Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Banyak orang keburu menolak secara total khilafah tanpa membedakan konteks karena terpengaruh ratusan narasi di medsos yang mengecam khilafah sebagai ancaman terhadap NKRI.
Padahal pengiman khilafah adalah orang yang mengimani Khilafah Rasyidah sebagai model kepemimpinan yang dalam fakta sejarah dipegang secara berurutan oleh empat orang sahabat Nabi yang kemudian diberi gelar Khulafa’ Rasyidun, yang dalam Indonesia dibaca Khulafa’ur-Rasyidin.
Atas dasar itu, umat Muslim yang menerima khilafah disebut pengikut Sunnah dan Jamaah. Penetapan ini secara niscaya mengeluarkan sebagian umat yang tidak mengimaninya.
Karena prinsip khilafah itulah, mayoritas umat Islam, terutama di Timur Tengah sepanjang sejarah berada di bawah kekuasaan yang disebut khilafah yang diterima sebagai sistem kepemimpinan dari khilafah Umawiyah kemudian khilafah Abbasiyah hingga khilafah Utsmaniyah. Para penguasa dalam tiga dinasti itu disebut khalifah.
Terbunuhnya Sayidina Ali, khalifah keempat, (yang dilanjutkan diracunnya Sayyidina Hasan dan dibantainya Sayyidina Husain), menandai berdirinya khilafah Umawiyah oleh khilafah Umawiyah dari Muawiyyah bin Abi Sufyan (41-60H/661-680M) kemudian Yazid bin Muawiyyah (60-64H/680-683M). Selanjutnya Muawiyyah bin Yazid (64-64H/683-68M), Marwan bin Hakam (64-65H/683-685M), Abdul Malik bin Marwan (65-86H/685-705M) hingga Walid bin Abdul Malik (86-96H/705-715M) adalah para khalifah yang berkuasa secara berurutan.
Khilafah Umawiyah di Damaskus runtuh pada Januari 750 M, ketika Khalifah Marwan II dikalahkan oleh pasukan Abbasiyah dalam Pertempuran Zab. Setelah kalah, Marwan II melarikan diri ke Mesir, dan akhirnya terbunuh pada bulan Agustus di tahun yang sama.
Khilafah Abbasiyah pun setelah lama berdiri dan melakukan ekspansi juga aneksasi ke sejumlah wilayah, termasuk Eropa, runtuh seiring dengan invasi Hullagu Khan, seorang pemimpin bangsa Mongol yang dikenal memiliki misi menguasai negeri-negeri Muslim.
Khilafah ketiga adalah khilafah Utsmaniyah yang semula didirikan oleh suku-suku Turki di bawah pimpinan Osman Bey atau Osman I. Dengan ibu kota berada di Konstantinopel, negara adidaya ini pernah menguasai wilayah yang luas di Timur Tengah, Eropa Timur, dan Afrika Utara selama lebih dari 600 tahun (1299-1924 M).
Namun, khilafah Ottoman/Utsmaniyah menyusut setelah sejumlah wilayah di Eropa timur berhasil melepaskan diri. Sejumlah wilayah Arab memberontak dalam Perang Dunia I (1914-1918), hingga kesultanan kalah sepenuhnya. Tanggal 3 Maret 1924 Mustafa Kemal Pasha berhasil meruntuhkan kekhalifahan Turki Utsmani.
Sebagian besar umat Islam Ahlussunnah menerima fakta itu dan beradaptasi dengan sistem modern demokrasi di setiap wilayahnya atau membangun kerajaan sendiri seperti Saudi sebagai bagian dari kesepakatan dengan Inggris yang menjadi pemenang perang dunia pertama.
Di Indonesia, Pancasila tak langsung disepakati dan diterima oleh umat Islam secara bulat dengan slogan “harga mati”. Sebagai organisasi yang didirikan oleh para ulama pejuang, Nahdlatul Ulama (NU) yang sempat menjadi bagian utama Masyumi mendukung Piagam Jakarta yang menekankan pentingnya penegakan Syariat Islam. Namun, dalam muktamar NU di Situbondo, NU akhirnya menyatakan diri untuk ‘Kembali ke Khittah 1926’ yaitu tidak lagi berpolitik praktis dan menerima Pancasila sebagai asas tunggal.
Langkah transformatif ini juga dilakukan Muhammadiyah. Di era reformasi ormas Islam terbesar kedua ini akhirnya menetapkan asas Dar al-Ahd wa asy-Syahadah, yang mirip Dar ash-Shulh-nya NU, sebagai basis yurisprudensial bagi keabsahan teologis negara Pancasila. Dar al-Ahd dan Dar asy-Syahadah merupakan elaborasi konseptual antara doktrin Siyar–hukum perang dan hubungan internasional dalam tradisi Islam–dan Pancasila. Tujuannya untuk memberi pedoman kepada para aktivis Muhammadiyah ihwal hubungan negara dan organisasi, sebagai fondasi pertahanan ideologis, alat harmonisasi politik, serta manifestasi intelektual dan politik yang menekankan pentingnya nasionalisme.
