BERITAALTERNATIF.COM – Yayasan Abu Dzar Al-Ghifari Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) memotong dan mengurbankan 2 ekor sapi serta membagikan paket sembako pada perayaan Iduladha 1443 Hijriah, yang bertepatan dengan 10 Juli 2022.
Ketua Yayasan Abu Dzar Al-Ghifari Kukar Haidir menjelaskan bahwa hewan kurban itu didapatkan dari iuran pengurus dan simpatisan yayasan tersebut.
“Kita berterima kasih kepada para donatur yang telah mempercayakan penyembelihan dan pengelolaan hewan kurban di Yayasan Abu Dzar Al-Ghifari,” ucapnya.
“Semoga Allah menerima ibadah kurban para donatur yang telah mempercayakan pengelolaan hewan kurbannya kepada Yayasan Al-Ghifari, sehingga mudah-mudahan dengan demikian, para donatur dan penyumbang hewan kurban ini mendapatkan balasan yang setimpal dari Allah, yakni mendapatkan ketakwaan kepada Allah,” lanjutnya.
Ia menjelaskan, daging hewan kurban dan puluhan paket sembako tersebut dibagikan kepada warga di RT 01, Kelurahan Baru, Kecamatan Tenggarong, yang berstatus sebagian fakir, miskin, dan warga di sekitar yayasan tersebut.
“Kita berharap rezeki itu bisa bermanfaat untuk orang lain dan pada momen-momen kebahagiaan itu kita bagikan kepada sebagian orang yang mungkin dalam jangka waktu yang lama tidak merasakan bagaimana kenikmatan terhadap harta benda yang selama ini kita nikmati,” urainya.
Pembagian daging kurban kepada orang-orang miskin merupakan usaha membagikan rezeki yang selama ini sering dinikmati oleh orang-orang yang mampu secara materi.
“Tujuannya adalah memberikan perasaan yang sama, kebahagiaan yang sama, kepada masyarakat yang mungkin jarang sekali mendapatkan kebahagiaan, terutama menikmati hewan kurban yang tentu memiliki nilai ekonomis yang tinggi bagi sebagian masyarakat,” katanya.
Momentum kurban, jelas dia, merupakan upaya menapaktilasi perjalanan Nabi Ibrahim ketika mengurbankan anak kesayangannya, Ismail.
Padahal, Ismail merupakan putra yang telah dinantikan Nabi Ibrahim selama puluhan tahun. Selain itu, Nabi Ibrahim berpisah dengan Ismail selama bertahun-tahun karena ia beserta ibunya, Siti Hajar, ditinggalkan di sebuah gurun tandus.
“Tapi, pada momentum berikutnya, tiba-tiba Nabi Ibrahim ketika bertemu dengan putranya, Ismail, Allah memerintahkan beliau untuk mengurbankan Ismail,” jelasnya.
Kata dia, kesanggupan Nabi Ibrahim untuk mengurbankan Ismail saat kerinduannya begitu besar kepada anaknya, bermakna seolah-olah Allah ingin melepaskan Nabi Ibrahim dari keterikatan emosional dirinya terhadap Ismail.
Haidir memaknai hal tersebut sebagai cara Allah melepaskan ego-ego duniawi antara Ibrahim dan Ismail, sehingga Allah meletakkan hubungan antara Ibrahim dan Ismail sebagai hubungan yang tidak boleh lebih besar dan berat daripada hubungan keduanya dengan Allah.
“Sehingga ini adalah upaya bagaimana memutus ego kemanusiaan antara Ibrahim dan putranya, Ismail,” urainya.
Makna berkurban, lanjut Haidir, merupakan bagian dari perintah Allah agar manusia memerangi berbagai kecenderungannya terhadap materi.
Dia mengatakan, manusia cenderung berusaha memenuhi hajat-hajatnya dengan mengejar harta, takhta, dan kedudukan. Hal ini kerap membuat manusia cenderung lalai untuk mendekatkan diri kepada Allah.
“Sehingga penyembelihan hewan kurban itu adalah simbolisasi dari perintah Allah kepada kita untuk bagaimana kita berani keluar dari keterikatan kita kepada dunia ini dengan cara mengorbankan harta yang selama ini kita nanti, kita usahakan, dan dengan berbagai cara kita usahakan untuk mendapatkannya,” terang Haidir.
Pada momen Hari Raya Kurban, sambung dia, Allah meminta setiap orang untuk mencabut keterikatan emosionalnya dengan harta yang dimilikinya.
“Maka kita gunakan harta itu untuk dibelikan hewan kurban, dan hewan kurban itu kita gunakan untuk kita sembelih sebagai wujud kita menghilangkan keterikatan dan ego kita pada harta benda yang kita miliki,” ujarnya.
Hal ini sama dengan Ismail yang kedudukannya sebagai putra Ibrahim, yang sebenarnya secara duniawi mengikat Ibrahim. Tetapi, ketika Nabi Ibrahim mampu mengurbankan Ismail, hal ini melepaskan ia dari keterikatan pada unsur-unsur duniawi, yang bermakna bahwa Ismail merupakan titipan dari Allah, sehingga Ibrahim tidak boleh lalai kepada yang memberikan titipan tersebut.
“Keberanian itulah yang membuat Ibrahim sebagai orang yang dimuliakan Allah dan Allah menjanjikan kedudukan yang mulia terhadap Ibrahim dan keturunan-keturunannya,” pungkas Haidir. (*)