BERITAALTERNATIF.COM – Wakil Ketua Dewan Keamanan Rusia Dmitry Medvedev menyinggung upaya Barat untuk menghancurkan Rusia dan meramalkan munculnya sebuah aliansi militer anti-AS di level global.
Dikutip Fars dari kantor berita TASS, Medvedev berkata bahwa ada kemungkinan sebuah pakta militer baru di tingkat internasional akan dibentuk.
“Pertemuan di (pangkalan udara AS) Ramstein dan pengiriman persenjataan berat ke Ukraina tidak menyisakan keraguan sedikit pun bahwa musuh-musuh kita berusaha menghancurkan kita. Mereka memiliki senjata-senjata memadai untuk tujuan ini. Mereka juga bisa mulai memproduksi senjata-senjata baru, jika memang diperlukan,” kata Medvedev.
“Jika konflik berlarut-larut, ada kemungkinan bahwa di satu periode waktu akan muncul sebuah aliansi militer baru, yang dibentuk oleh negara-negara yang jengkel terhadap AS,” imbuhnya.
Ia berpendapat, jika AS meninggalkan Eropa, dunia akan kembali menjadi tempat yang stabil.
Di lain pihak, Ketua Duma Negara Rusia, Vyacheslav Volodin melayangkan peringatan kepada AS dan anggota-anggota lain NATO, bahwa jika Rusia diserang, itu akan memicu bencana global dan menghancurkan negara-negara Barat.
Pada Minggu lalu, Volodin menyatakan bahwa pasokan persenjataan ke Kiev oleh AS dan NATO untuk menyerang Rusia akan memaksa Moskow bereaksi dengan menggunakan persenjataan yang lebih tangguh.
Legislator senior Rusia ini memperingatkan negara-negara Barat bahwa bencana global bisa saja terjadi jika Barat masih terus menyuplai persenjataan kepada Ukraina.
Kata dia, pengiriman senjata ofensif kepada Rezim Kiev akan berujung kepada bencana global. “Jika Washington dan negara-negara anggota NATO mengirim persenjataan untuk digunakan menyerang kota-kota tenang atau menduduki Rusia, hal ini akan mendorong Rusia untuk menggunakan senjata-senjata yang lebih kuat guna melakukan pembalasan,” tegas Volodin.
Dilansir dari CNN Indonesia, NATO, termasuk AS dan negara-negara sekutunya, semakin getol mengirim senjata dan alat utama sistem pertahanan (alutsista) ke Ukraina untuk melawan agresi Rusia.
Tank, artileri, rudal, dan senjata canggih lain dari sejumlah anggota aliansi militer bakal dikirim lagi ke Ukraina.
Pada Desember 2022, AS sepakat akan mengirim bantuan ke Ukraina berupa sistem pertahanan dan rudal Patriot.
Anggota NATO lain seperti Prancis, Inggris, dan Polandia juga dilaporkan akan mengirim tank ke Ukraina.
Dukungan senjata dari Barat membuat Jerman tertekan untuk segera mengambil keputusan mengirim tank. Pemerintah Berlin pun membahas dengan berbagai pihak baik internal maupun internasional.
Bantuan tank dari pemerintah Berlin dianggap penting karena Jerman punya Leopard 2 yang bisa membantu menyelesaikan konflik Rusia-Ukraina.
Namun, sejauh ini belum ada pernyataan pasti apakah Jerman bakal memasok senjata itu atau tidak ke pemerintahan Kyiv.
Sementara itu, pada Rabu kemarin, Kanada mengumumkan bakal mengirim 200 kendaraan lapis baja. Pasokan senjata ini bagian dari bantuan militer senilai 500 juta dolar Kanada atau sekitar Rp 5,6 triliun.
Rencana bantuan dari para anggota NATO mencuat usai Rusia membordir Dnipro dan menyebabkan 40 orang tewas.
Presiden Ukraina, Volodymyr Zelensky, sampai-sampai meminta Barat segera memutuskan untuk mengirim senjata ke negaranya.