Bila dicermati lebih jauh, penerimaan Pancasila sebagai asas tunggal oleh NU dengan prinsip
Dar al-Harb dan Dar al-Islam juga oleh Muhammadiyah dengan asas Dar Al-Ahdi wa Asy-Syahadah merupakan justifikasi yurisprudensial alternatif dalam fikih siyasah sebagai jalan tengah.
Terlepas dari itu, peneguhan sikap Muhammadiyah dan NU mengenai Pancasila tersebut, bisa disimpulkan bahwa konsep khilafah sebagai sistem pemerintahan adalah irrelevan di Indonesia.
Namun sebagian umat yang tersebar di setiap negara pecahan eks khilafah Otoman meratapi berakhirnya khilafah Utsmaniyah yang terlanjur diyakini sebagai kelanjutan dari khilafah Abbasiyah, Khilafah Umawiyah dan Khilafah Rasyidah empat sahabat. Mereka melakukan konsolidasi dalam sebuah pergerakan yang terorganisasi demi merencanakan pendirian kembali khilafah yang menghimpun seluruh negara di dunia Islam dalam satu kekuasaan sentral.
Pada 1953 Taqiuddin al-Nabhani, seorang hakim pengadilan di Palestina, mendirikan partai lintas negara bernama Hizbut Tahrir, yang berarti Partai Pembebasan yang konon kini telah mempunyai cabang di 45 negara di Dunia Islam kecuali negara-negara Islam yang mayoritas penduduknya bermazhab Syiah.
Karena menempuh metode dakwah dan perekrutan secara damai, partai ini dinilai lamban dan tidak efektif. Sejumlah kadernya pun menempuh jalur konfrontasi dengan mendirikan organisasi garis keras demi mempercepat pendirian khilafah global.
Pada tahun 1988 Usamah bin Laden, putra konglomerat keluarga kontraktor asal Yaman yang sukses di Arab Saudi, mendirikan Tanzhim Al-Qaidah dan memperoleh dukungan para eks pejuang Afghanistan yang menamakan diri Taliban (para santri). Tragedi WTC dianggap sebagai momen kemunculannya.
Organisasi paramiliter ini dinilai gagal mempertahankan eksistensinya akibat metode aksi-aksinya, terutama sejak pecah dari Taliban dan invasi AS bersama NATO di Afghanistan.
Tidak berselang lama dua provinsi dalam waktu beberapa hari dikuasai oleh sebuah pasukan yang menyatakan diri sebagai organisasi pengusung khilafah yang berencana menguasai wilayah Syam (Irak, Suriah, Jordania dan Lebanon). Dunia geger karena aksi-aksi super sadisnya. Irak dan Suriah pun dikacaukan.
Selama beberapa tahun dunia dihantui oleh aksi-aksi teror besar di negara-negara Islam terutama di Irak dan Suriah. Irak nyaris jatuh. Suriah di ujung tombak. AS dan Turki justru menjadikan organisasi ini sebagai alat untuk menggulingkan Bashar Assad yang dianggap sebagai ancaman bagi eksistensi rezim okupasi dan kepentingan imperialistiknya di Timur Tengah. Berkat dukungan Iran bersama sekutunya di Lebanon dan Rusia, Suriah lolos. Berkat kebangkitan rakyat yang dimobilisasi oleh Sayyid Sistani dan dukungan Iran, Irak selamat. Organisasi yang dipimpin oleh figur yang mengklaim khalifah ini pun hancur dan menyisakan beberapa kelompok kecil yang bertikai sendiri di beberapa wilayah perbatasan di Suriah dan Irak.
Dinamika di Timur Tengah dan berakhirnya Arab Spring tidak otomatis menyurutkan para pengusung khilafah. Para kader Partai Pembebasan yang sejak semula tidak menempuh metode konfrontasi politik dan militer justru makin berkembang, termasuk di Indonesia.
Terlepas dari fenomena di atas, dapat disimpulkan sebagai berikut: Pertama, mayoritas umat mengimani khilafah sebagai doktrin sektarian keagamaan, karena mayoritas mengimani khilafah empat sahabat sebagai kepemimpinan ideal.
Kedua, mayoritas umat pengiman khilafah menerima fakta runtuhnya khilafah dan menganggapnya irrelevan dalam masyarakat heterogen serta menerima sistem modern demokrasi di atas asas yang diterima bersama yang diperjuangkan oleh pengimannya.
Ketiga, minoritas umat tetap memimpikan berdirinya khilafah sebagai sistem kekuasaan sentral atas negeri-negeri Islam.
Keempat, sebagian dari para pemimpi berdirinya khilafah menempuh metode konfrontasi. Sebagian lain tetap konsisten dengan metode dakwah alias mengajak umat memimpikan khilafah dengan mengetengahkan tafsir atas sejumlah teks agama.
Karena mendakwahkan pendirian khilafah berarti mengajak masyarakat meninggalkan Pancasila dan UUD yang menjadi dasar negara yang dihuni oleh bangsa yang majemuk, maka organisasi pengusung khilafah ini dianggap sebagai ancaman terhadap NKRI. (*Cendekiawan Muslim)