa tempat yang sangat vital seperti Armco dan beberapa bandara seperti di Jizan, Najran dan Abha’.
Serangan kelompok Ansharullah, yang tidak seberapa itu, jika dibandingkan dengan serangan militer Arab Saudi yang membabi buta dan memakan banyak korban jiwa dari rakyat kecil, telah membuat Arab Saudi kewalahan. Berkali-kali Arab Saudi menawarkan diri untuk melakukan gencatan senjata, namun Ansharullah menolak tawaran itu selama embargo laut dan darat tidak dicabut, dan selama Arab Saudi ikut campur urusan dalam negeri Yaman.
Saat ini tengah berlangsung latihan militer bersama antara militer Amerika, Israel, Emirat dan Bahrain di Laut Merah yang tidak jauh dari Kota Hudaidah, Yaman. Latihan militer ini, menurut sebagian pengamat, sebagai respons atas jatuhnya Kota Ma’rib yang strategis di Yaman ke tangan para pejuang Ansharullah. Negara-negara itu merupakan bagian dari koalisi yang dipimpin Arab Saudi dalam menyerang Yaman.
Tanah Yaman saat ini menjadi bukti nyata, dan masyarakat dunia bersaksi bahwa keberanian dan kemenangan tidak ditentukan oleh kekuatan militer, dana dan media. Kemenangan yang sesungguhnya diberikan oleh Allah Swt kepada pihak yang sabar dan tabah.
Di Yaman saat ini, telah muncul Antarah-Antarah baru. Antarah dan Yaman mengajarkan kepada dunia bahwa dalam sebuah pertempuran, kemenangan tidak selalu diwujudkan dengan mengalahkan atau melumpuhkan kekuatan musuh. Ketika satu kelompok tidak menyerah, atau enggan mengangkat bendera putih, di hadapan musuh yang kuat, maka kelompok ini tidak bisa dianggap kalah. Bertahan dan tidak mengikuti kehendak musuh yang kuat adalah sebuah kemenangan, meski dengan mengorbankan nyawa. (*Cendekiawan Muslim Indonesia)