Oleh: Rhenald Kasali*
Dr. Phil, seorang host acara televisi, suatu ketika kedatangan tamu dan sombong sekali tamunya itu, bahkan kemudian dia mengatakan bahwa ibunya tidak relevan. Karena apa? Karena tidak memiliki banyak followers, sedangkan dia banyak follower.
Dr. Phil kemudian mengatakan, “Sesungguhnya orang-orang yang semakin terkenal egonya semakin mengecil”.
Nah, seperti apa orang-orang yang pura-pura pintar? Saya kira perlu kita ulas. Beberapa orang mengatakan kepada saya, itu bukan pura-pura pintar, tapi itu namanya sok pintar. Mereka adalah orang yang sombong dalam kebodohannya.
Entah mengapa belakangan ini cukup banyak, mungkin karena banyak orang yang pansos; yang ingin cepat terkenal, yang ingin cepat cari follower, dan akhirnya gegabah. Menabrak kiri kanan.
Tapi, baiklah. Kita perlu mengenali siapa saja mereka dan mengapa mereka seperti itu? Pertama, cirinya adalah mereka dibesarkan dalam peradaban sekolah multiple choice, yaitu pilihannya a, b, c, atau d. Ada 4 pilihan, pilih salah satu. Sehingga kemudian hanya ada satu kebenaran.
Kedua, mereka biasanya merasa hanya ada satu kebenaran. Seperti warna hitam atau putih. Benar atau salah. Mereka langsung bilang kalau tidak hitam, dia putih, karena mereka tahunya hanya dua warna. Padahal, di antara hitam dan putih itu ada banyak warna, termasuk abu-abu.
Ketiga, mereka bersuara keras, tapi tidak dianggap oleh orang lain. Kenapa begitu? Orang lain juga tidak mau menganggap dia karena orang ini berkelahi dengan dirinya sendiri. Egonya sangat besar sekali. Dia merasa dirinya jago dalam segala hal.
Keempat, mereka biasanya adalah orang yang beranggapan dirinya pintar karena bisa mendapatkan banyak follower.
Kelima, mereka lebih banyak fokusnya padahal how daripada mereka mencari why. Mereka ingin melompat pada kesimpulannya. Misalnya saja ketika membahas tentang warung Ubnormal banyak ditutup. Mereka langsung mengatakan warung Upnormal ditutup kenapa karena target segmennya. Tidak jelas pricing-nya. Konsumennya begini. Ya, itulah marketing one on one. Dia tidak cari dulu why-nya, tapi dia langsung melompat kepada how-nya
Atau sama saja dengan crafting. Sebagian orang langsung menyimpulkan itu pakaian bekas, tapi sebetulnya setelah kita kaji, ini merupakan sampah dari best fashion. Kalau kita enggak dalami, kita enggak paham, kita akan mengambil kesimpulan begitu. Cepat melompat. Kita pikir, kita benar. Seperti ini biasanya sangat menyesatkan.
Keenam, mereka bisa yakin sekali; berani sekali. Namanya juga orang tahu sedikit. Kalau tahu sedikit, kita berani sekali. Tapi begitu kita tahu banyak, biasanya kita merasa rasanya kita belum tahu apa-apa.
Ketujuh, orang-orang seperti ini biasanya cepat sekali merasa kecewa. Saya kecewa. Kata mereka. Kenapa begitu? Makanya saya perlu ingatkan, kalau suka jangan terlalu suka. Kalau senang jangan terlalu senang. Biasa saja. Nanti Anda akan cepat kecewa. Cepat kecewa kenapa ? Karena mereka juga terlalu cepat menarik kesimpulan.
Kedelapan, mereka biasa berpikirnya linier. Linier itu garis lurus. Kita ingin menyederhanakan segala sesuatu. Habis a, maka b. Habis b, maka c.
Kesembilan, di luar garis lurus ini kita anggapnya eror. Padahal eror ini bisa jadi adalah anomali, apalagi erornya tinggi sekali. Itu adalah out layer. Orang-orang yang berpikir linear enggak mau pusing dengan out layer itu. Harus dibersihkan. Ini salah.
Padahal, para ahli belakangan menyimpulkan dan menemukan out layer ini adalah sesuatu yang memberikan inside yang sangat penting sekali.
Kesepuluh, mereka berpikirnya adalah konvergen. Menyambung. Mereka hanya ingin mendapatkan satu jawaban saja. Padahal di era sosial media dan teknologi seperti ini, dalam peradaban yang konstruktif memisahkan, hari esok kita bisa melihat kebenaran masa lalu. Ada kebenaran masa depan. Ada jjuga kebenaran yang kita percaya. Karena suatu alasan tertentu, ada kebenaran lainnya. Inilah yang disebut sebagai berpikir divergent.