Apakah bantuan ini membuat perang semakin besar dan meluas? Pengamat dari lembaga think tank, Pusat Studi Strategis dan Internasional (CSIS), Waffa Kharisma, mengatakan pasokan senjata itu tak membuat serangan menjadi signifikan menyusul sifat senjata yang berguna untuk mempertahankan diri atau defensif.
“Secara strategis sifat senjatanya sebetulnya masih defensif, baik tank dan rudal. Tank di Jerman masih diperdebatkan apakah dia defensif atau ofensif. Tapi secara general keduanya masih bisa dilihat sebagai senjata pertahanan,” kata Waffa, Rabu (18/1/2023).
Ia kemudian berujar, “Jadi eskalasi naiknya sedikit, yakni suplai senjata defensif, bukan agresif.”
Menurutnya, Jerman dan AS pun mengirim senjata secara bertahap. Ia menilai kedua negara ini juga melihat reaksi serta kemampuan Rusia mempertahankan misi militer sebelum bertindak lebih jauh.
Waffa menduga saat ini Rusia memang melihat pengiriman Patriot merupakan tindakan provokatif, tetapi Moskow belum bereaksi secara nyata.
Tak lama usai berita AS bakal mengirim rudal Patriot muncul, Rusia memasang rudal balistik antarbenua di Kaluga.
Menurut pejabat Moskow, rudal itu akan menjalankan tugas tempur sesuai rencana. Namun, peneliti CSIS tersebut menilai tindakan Rusia hanya sebagai simbol penangkal.
“Tidak lantas sinyal untuk perang besar. Kalau untuk persiapan memang secara strategis di tingkat nasional negara harus disiapkan. Baik ada atau tidak ada eskalasi,” ungkap dia.
Senada, pengamat hubungan internasional dari Universitas Airlangga Radityo Dharmaputro mengatakan dukungan senjata dari Barat semata-mata agar Ukraina bisa bertahan dan menyerang balik Rusia.
“Negara-negara Eropa memahami kalau sampai Ukraina kalah, maka target Rusia berikutnya adalah negara Uni Eropa yang berbatasan langsung dan pernah menjadi wilayah [Uni] Soviet,” kata Radityo.
Menurut dia, pasokan senjata canggih itu mungkin bisa memperpanjang perang di Eropa timur.
Ukraina tak akan menyerah begitu saja dan enggan berdamai selama Rusia belum menarik pasukan secara penuh dari seluruh wilayah yang diinvasinya.
Di sisi lain, Rusia juga ogah mundur karena cara ini akan membuat malu pemerintah serta memicu gejolak domestik bagi Presiden Vladimir Putin.
Radityo menilai perang terus berlanjut selama negosiasi damai belum tercipta. Kesepakatan damai baru bisa terwujud, kata dia, jika Ukraina berhasil memukul mundur pasukan Moskow.
Dia juga mencatat aliran senjata dari Barat bisa membuat Rusia mengalami kekalahan.
“Pasokan senjata dari Barat, terutama tank, ini bisa membuat Rusia dipukul mundur,” ucap Radityo.
Sementara itu, Waffa menilai negosiasi damai terjadi jika perang begitu melelahkan dan membuat kedua pihak capek atau salah satu pihak menang telak.
Jika salah satu pihak menang dan tujuan perang tercapai, mereka yang akan mengatur hasil negosiasi damai.
Namun, Waffa juga masih belum bisa menduga negosiasi damai seperti apa yang diinginkan Ukraina-Rusia.
“Kalau negosiasi damai yang kita lihat adalah karena sama-sama lelah, justru bantuan senjata sebetulnya membantu,” ungkap dia.
Sebab, bantuan senjata itu mendorong jalan buntu atau stalemate meski membutuhkan waktu yang lebih lama.
Sejauh ini, pasokan senjata canggih dari AS dan sekutu dekatnya ke Ukraina tak akan membuat mereka terlibat langsung dalam perang.
Barat juga masih khawatir keterlibatan langsung mereka di medan perang akan membuat Rusia makin agresif.
“Jadi, niatnya masih membantu Ukraina berjuang, bukan lantas berjuang bersama Ukraina,” jelasnya. (*)
Sumber: Poros Perlawanan & CNN Indonesia