Oleh: Dr. Muhsin Labib*
Banyak yang tidak tahu bahwa mayoritas Baalwi terutama yang jauh dari lingkaran elite otoritas keagamaan hidup sebagaimana layaknya warga masyarakat pada umumnya, bahkan tidak sedikit yang hidup miskin dan sangat memprihatinkan.
Sebagian besar dari mereka tidak dikenal habib dan sayyid, bahkan tak memasang nama marga. Mereka tak tahu apa-apa soal gonjang ganjing nasab karena memang lebih memikirkan nasib daripada nasab.
Tapi mereka adalah korban pertama yang terdampak secara langsung oleh narasi kebencian yang mulai menjadi stigma negatif satu komunitas.
Seorang janda sakit-sakitan hidup sebatang kara selama 2 tahun di sebuah rumah milik seorang dermawan di sebuah desa.
Beberapa hari lalu pemilik rumah tiba-tiba menyuruh wanita itu membayar biaya kontrak. Dia menghubungi saya untuk menceritakan kejadian itu dan mengeluhkan nasibnya.
Dia mengutarakan keheranannya terhadap perubahan sikap pemilik rumah yang sebelumnya sangat ramah kepadanya. Dia bingung karena tak merasa melakukan kesalahan.
Sambil menahan luapan sedih saya berjanji akan mencari sumbangan dana untuk biaya sewa bulanan rumah. Saya yakin dia terlalu lugu untuk mengikuti isu “penelitian ilmiah” yang sedang heboh di Medsos.
Saya punya hobi bergaul dengan orang-orang pinggiran tanpa membedakan mazhab dan asal usul, meski sebagian dari mereka memikul beban minoritas ganda secara keyakinan dan keturunan.
Ada banyak “habib” kelas trotoar yang seolah tak bebas dari kesialan. Salah satunya adalah pemuda dengan satu ginjal. Akibat tabrak lari, wajahnya rusak dan salah satu ginjalnya rusak dan harus dicabut.
Setelah dinyatakan sembuh, pemuda yang menanggung biaya ayahnya yang stroke dan ibunya yang sudah tua di rumah bedeng di sebuah kota, dia kehilangan pekerjaannya sebagai sopir alat berat proyek.
Meski sulit dapat pekerjaan layak karena pendidikan rendah, pemuda dengan wajah penuh jahitan dan satu ginjal ini tak pernah mengeluh dan selalu ceria juga sopan.
Beberapa hari lalu dia utarakan keinginannya untuk berhijrah ke ibukota dan meminta kesediaan saya untuk menampungnya juga menawarkan jasa driving kepada orang-orang yang memerlukan. Dia meminta bantuan saya karena bersangka baik bahwa banyak orang yang baik di sekitar saya.
Meski mulai bimbang dan pesimis dengan segala sesuatu dalam interaksi sosial sejak maraknya konten video youtube, tiktok dan lainnya yang menghujat semua yang terlahir sebagai keturunan Baalwi di negeri paling ramah di dunia ini, saya sambut rencana kedatangannya.
Saya punya teman yang secara visual lebih dekil dari saya. Ketika baru nikah, dia mendatangi saya dan meminta pekerjaan. Selama satu tahun lebih setiap hari kecuali minggu dia mengantar anak saya ke sekolah dan menjemputnya pulang.
Sejak keluarga saya pindah ke luar Jakarta, saya tak lagi berkomunikasi dengannya karena nomer ponselnya tak bisa dihubungi. Beberapa tahun kemudian saya berhasil mendapatkan nomer baru ponselnya. Alhamdulillah, dia menjadi sopir ojol dengan motor yang dibeli secara angsuran.
Setelah melihat narasi-narasi anti Arab terutama kalangan alawiyin makin sadis (dan dibiarkan), saya mengkhawatirkan banyak orang alawi yang hidup susah. Beberapa hari belakangan pikiran saya cukup tersita oleh persoalan ini.
Saya membuka folder nama para habib gembel yang saya kenal dalam memori. Salah satunya adalah mantan sopir antar jemput anak saya itu.
“Kagak narik lagi. Motor ane juall untuk ngelunasin utang. Lagian motornya udah tua,” ujarnya dengan logat ala Bolot tanpa nada mengeluh menjawab pertanyaanku tentang keadaannya.
Saya yakin jumlah mereka akan terus bertambah bila situasi tragis dan ironis ini tak segera berakhir.
Orang-orang yang sengaja merenggut ketenangan banyak orang mengira semesta tak berjiwa. (*Cendekiawan Muslim)