Biasanya itu dimiliki oleh siapa? Mereka yang memiliki perspektif yang luas. Yang senang membaca buku. Senang dengan art and science. Senang eksplorasi. Kurang lebih seperti itu.
Jadi, Anda jangan buru-buru langsung ingin menyimpulkan dengan pendekatan yang bersifat konvergence.
Contoh dalam kehidupan ini. Semakin banyak kita melihat kebenaran yang selalu bertengkar satu sama lain. Anda masih ingat ketika pada tahun 2016 tiba-tiba Indonesia mengenal taksi online dan ojek online.
Yang marah siapa? Mereka yang tinggal di pangkalan taksi-taksi itu marah terhadap ojek online dan taksi online. Ini ada dua kebenaran. Saya katakan, inilah yang disebut sebagai era baru sharing resources.
Jadi, lama-lama akan bergabung juga. Sekarang terbukti bergabung. Tetapi, kita tetap memerlukan ojek-ojek pangkalan. Kita tetap memerlukan taksi-taksi yang kita kenal. Hidupnya memang ada dua-duanya. Sama-sama benar.
Sama seperti misalnya Anda membeli makanan. Makanan itu biji-bijian, buah-buahan, dan sayuran. Sekarang dikenal dengan nama Genetically Modified Organism (GMO), yang merupakan hasil rekayasa genetika. Sekarang makin banyak sekali produk-produk seperti itu, tetapi ini adalah produk dari sains.
Belum lama ini di Filipina ada sekelompok orang melakukan riset. Penemuannya disebut dengan golden rice, yaitu beras yang mengandung beta karoten atau banyak sekali vitamin A untuk menolong masyarakat di Asia yang kesulitan mendapatkan vitamin A.
Tetapi, apa yang terjadi? Mereka diserang oleh sekelompok orang yang mengatakan bahwa penemuan ini merusak kehidupan di masa depan. Mereka menghancurkannya, karena mereka adalah penganut dari organic food tersebut. Makanan-makanan organik. Kedua aliran ini, yang satu adalah organik, dan lainnya natural food. Satu lagi, yang sekarang menikmati segala sesuatu karena adanya teknologi dan sains.
Sama saja ketika Anda membaca sekarang populasi telah mencapai 8 miliar. Bumi ini padat sekali. Semakin panas, kotor, penuh sampah, dan alam begitu rusak karena terjadi population boom atau ledakan penduduk.
Tapi, pada saat yang bersamaan juga terjadi fertility rate atau tingkat kesuburan berkurang di sejumlah negara. Banyak sekali penduduk yang sudah tidak mempunyai anak atau punya anak kurang lebih satu. Jadi, jumlah penduduk mau tidak mau mengalami penurunan. Dua-duanya juga sama-sama benar.
Kemudian, sama saja Ketika Anda melihat Tembok Berlin roboh. Kemudian era komunisme berakhir. Masuklah era mekanisme pasar atau kapitalisme.
Tapi, Vietnam tidak mau menyebut dirinya sebagai negara kapitalis, tapi juga tidak mau menyebut dirinya sosialis atau komunis. Mereka mengatakan negara kami adalah mekanisme pasar di bawah kepemimpinan sosialime. Bingung kan Anda. Karena sebagian orang masih mengatakan kalau tidak kapitalis, pasti ini komunis, karena mereka berpikir hitam atau putih.
Terakhir, saya kira contohnya adalah dalam dunia pendidikan kita sering kali memisahkan antara science dengan fiction. Padahal dua-duanya hidup berdampingan. Inilah yang sekarang kita lihat. Segala sesuatu yang berdasarkan imajinasi dari dunia fiksi sudah mulai menjadi sains. Sains dan fiction hendaknya jangan dipisahkan.
Akhirnya, saya ingin menutup dengan apa yang disampaikan oleh tokoh-tokoh hebat, “Orang-orang yang benar-benar cerdas adalah mereka yang tidak menonjolkan kepintarannya di depan orang-orang yang berpura-pura pintar.”
Imam Syafi’i pernah mengingatkan, “Lebih baik kita berdebat dengan 100 orang pintar daripada berdebat dengan satu orang bodoh, karena orang bodoh itu tidak memiliki landasan ilmu.”
Itulah sebabnya kita selalu harus menghindari perdebatan-perdebatan yang tidak penting daripada kita menghabiskan energi dan kita menjadi sama dengan mereka. (*Akademisi dan praktisi bisnis Indonesia)
Catatan: Artikel ini disunting redaksi berita alternatif dari video yang tayang di kanal Youtube Rhenald Kasali.