BERITAALTERNATIF.COM – Seminar Nasional bertajuk “Organisasi Berbudaya dan Berkearifan untuk Khidmat Keumatan Kebangsaan” sukses digelar pada Jumat (6/12/2024) di Hotel Arcadia, Jakarta.
Acara yang diinisiasi oleh Ahlulbait Indonesia (ABI) ini menghadirkan dua narasumber utama: Ustadz Musa Kazim, MA, anggota Dewan Syura ABI, dan Prof. Dr. Ahmad Najib Burhani, MA, peneliti BRIN. Diskusi ini dipandu oleh Dr. Otong Sulaeman, M.Hum, akademisi yang juga peneliti di STAI Sadra.
Inovasi Muhammadiyah: Pendidikan dan Keorganisasian yang Inklusif
Prof. Ahmad Najib memulai paparannya dengan menyoroti peran strategis Muhammadiyah dalam mendukung pendidikan di wilayah mayoritas non-Muslim seperti Papua, Maluku, dan Manado.
Fokus Muhammadiyah, menurutnya, adalah memberikan pendidikan berkualitas tanpa mengutamakan konversi agama. Hal ini menunjukkan sikap inklusif yang menjadi ciri khas Muhammadiyah.
Ia juga menjelaskan bagaimana struktur organisasi Muhammadiyah yang egaliter, tanpa hierarki keulamaan, telah menciptakan iklim kompetisi positif untuk kebaikan (fastabiqul khairat). Nilai-nilai Al-Ma’un yang menjadi dasar gerakan ini tercermin dalam kontribusi Muhammadiyah melalui sekolah, pesantren, rumah sakit, dan layanan sosial.
Muhammadiyah dan NU juga disebut memiliki irisan kuat dalam kontribusi terhadap masyarakat, meski dengan pendekatan dan tradisi yang berbeda. Kolaborasi antara keduanya menjadi modal penting untuk menghadapi tantangan zaman sekaligus menjaga harmoni di tengah keberagaman.
Sentralitas Ahlul Bait dalam Tradisi Keislaman
Ustadz Musa Kazim, dalam paparannya, menyoroti peran sentral Ahlul Bait sebagai poros dalam budaya keislaman. Ia menjelaskan bahwa tradisi kecintaan kepada Ahlul Bait Rasulullah telah menjadi bagian integral dari peradaban Islam, termasuk di Nusantara. Tradisi ini tercermin dalam seni, budaya, dan arkeologi Islam yang berkembang di berbagai wilayah.
Lebih lanjut, Ustadz Musa membahas bagaimana berkembangnya Syiah, yang dikenal karena kecintaan mendalam kepada Ahlul Bait, dan mampu menciptakan keseimbangan antara rasionalitas dan spiritualitas.
Terkait dengan munculnya dualisme organisasi di komunitas Syiah. Ustadz Musa memandang penting peran ABI dan IJABI yang dianggap sebagai motor penggerak dalam memperkenalkan nilai-nilai Syiah yang berlandaskan keilmuan dan budaya kepada masyarakat Indonesia.
Lebih lanjut Ustadz Musa mengibaratkan kemesraan ABI dan IJABI sebagai dua kaki burung yang menopang tubuh, sementara NU dan Muhammadiyah menjadi sayapnya. “Syiah itu ibarat kaki burung: satu bernama ABI, satu lagi IJABI. Sementara kedua sayapnya adalah ibarat NU dan Muhammadiyah,” katanya.
Kombinasi keempat organisasi ini, menurutnya, memiliki potensi besar untuk memperkuat Islam di Indonesia, terutama dalam menghadapi tantangan politik dan sosial.
Pentingnya Kolaborasi Lintas Ormas Keislaman
Bagi hadirin, seminar ini menjadi forum strategis untuk memperkuat kolaborasi lintas ormas keislaman. Diskusi yang hangat dan dinamis memperlihatkan semangat kerja sama di tengah keragaman pandangan. Peserta aktif berdialog, mengajukan pertanyaan, dan berbagi gagasan yang relevan dengan tema seminar.
Seminar ini tidak hanya menjadi ajang diskusi ilmiah tetapi juga refleksi atas peran organisasi keumatan dalam menjaga kebudayaan, nilai-nilai kearifan lokal, dan persatuan bangsa.
Narasumber dan peserta sepakat bahwa sinergi antara ormas keislaman merupakan kunci untuk menghadapi tantangan zaman sekaligus menciptakan harmoni dalam kehidupan berbangsa dan bernegara.
Seminar ini dihadiri oleh anggota Dewan Syura ABI, utusan-utusan dari DPP, DPD, serta lembaga otonom seperti Muslimah ABI.
Harapannya, hasil diskusi ini dapat menjadi panduan bagi organisasi keumatan untuk terus berkontribusi dalam menjaga budaya, kearifan, dan persatuan bangsa. (*)