Kukar, beritaalternatif.com – Sejak terpilih sebagai Kepala Desa Giri Agung, Kecamatan Sebulu, Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) dua tahun lalu, Supriyadi telah menekankan dan mengarahkan pembangunan desa yang dipimpinnya dengan berbasis pada sektor pertanian.
Alasannya, Giring Agung memiliki “lahan tidur” mencapai 40 persen dari luas wilayahnya. Hingga kini lahan tersebut belum dijamah dan digarap oleh para petani di Giri Agung.
Selain itu, sebanyak 90 persen penduduk Giri Agung berprofesi sebagai petani. Sementara sisanya adalah Pegawai Negeri Sipil (PNS), pegawai pemerintahan, guru, dan profesi lainnya.
“Dalam proses pembangunan desa, saya lebih banyak arahkan pada sarana dan prasarana pertanian,” ungkap Supri kepada beritaalternatif.com baru-baru ini.
Karena itu, anggaran desa pun difokuskan untuk pembangunan dan pengembangan sektor tersebut. Salah satunya, Alokasi Dana Desa (ADD) digunakan untuk pembangunan jalan-jalan usaha tani.
Hal ini bertujuan untuk meningkatkan produktivitas di sektor pertanian. Berkat usaha ini, pada 2020 atau di tahun pertama memimpin desa, ia sudah mampu meningkatkan hasil pertanian di Giri Agung.
Jika sebelumnya panen hasil pertanian hanya dilakukan satu kali dalam setahun, dua tahun lalu para petani di Giri Agung dapat memanen hasil-hasil pertanian sebanyak dua kali setahun.
“Panen dua kali ini setahun ini bisa dilakukan di perkebunan dan sawah,” bebernya.
Peningkatan kuantitas panen setiap tahun terjadi karena para petani mendapatkan kemudahan setelah akses menuju lahan-lahan pertanian dibangun oleh Pemerintah Desa (Pemdes) Giri Agung.
Lahan yang sebelumnya merupakan “lahan tidur” kemudian dibuka dan digarap oleh para petani Giri Agung karena keberadaan infrastruktur jalan menuju lahan pertanian.
Kemudian, Pemdes Giri Agung juga menyediakan saluran-saluran air untuk lahan pertanian. Bila sebelumnya para petani tidak dapat menanam di musim kemarau, keberadaan air mendorong mereka bertani di musim tersebut.
Kata Supri, sejatinya pada tahun 2021 para petani di Giri Agung dapat bercocok tanam sebanyak tiga kali dalam setahun, namun intensitas hujan yang cukup tinggi mengakibatkan lahan-lahan pertanian diterjang banjir.
“Sekitar 40 hektare tanaman padi gagal karena banjir. Padahal sebentar lagi panen. Bulir padinya sudah mulai terbentuk. Karena banjir, akhirnya busuk,” ungkapnya. (*)
Penulis: Ufqil Mubin